Saya Memaklumi Perasaan Sersan

/ Selasa, 23 Juli 2013 /
JOGJA- Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi sidang di Pengadilan Militer di Banguntapan. Agendanya mendengarkan keterangan anggota kopassus yang terlibat penembakan empat titipan tahanan di LP Cebongan beberapa bulan lalu. Sejak kasus itu bergulir orang-orang Jogja bahkan Indonesia, disekat pada dua kontradiksi hingga sekarang. Ada yang mendukung aksi satuan kopassus, ada yang mengecam tindakan tersebut. Namun propaganda yang nampak nyaris semuanya berbau dukungan.
Selama hidup, saya baru pertama kali mngunjungi pelaksanaan sidang militer. Jaksa penuntut umum atau kalau di sana disebut oditur sangat berbeda dengan di pengadilan negeri sipil lainnya. Bedanya, oditur ini sangat tegas, formal, teliti, dan introgatif. Tingkat kedisiplinannya pun jauh berbeda dengan kasus persidangan di pengadilan sipil yang pernah saya ikuti. Agenda jam 09.00 ya jam 09.00 tidak ada istilah jam karet, adanya jam besi.
Ketika saya sampai di sana pukul 09.15., ruangan sidang sudah penuh sesak. Saya tidak mengerti dari elemen mana saja. Ormas-ormas yang ada, beratribut beda yang katanya ingin turut mengawal jalannya sidang. Separuh dari ormas-ormas itu berjaga-jaga di luar pengadilan  dan beberapa lainnya turut menyaksiakan sidang. Walau sebelumnya sempat diperdebatkan, tak boleh ada ormas yang mengawal, “Nanti malah bikin rusuh,” kata salah satu angggota DPRD DIJ. Tapi Ormas yang suka teriak “Allahu Akbar-Allahu Akbar” tak ada, atau saya yang tak melihat.
Well tidak masalah. Berbekal kartu pers dan sedikit ubet akhirnya saya bisa masuk dan mengikuti sidang dengan khidmat. Bahkan saya dapat dengan jelas melihat wajah-wajah kopassus yang sebelumnya sempat terbayangkan seperti Sylvester Stallone aktor ‘Rambo’ dan Steven Seagal saat membintangi ‘Hard to Kill’ yang sangat bengis.
Bayangan itu muncul ketika pada suatu pagi empat tahanan titipan di Lapas Cebongan ditemukan tak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Foto-fotonya menyebar di media sosial. Tampak puluhan selongsong peluru yang kalibernya tanggung berserakan menghiasi frame foto. Jasad si mayat rusak parah. Asumsi general pagi itu, Jogja tak aman lagi. Pelakunya pasti bukan orang biasa.
Media panen besar dan sibuk benar. Kasus berdarah itu bak petani memanen padi atau melon segar. Duga-menduga sebagai ciri khas manusia Indonesia pun menyebar. Kabar beredar seperti udara. Di mana-mana orang membicarakan kasus itu. Semakin mengenaskan semakin seru. Orang yang kritis menyalahkan media yang katanya membesar-besarkan. Sedangkan orang yang logis memaklumi bahwa imjanisasi orang Indonesia memang sangat tinggi. Terutama dalam hal bertutur.
Usut punya usut sang pembantai itu pun akhirnya terdeteksi. Kopassus dari satuan Kandangmenjangan Solo pelakunya. Jumlahnya kurang lebih 12. Namun yang hadir di persidangan yang saya saksikan waktu itu, 3 orang. Konon katanya, 12 terdakwa ini memang di sidang di tempat yang berbeda, entahlah. Oh ya, pakainnya hijau tua ketat. Berseragam dan beratribut lengkap kecuali senjata dengan baret merah yang terlipat di pundak. Gagah sekali.
Satu persatu, ketiga tersangka yang hadir saya amati dengan detil. Satu persatu saya pandangi sambil membayangkan sosok Sylvester Stallone tadi. Tiada yang mirip. Wajah-wajah bengis yang saya harap justru tampak karismatik. Mungkin pribadi saya tergolong yang mendukung waktu itu. Macam bocah yang condong ke aktor utama protagonis usai menonton sekuel Rambo 4. Atau para penggila boyband yang menangis histeris pingin ketemu sang idola. Seperti itu, ya hampir seperti itu.
Serda Ucok Tigor Simbolong,
 ada yang bilang dia mirip Ariel,
 hanya saja tidak perawatan
“Serda Ucok Tigor Simbolong,” panggil sang oditur waktu itu. Yang disebut pun menjawab dengan tegas, dengan tenang, dan masih saja karismatik. Dari informasi yang saya ikuti, Sersan Ucok ini disebut-sebut sebagai eksekutor. Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak mendalami kasus ini dari awal. Sebab bukan ranah saya meliput kriminal. Saya hanya mendampingi Mas D., dan bertugas mencarikan foto saja, selain memenuhi hasrat penasaran, dan ingin ketemu sang idola.
Perkembangan kasus itu hanya saya dapat dari Mas D., wartawan spesialis kriminal yang sudah 8 tahun bekerja di surat kabar yang sama dengan saya. Bedanya, saya baru 4 bulan. Kata Mas D., Serda Ucok ini yang mengeksekusi mati empat tahanan dengan senjata laras panjang.
Naluri wartawan untuk menulis apapun yang terasa menarik saya lakukan. Saya kira tak hanya saya yang menulis karena saya bukan satu-satunya wartawan di sana. Saya menulis semua yang dikatakan Serda Ucok, di persidangan waktu itu. Walau tak komplit, inti ceriteranya saya garis bawahi.
Dari kabar yang mas D., ceritakan sebelumnya, kopassus itu membantai empat tahanan dengan sadis. Kabar-kabar seputar penyiksaan sebelum dihabisi nyawanya juga menggetarkan. Ada media yang menulis, beberapa tahanan yang lain disuruh bertepuk tangan saat eksekusi berlangsung. Para penjaga lapas juga diserang, dipopor pakai senjata laras panjang hingga pingsan, dan sebagian lainnya diintimadasi. Bahasa mereka, dilumpuhkan.
Motif pembantaian pun diduga sebagai pembalasan dendam atas penganiayaan anggota kopassus yang dilakukan keempat korban sebelumnya yang berujung maut. Apalagi, sempat dilansir media salah seorang korban, merasa puas bisa membunuh seorang kopassus. Macam anak SMA di Jakarta yang merasa puas usai membunuh. Dan bodohnya kenapa M. Nuh bertanya demikian?
Satuan kopassus yang mendengar sejawatnya dihabisi tak tinggal diam. Dari Solo akhirnya ke Jogja dengan mengantongi jiwa korsa, tak lupa senjata. Kesamaan rasa atas apa yang dialami sejawat dalam sebuah satuan atau organisasi menjadi pemanis tragedi ini. Setidaknya jiwa korsa yang sering diucapkan bocah-bocah pramuka kini diteriakkan oleh orang-orang dewasa.
Mas D., yang biasanya tak banyak bicara menilai, kalau satuan kopassus pasukan elit TNI AD itu sangat berbeda dengan satuan Brimob milik POLRI. Bedanya, jika anggota satuan kopassus terlibat sebuah kasus maka anggota satuan yang lainnya saling membantu dan melindungi. Sedangkan Brimob, kata Mas D., jika anggota satuannya terlibat kasus justru ditinggalkan dan diasingkan. Antarpersonil justru saling pergi dan meninggalkan. “Malah kadang do makakke,” tambah Mas D., yang saya rasa sangat subyektif. Yang POLRI tak perlu tersinggung daripada tak bilang ACAB.
Diam-diam saya mengagumi Sersan Ucok. Entah kenapa saya tiba-tiba melihat seorang pembunuh yang sangat cool dan laki banget. Ah mungkin saya terlalu muda untuk mencicipi kasus ini sehingga yang muncul di pikiran saya, siapa yang pahlawan siapa yang musuh. Seharusnya tidak begitu, biar hukum yang berbicara.
Tetapi mari simak dulu Sersan idola saya itu berbicara.
Sepatah dua patah ucap, ketenangan Sersan Nampak terganggu. Terlebih saat Sersan mengaku tak bermaksud membunuh keempat korban. Saya menangkap kok pengakuan Sersan berbeda dari yang saya harap sebelumnya. Sersan mengaku diserang terlebih dahulu. Sersan panik dan langsung memberondong 2 tahanan yang melawan. “Saya tak bermaksud membunuh saya hanya ingin memberi pelajaran,” ujar Sersan yang membuat saya menelan ludah.
Sersan mengaku diserang dengan kruk (alat bantu berjalan) salah seorang tahanan. Hal itu tentu menepis pemberitaan sebelumnya soal perintah tepuk tangan dan penganiayaan. Sersan membunuh dengan cepat dan tak terencanakan, bahkan. Semakin lama Sersan bercerita semakin hilang pesonanya, setidaknya bagi saya. Logika-logika yang tak sampai menggerogoti simpati saya terhadap Sersan. Ah sial, tulis sajalah.
Usai persidangan keinginan untuk foto bersama Serda Ucok, sirna. Saya kecewa namun paham kondisi sersan. Saya menunduk malu sampai melihat sepatu. Tetiba salah seorang menghentak, “Salam Komando.” Massa yang hadir, hampir seluruhnya menjawab serupa. Nyaris serentak, keras, bertenaga seperti bukan tenaga orang yang sedang puasa. Ruangan menggema. Lagi, disusul kemudian, “Hidup rakyat Jogja” sahutan yang muncul tak seriuh yang pertama. Bahkan banyak yang tidak merespons. Ketiga tersangka sudah masuk mobil tahanan termasuk Sersan.
Barangkali memang massa yang hadir tak seluruhnya orang Jogja. Atau barangkali ada kekecewaan yang mengikis simpati. Ah mungkin perasaan saya saja yang terlalu labil. Saya kembali melihati sepatu, menunduk dan keluar ruangan.
Tetapi seandainya saya bisa mensekenario, saya ingin Sersan tak berbicara seperti itu. Entah mana yang benar. Saya rasa jawaban Sersan tak logis bahkan saya yang masih bocah mengira-ngira. Mana mungkin tahanan itu menyerang terlebih dahulu? Seharusnya yang panik bukan Sersan tapi si korban? Sersan bersenjata, sementara korban hanya pesakitan yang menunggu diproses esok harinya.
Saya terus meraba-raba sampai di balik tujuan omongan Sersan. Mengapa, mengapa Sersan berbohong? Apakah Sersan melakukan itu untuk keringanan hukum? Apakah dia juga disetting? Apakah itu caranya untuk melindungi kesatuannya? Tanda tanya itu melayang, mengabur pada sebuah seminar beberapa hari silam.
Sebelum saya datang ke sini, Ketua Komisi Yudisial dalam seminar yang digawangi JPIP dan USAID pernah mengatakan, untuk membentuk satu orang kopassus, pemerintah menghabiskan dana kurang lebih 6 milyar. OMG, entah benar entah salah, wallahua’lam bisshawab.
Waktu itu saya langsung mentotal, 6 x 12 sama dengan 72 Milyar. Jika sampai 12 anggota kopassus itu terbukti bersalah sama saja pemerintah merugi 72 milyar. Pahitnya, 72 milyar hanya diganti dengan tewasnya 4 preman. Jadi satu preman dihargai 18 milyar. Hey kenapa jadi itung-itungan begini. Kembali melihati sepatu.
Mas D., bertanya, “Dapat fotonya?” saya menggeleng. Anehnya, sebegitu mas D., memaklumi gelengan saya. Mas D., tak kecewa. Bilangnya, “Ya sudah, saya sudah titip teman saya dari Kompas.com kok tadi.”
Saya kembali melihati sepatu.
Di ujung sepatu yang talinya lepas itu muncul bayangan Ketua Tim Penasehat Hukum yang dalam sidang tadi menyatakan, jika tindakan perbuatan kejahatan mendapat tanggapan positif dari masyarakat, pelaku bisa lepas dari tuntutan hukum selama termaafkan.
Artinya kenapa Sersan tak bicara jujur saja, menghabisi dengan berani yang barangkali stigma masyrakat waktu itu mengarah pada anti premanisme. Dukungan jelas mengalir padanya, bahkan sempat digadang-gadang 12 kopassus termasuk Sersan adalah pahlawan dalam memberantas preman.
Pakar Psikolog Forenssik yang juga dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi ahli psikologi atas tiga terdakwa yang berada dalam berkas pertama tersebut malah berasumsi, saat mengeksekusi Sersan sedang mengalami stres disorder.
Kondisi itu bisa saja muncul setiap saat. Satu penyebabnya karena ketiadaan latihan managemen stres. "Sumber-sumbes stres dissorder di militer sangat banyak, misalnya ada tekanan berat, pelatihan fisik yang luar biasa serta masih bayak lainnya," katanya.
Seorang yang melakukan tindakan nekat bisa dikategorikan dalam kondisi stres dissorder. "Melakukan tindakan, tanpa  berfikir jangka panjang, sudah masuk pada sindrom krisis akut, atau berbuat nekat. Setiap orang bisa terjangkit sindrom krisis akut, hanya takarannya berbeda-beda dalam mengendalikannya," tambahnya.
Selain menganggap Sersan stres, pakar Psikolog Forensik itu juga bilang ada kemungkinan kondisi korban juga sedang stres sehingga membahayakan dirinya sendiri. Bahkan Psikolog Forensik itu menganalogikan, ada pria hanya menakut-nakuti seorang wanita yang berada di lantai dua. Pria ini tidak menyentuh sama sekali kepada si wanita tadi. Namun, karena kondisi stres, wanita itu meloncat dari lantai dua dan terluka parah bahkan mati.
Intinya, pakar Forensik itu ingin bilang, situasi krisis akut karena kondisi sesuatu yang tidak terduga atau diperkirakan sebelumnya dapat menyebabkan hal yang tak terduga sehingga berakhir tidak sesuai target.
"Orang seperti itu kalau menjalani perkara hukum harus mendapat keringan karena tidak bermaksud melukai atau membunuh," pungkasnya.
Sesampainya di kantor, saya tidak tahu apa yang harus saya tulis sedang foto pun tak saya dapat. Mungkin saya juga sedang stres sehingga apa yang saya rencanakan berakhir dengan hal yang tak saya duga. Tapi ternyata mas D., tidak stres mungkin karena mas D., sudah terbiasa menyaksikan sidang semcam itu.
Dalam keadaan stres waktu itu saya tetap bisa menangkap apa yang Sersan katakan. Saya cuma ingin bilang, saya paham perasaan Sersan. Anda stres? Saya juga stres. Semua orang stres.




 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger