JOGJA- Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi sidang
di Pengadilan Militer di Banguntapan. Agendanya mendengarkan keterangan anggota
kopassus yang terlibat penembakan empat titipan tahanan di LP Cebongan beberapa
bulan lalu. Sejak kasus itu bergulir orang-orang Jogja bahkan Indonesia,
disekat pada dua kontradiksi hingga sekarang. Ada yang mendukung aksi satuan kopassus,
ada yang mengecam tindakan tersebut. Namun propaganda yang nampak nyaris
semuanya berbau dukungan.
Selama hidup, saya baru pertama kali
mngunjungi pelaksanaan sidang militer. Jaksa
penuntut umum atau kalau di sana disebut oditur sangat berbeda dengan di
pengadilan negeri sipil lainnya. Bedanya, oditur ini sangat tegas, formal,
teliti, dan introgatif. Tingkat kedisiplinannya pun jauh berbeda dengan kasus
persidangan di pengadilan sipil yang pernah saya ikuti. Agenda jam 09.00 ya jam
09.00 tidak ada istilah jam karet, adanya jam besi.
Ketika saya sampai di sana
pukul 09.15., ruangan sidang sudah penuh sesak. Saya tidak mengerti dari elemen
mana saja. Ormas-ormas yang ada, beratribut beda yang katanya ingin turut
mengawal jalannya sidang. Separuh dari ormas-ormas itu berjaga-jaga di luar
pengadilan dan beberapa lainnya turut menyaksiakan
sidang. Walau sebelumnya sempat diperdebatkan, tak boleh ada ormas yang
mengawal, “Nanti malah bikin rusuh,” kata salah satu angggota DPRD DIJ. Tapi
Ormas yang suka teriak “Allahu Akbar-Allahu Akbar” tak ada, atau saya yang tak
melihat.
Well tidak masalah. Berbekal kartu pers dan sedikit ubet akhirnya
saya bisa masuk dan mengikuti sidang dengan khidmat. Bahkan saya dapat dengan
jelas melihat wajah-wajah kopassus yang sebelumnya sempat terbayangkan seperti
Sylvester Stallone aktor ‘Rambo’ dan Steven Seagal saat membintangi ‘Hard to
Kill’ yang sangat bengis.
Bayangan itu muncul ketika
pada suatu pagi empat tahanan titipan di Lapas Cebongan ditemukan tak bernyawa dengan
kondisi yang mengenaskan. Foto-fotonya menyebar di media sosial. Tampak puluhan
selongsong peluru yang kalibernya tanggung berserakan menghiasi frame foto. Jasad
si mayat rusak parah. Asumsi general pagi itu, Jogja tak aman lagi. Pelakunya
pasti bukan orang biasa.
Media panen besar dan sibuk
benar. Kasus berdarah itu bak petani memanen padi atau melon segar. Duga-menduga
sebagai ciri khas manusia Indonesia pun menyebar. Kabar beredar seperti udara.
Di mana-mana orang membicarakan kasus itu. Semakin mengenaskan semakin seru.
Orang yang kritis menyalahkan media yang katanya membesar-besarkan. Sedangkan
orang yang logis memaklumi bahwa imjanisasi orang Indonesia memang sangat
tinggi. Terutama dalam hal bertutur.
Usut punya usut sang
pembantai itu pun akhirnya terdeteksi. Kopassus dari satuan Kandangmenjangan
Solo pelakunya. Jumlahnya kurang lebih 12. Namun yang hadir di persidangan yang
saya saksikan waktu itu, 3 orang. Konon katanya, 12 terdakwa ini memang di
sidang di tempat yang berbeda, entahlah. Oh ya, pakainnya hijau tua ketat.
Berseragam dan beratribut lengkap kecuali senjata dengan baret merah yang
terlipat di pundak. Gagah sekali.
Satu persatu, ketiga
tersangka yang hadir saya amati dengan detil. Satu persatu saya pandangi sambil
membayangkan sosok Sylvester Stallone tadi. Tiada yang mirip. Wajah-wajah bengis
yang saya harap justru tampak karismatik. Mungkin pribadi saya tergolong yang
mendukung waktu itu. Macam bocah yang condong ke aktor utama protagonis usai
menonton sekuel Rambo 4. Atau para penggila boyband yang menangis histeris
pingin ketemu sang idola. Seperti itu, ya hampir seperti itu.
Serda Ucok Tigor Simbolong, ada yang bilang dia mirip Ariel, hanya saja tidak perawatan |
“Serda Ucok Tigor Simbolong,” panggil sang
oditur waktu itu. Yang disebut pun menjawab dengan tegas, dengan tenang, dan
masih saja karismatik. Dari informasi yang saya ikuti, Sersan Ucok ini
disebut-sebut sebagai eksekutor. Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak
mendalami kasus ini dari awal. Sebab bukan ranah saya meliput kriminal. Saya
hanya mendampingi Mas D., dan bertugas mencarikan foto saja, selain memenuhi
hasrat penasaran, dan ingin ketemu sang idola.
Perkembangan kasus itu hanya saya dapat dari
Mas D., wartawan spesialis kriminal yang sudah 8 tahun bekerja di surat kabar
yang sama dengan saya. Bedanya, saya baru 4 bulan. Kata Mas D., Serda Ucok ini
yang mengeksekusi mati empat tahanan dengan senjata laras panjang.
Naluri wartawan untuk menulis apapun yang
terasa menarik saya lakukan. Saya kira tak hanya saya yang menulis karena saya
bukan satu-satunya wartawan di sana. Saya menulis semua yang dikatakan Serda
Ucok, di persidangan waktu itu. Walau tak komplit, inti ceriteranya saya garis
bawahi.
Dari kabar yang mas D., ceritakan sebelumnya, kopassus
itu membantai empat tahanan dengan sadis. Kabar-kabar seputar penyiksaan
sebelum dihabisi nyawanya juga menggetarkan. Ada media yang menulis, beberapa
tahanan yang lain disuruh bertepuk tangan saat eksekusi berlangsung. Para penjaga
lapas juga diserang, dipopor pakai senjata laras panjang hingga pingsan, dan sebagian
lainnya diintimadasi. Bahasa mereka, dilumpuhkan.
Motif pembantaian pun diduga sebagai
pembalasan dendam atas penganiayaan anggota kopassus yang dilakukan keempat
korban sebelumnya yang berujung maut. Apalagi, sempat dilansir media salah
seorang korban, merasa puas bisa membunuh seorang kopassus. Macam anak SMA di
Jakarta yang merasa puas usai membunuh. Dan bodohnya kenapa M. Nuh bertanya
demikian?
Satuan kopassus yang mendengar sejawatnya
dihabisi tak tinggal diam. Dari Solo akhirnya ke Jogja dengan mengantongi jiwa korsa,
tak lupa senjata. Kesamaan rasa atas apa yang dialami sejawat dalam sebuah
satuan atau organisasi menjadi pemanis tragedi ini. Setidaknya jiwa korsa yang
sering diucapkan bocah-bocah pramuka kini diteriakkan oleh orang-orang dewasa.
Mas D., yang biasanya tak banyak bicara
menilai, kalau satuan kopassus pasukan elit TNI AD itu sangat berbeda dengan
satuan Brimob milik POLRI. Bedanya, jika anggota satuan kopassus terlibat
sebuah kasus maka anggota satuan yang lainnya saling membantu dan melindungi.
Sedangkan Brimob, kata Mas D., jika anggota satuannya terlibat kasus justru
ditinggalkan dan diasingkan. Antarpersonil justru saling pergi dan
meninggalkan. “Malah kadang do makakke,” tambah Mas D., yang saya rasa sangat
subyektif. Yang POLRI tak perlu tersinggung daripada tak bilang ACAB.
Diam-diam saya mengagumi Sersan Ucok. Entah
kenapa saya tiba-tiba melihat seorang pembunuh yang sangat cool dan laki banget. Ah mungkin saya terlalu muda untuk mencicipi
kasus ini sehingga yang muncul di pikiran saya, siapa yang pahlawan siapa yang
musuh. Seharusnya tidak begitu, biar hukum yang berbicara.
Tetapi mari simak dulu Sersan idola saya itu berbicara.
Sepatah dua patah ucap, ketenangan Sersan
Nampak terganggu. Terlebih saat Sersan mengaku tak bermaksud membunuh keempat
korban. Saya menangkap kok pengakuan Sersan berbeda dari yang saya harap
sebelumnya. Sersan mengaku diserang terlebih dahulu. Sersan panik dan langsung
memberondong 2 tahanan yang melawan. “Saya tak bermaksud membunuh saya hanya
ingin memberi pelajaran,” ujar Sersan yang membuat saya menelan ludah.
Sersan mengaku diserang dengan kruk (alat
bantu berjalan) salah seorang tahanan. Hal itu tentu menepis pemberitaan
sebelumnya soal perintah tepuk tangan dan penganiayaan. Sersan membunuh dengan
cepat dan tak terencanakan, bahkan. Semakin lama Sersan bercerita semakin
hilang pesonanya, setidaknya bagi saya. Logika-logika yang tak sampai
menggerogoti simpati saya terhadap Sersan. Ah sial, tulis sajalah.
Usai persidangan keinginan untuk foto bersama
Serda Ucok, sirna. Saya kecewa namun paham kondisi sersan. Saya menunduk malu
sampai melihat sepatu. Tetiba salah seorang menghentak, “Salam Komando.” Massa
yang hadir, hampir seluruhnya menjawab serupa. Nyaris serentak, keras,
bertenaga seperti bukan tenaga orang yang sedang puasa. Ruangan menggema. Lagi,
disusul kemudian, “Hidup rakyat Jogja” sahutan yang muncul tak seriuh yang
pertama. Bahkan banyak yang tidak merespons. Ketiga tersangka sudah masuk mobil
tahanan termasuk Sersan.
Barangkali memang massa yang hadir tak
seluruhnya orang Jogja. Atau barangkali ada kekecewaan yang mengikis simpati.
Ah mungkin perasaan saya saja yang terlalu labil. Saya kembali melihati sepatu,
menunduk dan keluar ruangan.
Tetapi seandainya saya bisa mensekenario, saya
ingin Sersan tak berbicara seperti itu. Entah mana yang benar. Saya rasa
jawaban Sersan tak logis bahkan saya yang masih bocah mengira-ngira. Mana
mungkin tahanan itu menyerang terlebih dahulu? Seharusnya yang panik bukan Sersan
tapi si korban? Sersan bersenjata, sementara korban hanya pesakitan yang
menunggu diproses esok harinya.
Saya terus meraba-raba sampai di balik tujuan omongan
Sersan. Mengapa, mengapa Sersan berbohong? Apakah Sersan melakukan itu untuk
keringanan hukum? Apakah dia juga disetting? Apakah itu caranya untuk
melindungi kesatuannya? Tanda tanya itu melayang, mengabur pada sebuah seminar
beberapa hari silam.
Sebelum saya datang ke sini, Ketua Komisi
Yudisial dalam seminar yang digawangi JPIP dan USAID pernah mengatakan, untuk
membentuk satu orang kopassus, pemerintah menghabiskan dana kurang lebih 6
milyar. OMG, entah benar entah salah, wallahua’lam bisshawab.
Waktu itu saya langsung mentotal, 6 x 12 sama
dengan 72 Milyar. Jika sampai 12 anggota kopassus itu terbukti bersalah sama
saja pemerintah merugi 72 milyar. Pahitnya, 72 milyar hanya diganti dengan
tewasnya 4 preman. Jadi satu preman dihargai 18 milyar. Hey kenapa jadi
itung-itungan begini. Kembali melihati sepatu.
Mas D., bertanya, “Dapat fotonya?” saya
menggeleng. Anehnya, sebegitu mas D., memaklumi gelengan saya. Mas D., tak
kecewa. Bilangnya, “Ya sudah, saya sudah titip teman saya dari Kompas.com kok tadi.”
Saya kembali melihati sepatu.
Di ujung sepatu yang talinya lepas itu muncul
bayangan Ketua Tim Penasehat Hukum
yang dalam sidang tadi menyatakan, jika tindakan perbuatan kejahatan mendapat
tanggapan positif dari masyarakat, pelaku bisa lepas dari tuntutan hukum selama
termaafkan.
Artinya kenapa
Sersan tak bicara jujur saja, menghabisi dengan berani yang barangkali stigma
masyrakat waktu itu mengarah pada anti premanisme. Dukungan jelas mengalir
padanya, bahkan sempat digadang-gadang 12 kopassus termasuk Sersan adalah
pahlawan dalam memberantas preman.
Pakar Psikolog
Forenssik yang juga dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi ahli psikologi
atas tiga terdakwa yang berada dalam berkas pertama tersebut malah berasumsi, saat
mengeksekusi Sersan sedang mengalami stres disorder.
Kondisi itu
bisa saja muncul setiap saat. Satu penyebabnya karena ketiadaan latihan
managemen stres. "Sumber-sumbes stres dissorder di militer sangat banyak,
misalnya ada tekanan berat, pelatihan fisik yang luar biasa serta masih bayak
lainnya," katanya.
Seorang yang
melakukan tindakan nekat bisa dikategorikan dalam kondisi stres dissorder.
"Melakukan tindakan, tanpa berfikir jangka panjang, sudah masuk pada
sindrom krisis akut, atau berbuat nekat. Setiap orang bisa terjangkit sindrom
krisis akut, hanya takarannya berbeda-beda dalam mengendalikannya," tambahnya.
Selain
menganggap Sersan stres, pakar Psikolog Forensik itu juga bilang ada
kemungkinan kondisi korban juga sedang stres sehingga membahayakan dirinya
sendiri. Bahkan Psikolog Forensik itu menganalogikan, ada pria
hanya menakut-nakuti seorang wanita yang berada di lantai dua. Pria ini tidak
menyentuh sama sekali kepada si wanita tadi. Namun, karena kondisi stres,
wanita itu meloncat dari lantai dua dan terluka parah bahkan mati.
Intinya, pakar
Forensik itu ingin bilang, situasi krisis akut karena kondisi sesuatu yang
tidak terduga atau diperkirakan sebelumnya dapat menyebabkan hal yang tak
terduga sehingga berakhir tidak sesuai target.
"Orang
seperti itu kalau menjalani perkara hukum harus mendapat keringan karena tidak
bermaksud melukai atau membunuh," pungkasnya.
Sesampainya di
kantor, saya tidak tahu apa yang harus saya tulis sedang foto pun tak saya
dapat. Mungkin saya juga sedang stres sehingga apa yang saya rencanakan
berakhir dengan hal yang tak saya duga. Tapi ternyata mas D., tidak stres
mungkin karena mas D., sudah terbiasa menyaksikan sidang semcam itu.
Dalam keadaan stres
waktu itu saya tetap bisa menangkap apa yang Sersan katakan. Saya cuma ingin
bilang, saya paham perasaan Sersan. Anda stres? Saya juga stres. Semua orang stres.