Berdua (saja) dengan Jam Tangan

/ Senin, 18 Juni 2012 /
Jam tangan ini masih kupakai. Jam tangan darimu waktu usiaku bertambah. Kamu berikan dengan malu dan aku terima dengan sipu. Terimaksih. 
"Apa ini?" tanyaku pilon sekali. 
"Buka saja," pintamu genit.
"Jam tangan? Kamu tahu aku tidak suka jam tangan."
"Tapi aku tahu kamu butuh itu," timpalmu.
"Enggak juga, lagian sudah ada jam digital di ponsel."
"Belajarlah menyukai apa yang kamu butuhkan walau itu sedang kamu benci," wejangmu.


Aku terima. Aku pakai di depanmu. Geli rasa tanganku. Aku jarang memakai aksesoris di anggota tubuhku. Risih terkadang. Tapi sudahlah, barangkali aku memang membutuhkan ini. Sampai sekarang masih kupakai jam tangan ini di bagian kanan. 
"Kenapa di tangan kanan?" tanyamu mengheran.
"Memangnya kenapa?" tanyaku balik.
"Kebiasaan, kalau di tanya pasti tanya balik."
"Ya, aku ingin tahu kenapa kamu bertanya begitu?"
"Ingin tahu saja, biasanya kan di tangan kiri," katamu sambil melirik jam tanganmu yang bertengger di tangan kiri.
"Kamu tahu, kenapa orang biasanya memakai di tangan kiri?" tanyaku.
"Kok jadi kamu yang mengintrogasi? Nggak tahu, mungkin lebih nyaman," tukasmu sebal.
"Dulu Ibuku pernah bilang, agama menyarankan manusia agar memakai perhiasan di tangan yang kiri. Banyak alasan memang. Tapi, ada satu gagasan yang menarik menurutku."
"Apa?" tanyamu tidak sabar.
"Sebagai penghormatan tangan kanan kepada tangan kiri. Kita makan pakai tangan kanan, agama menganjurkan itu dan ketika kita beristinja memakai tangan kiri. Biar tidak terkesan tangan kiri itu untuk hal-hal yang menjijikkan  maka sudah sepantasnya diberi perhiasan termasuk jam tangan."
"Gila, rumit sekali. Terus kenapa kamu malah pakai di tangan kanan?"
"Karena aku kidal. Tangan kiriku yang justru merasa harus menghargai yang kanan."
"Kamu kidal? Enggak begitu ah."
"Iya, aku mulai membiasakan hal itu. Misal makan dengan tangan kanan. Ibuku yang meminta. Kidal itu perihal kebiasaan. Entahlah mungkin agama tidak mengenal kidal." 
"Kamu memang rumit. Terserah pakai dimana saja, sesukamu."


Hampir setahun jam itu membersamai tanganku. Seolah bukan lagi aksesoris. Melainkan anggota tubuh. Entah kenpa sampai begitu lekat dengan jam itu. Bentuknya juga biasa. Harganya, katamu juga tidak sampai menguras dompet. Aku juga tidak tahu jam tangan yang bermerk.
"Yang ini bagus nggak"? tanyamu di toko jam tangan waktu itu.
"Bagus. Kamu mau pekek itu?" tanyaku.
"Iya, aku ingin membelinya."
"Kok kayak cowok gitu ya?"
"Memangnya ada jenis kelaminnya?" godamu.
"Terserah deh," responsku kesal.


Baru aku tahu ternyata jam tangan itu buatku. Kamu memang terkadang menyembunyikan hal-hal kecil untuk membuat kejutan. Walau terkadang aku tidak terkejut. Kamu pandai membuatku kesal tapi lebih pandai lagi membuatku girang.
"Hahaha sial, ini jam tangan yang waktu itu."
"Yang mana, yang berjenis kelamin?" godamu.
"Grrrrr....."


Belakangan ini aku suka menyendiri. Menyendiri bagiku adalah kebutuhan. Walau manusia telah ditashih sebagai mahluk sosial, sesosial apapun ia, kukira tetap butuh menyendiri. Merenung, menyesal, mengutuk diri, mengumpat, membatin, dan bahkan bermonolog. Ya aku terkadang bermonolog dengan jam tangan ini. Jam tangan darimu waktu itu.
Di keremangan alun-alun Magelang, gelap malam menyergapku. Remah-remah gerimis membuyarkan ingatanku silam. Tidak kusangka jam tangan itu begitu jelas dan tegas mengukir senyummu yang telah hilang. Senyum yang sudah berminggu-minggu ini melenyap bersama kejutan-kejutan kecil yang membahagiakan. Pergerakan menuju detik mengupas kenangan demi kenangan yang sublim. Lajuan ke menit memantapkan langkah kita yang begitu kokoh ke depan. Indah sekali rasanya.
"Ah.. Oh. Lhoh.." Jam tangan itu meredup.


Segera kuputar satu-satunya tombol di jam itu. Ke arah yang berlawanan. Menuju masa lalu. Barangkali waktu telah melaju begitu cepat. Dan kamu tertinggal disana. Kedua jarum yang lebih panjang berputar balik begitu cepat. Tidak kudapati kamu di angka manapun. Kamu dimana? Kamu dimana? Kamu dimanaaa?
Aku lunglai. Tertampar teriakanku sendiri. Aku pandangi jam itu lagi. Sosok wajah sinis menyapa bengis. Bukan, itu bukan kamu. 
Pukul 21.00. Oh aku ada janji dengannya. Perempuan sinis yang dengannya selanjutnya aku akan berharap manis.



Kala Meradang

/ Sabtu, 09 Juni 2012 /
di pagi yang masih muda keputusan besar telah dibuat
disetempel merah dengan tinta darah merekat
merah, merah, dan begitu merah...
darah dari gumpalan kecewa yang mengeras
dari kemarahan yang menggunung
dari keputusasaan yang nyeri
dari kegairahan yang akhirnya mati
bertubi-tubi
yang dicinta tidak mau mengerti
yang dirindu begitu kaku
yang dinginkan kelewat lalu
padanya kutukan tertuju
berkali-kali
di hidup yang lebih dari dialektika ini
ribuan paradoks berhulu
ada rindu tapi terselip muak
membenci tapi mencintai
mendamba sekaligus ditabukan
ia hidup namun segera mati
terus-menerus
sampai datang suatu pagi
di tepian fajar yang ojok
dengan kilatan murka melecit
bak lecut Mikail
tak ada lagi ragu di persimpangan
tak ada harap yang tersemat
atau pungguk yang merindu bulan
tak ada, tak akan, lagi






Perempuan Tua dan Dua Belas Kucingnya

/ Selasa, 05 Juni 2012 /
Tiba-tiba saya kepikiran untuk menulis tentang ibu saya dan kucing-kucingnya. Pikir saya, barangkali mumpung di rumah. Padahal biasanya saya hanya akan menulis sesuatu ─yang di luar kerjaan saya─ jika sedang galau saja. Buntutnya, tulisan saya akan seperti apa sudah jelas. Perihal perasaan-perasaan yang nyaris semuanya tragis, mengenaskan, dan itu membosankan. Tentang kehilangan, perpisahan, dicampakkan, atau soal air mata rasanya sudah lekat sekali. Sayangnya, jika sedang di rumah kegalauan macam demikian rupanya tidak mampu menembus genteng dan dinding pertahanan rumah saya. Bisa dijamin, saya anti galau jika di rumah. Entah itu soal wanita, perihal finansial, tentang perkerjaan, apalagi skripsi.
Bukan cuma itu, saya perrnah menulis soal ibu saya dan kucing-kucingnya pada waktu sebelumnya. Barangkali karena ketidakmampuan saya merampungkan dan sampai sekarang masih nangkring di folder pribadi komputer lipat saya dengan label cerpen. Alur yang tidak terbentuk, konflik yang kurang memantik suspense apalagi surprise, hina sekali untuk disebut cerpen. Selepas dua halaman saya keteteran buat melanjutkannya. Ibu saya ternyata tidak cukup menginspirasi untuk jadi protagonis yang intens terlibat banyak hal dengan kucing-kucingnya. Sebab ibu saya orang pasar. Orang yang paruh waktunya habis di pasar. Pun bapak saya yang dikenal membenci kucing tampaknya kurang adil jika saya sematkan tokoh berwatak antagonis. Bapak saya memang membenci kucing. Saking bencinya saya pernah usul kepada bapak untuk memasang gambar kucing yang dilingkari dan disilang. “Cat, Don’t Enter” pada pintu kamarnya. Tetapi tidak berlebihan adanya. Saya pernah melihat sendiri bapak saya memberi makan kucing sewaktu ibu saya sakit.
Kendati demikan kedua belas kucing yang ada di rumah tidak satupun lolos dari gajulan kaki bapak kala muntab. Saya yakin semuanya pernah merasai. Yang kuning, yang hitam, yang putih, yang hitam putih, yang kuning putih juga yang bolang tiga. Tapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sebenarnya bapak menyayangi kucing-kucing itu.
Begitulah kondisi keluarga saya. Penghuninya hanya bapak saya, ibu saya, dan saya sendiri. Tetapi saya tidak masuk dalam hitungan penghuni tetap. Sebab seluruh waktu saya habis buat bermalas-malasan dan jadi pecundang di Jogja. Pulang ke rumah rata-rata sebulan sekali dengan menghirup udara di rumah paling banter seminggu. Hampir lima tahun saya berstatus penghuni tidak tetap di rumah saya sendiri. Itu artinya hanya ada bapak, ibu dan dua belas kucingnya yang memenuhi rumah tiap harinya.
Selama saya hidup. Mulai masih nangisan, ngompolan, ingusan sampai kumisan saya selalu hidup seatap dengan kucing. Perihal kenangan beserta mitos-mitos yang berseliweran soal kucing tentu ada. Waktu masih ingusan ibu saya sudah mengasuh kucing. Saya lupa jumlahnya tetapi saya mulai bisa mengidentifikasi kalau mahluk hidup yang begituan disebut kucing. Lantaran, kucing adalah mahluk kesayangan seorang nabi akahir zaman. Entah ibu saya dengar dari mana, kebetulan ia yang mengidola berat si nabi itu kurang total nampaknya jika ibu tidak ikut menyukai apa yang jadi kesukaan idolanya itu.
Tidak cuma itu, kucing katanya pembawa rejeki. Bukan, bukan seperti tuyul. Maksud ibu, kucing mendoakan siapa saja yang berbelas kasih kepadanya biar rejekinya lancar dan penolak balak. Entahlah sudah kubilang ini segenre dengan mitos tapi apa lacur ibu saya kadung mencintainya. Tidak maslah bagi saya toh tidak merugikan orang lain, itu saja. Jadi sampai sekarang saya tidak pernah sudi mendebatnya.
Ada lagi, ibu saya mengembangbiakkan kucingnya lantaran ia terkadang kesepian di rumah sendiri. Ini juga baru saya tahu dari pengakuan ibu sendiri akhir-akhir ini. Katanya, jika sedang tidak ada orang di rumah (saya kira memang sering tidak ada) ibu selalu mengajak ngobrol kucing. Entah seperti apa bahasanya tidak perlu dibayangkan. Saya mengartikannya ibu sangat kesepian. Satu-satunya mahluk hidup yang ada hanya kucing. Pikir saya ketimbang mengajak bicara kursi atau meja, agak komunikatif dengan kucing.
Kucing-kucing yang ada di rumah memang lebih dekat dengan ibu saya ketimbang yang lainnya maupun sesamanya. Buktinya dimanapun ibu saya berada, selama di lingkungan rumah sudah pasti ada beberapa ekor kucing yang membuntutinya. Bahkan dari cerita ibu, jika kebetulan ada salah satu kucing asuhannya sedang di luar dan melihat ibu saya entah dari pasar entah dari toko sebelah rumah, sudah pasti kucing itu akan mengekor di belakang ibu saya sampai tiba di rumah layaknya ajudan. Bedanya kucing ini mungkin hanya menagih makan.
Soal hubungan bapak saya dengan kucing nampaknya tidak perlu saya tulis detil. Selain mengingkari judul, kucing-kucing di rumah sudah pasti tidak suka dengan bapak. Dan bapak mungkin saja suka, tetapi dasar kucing yang mungkin tidak mampu merasakannya. Buktinya, bapak saya kerap ngepel lantai, nyuci karpet saat ada kotoran kucing. Walau memang serapahnya terkadang membuat bulu kuduk kucing bergidik. Selabihnya bapak saya hanya mungkin memberi makan saat tertentu saja, selebihnya lagi abai, tidak peduli berapa jumlahnya, tidak acuh berapa yang ikut makan hari ini, atau kucing mana yang kerap mengeluarkan tahi sembarangan, dan sebagainya dan sebagainya. Itu bapak saya.
Sedangkan saya, posisinya hanya penikmat. Saya suka menyentuh bulu-bulunya, memebelai lehernya, mengelus ujung hidungnya yang basah, dan nikmat sekali jika si kucing berkenan menjilati. Lidahnya keset, hangat, dan menggelikan. Sekalipun saya tidak pernah memberi makan kucing-kucing itu saya menyayangi kucing-kucing di rumah. Saya jijik jika harus meremas-meremas ikan campur nasi. Belum lagi resiko digigit, dicakar, dikoyak lantaran pada berebut sampai-sampai kalap membedakan mana jari manusia mana ikan. Itulah kucing, musti ribut dulu saat mau makan juga saat mau kawin.
Saya mulai mencintai kucing juga terhitung baru. Barangkali setelah ada kejadian-kejadian yang menurut saya berarti. Dan kebetulan kucing terlibat dalam kejadian itu. Dulu sebelum saya mengenal mana yang baik mana yang tidak baik, saya termasuk bocah yang membenci kucing. Lebih dari membenci mungkin. Saya pernah membunuh kucing dua kali. Tidak, tidak sampai pembunuhan berantai. Itu terjadi karena tidak ada perencanaan sebelumnya.
Pembunuhan pertama sewaktu saya bangun tidur. Seingat saya di dapur ada jobong, kompor tradisonal berbahan bakar kayu dan saya kerap berapi-api di depannya. Mencari kehangatan sambil melihati api yang melahapi kayu-kayu dalam jobong. Tiba-tiba ada anak kucing dengan santainya duduk membelakangi saya di depan jobong mungkin berapi-api dan mencari kehangatan. Tanpa pikir panjang anak kucing itu saya raih lehernya dan saya lempar ke dalam jobong. Ibu saya yang tengah memasak lantas berteriak dan meraih si anak kucing dengan kayu. Alhasil anak kucing itu terselamatkan dengan luka bakar yang sangat serius. Namun nampaknya sebuah pasta gigi yang dileletkan ibu ke tubuh naas kucing itu tidak begitu membantu dan akhirnya tewas. Sumpah saya masih bocah waktu itu.
Pembunuhan kedua sewaktu saya pulang sekolah. Saat itu saya dan beberapa teman saya melihat seokor anak kucing yang sumpah mati, parasnya jelek sekali. Mukanya rembes, matanya penuh sethel baik yang sudah mengering ataupun masih basah. Kegilaan kami yang waktu itu masih bocah tak kenal kompromi apalagi pengampunan. Tiba-tiba salah seorang teman saya menendang kucing itu sampai terpental beberapa meter. Entah teman saya sedang berhalusinasi mempraktekkan gaya tendangan Kojiro Hyuga, tokoh kartun anak serial Tsubasta yang terkenal dengan tendangan macannya atau entah saking bencinya. Kucing yang tidak berdaya sebelumnya itu tambah semaikn tidak berdaya lagi, terkapar dan mungkin sekarat.
Saya yang tidak mau ketinggalan menghampiri kucing itu. Mengambil satu batang sapu lidi. Sumpah bagian ini perlu disensor. Intinya kami bertiga meninggalkan anak kucing malang itu dalam keadaan mulut menganga dan sapu lidi tembus sampai anusnya. Innalillahi.
Menginjak remaja, saya baru menyukai kucing. Ceritanya, sewaktu bulan puasa, selepas sahur saya menonton tivi di ruang tamu. Tertidur, di atas kasur lantai dan beberapa kucing di samping saya. Bahkan salah seekor diaantranya tidur di atas perut saya. Kucing memang senang tidur di atas perut manusia, mungkin karena berdenyut-denyut naik turun, empuk dan hangat tentunya. Dan seekor satunya tidur di bagian bawah selangkangan saya yang terbalut sarung. Tiba-tiba kucing yang tidur di selangkangan saya itu meraung-meraung dan mencakar pangkal paha saya. Rasanya geli dan lama-lama menyakitkan. Saya terbangun dan melihati kasur lantai dekat kaki saya sudah terbakar dan berasap. Saya lantas bangun dan memanggil ibu saya. Kasur lantai itu hampir separohnya terbakar. Penyebabnya mungkin obat nyamuk sisa semalam yang menyelet kasur.
Sumpah saya tidak bisa melupakan kejadian itu. Apalagi ibu saya mengaimini teorinya seolah kucing memang mampu mencegah kesialan. Sejak saat itu saya mulai peduli kucing dan bahkan tidak bisa tidur jika tidak ada kucing di samping saya. Mungkin karena perasaan cemas. Saat tidur akan lebih nyaman jika ada yang menjaga, pikir saya walaupun (cuma) kucing.
Untuk mengapresiasi lebih lanjut apa yang telah dilakukan kucing-kucing saya di rumah, saya memutuskan untuk memotretnya dan menguploadnya. Sekenanya karena dari dua belas kucing itu tidak semuanya bersedia di potret. Dan satu lagi saya baru menyadari betapa kami sekeluarga tidak pernah sekalipun memberi nama yang pasti. Yang melekat pada personal masing-masing kucing. Terlalu banyak mungkin atau bentuknya sama. Dari kedua belas kucing cuma ada warna-warna dominan, diantaranya; kuning, putih, hitam, dan bolang telon atau perpaduan dari tiga warna. Hitam putih dan kuning.
Berikut mereka-mereka itu kendati jumlahnya tidak dua belas paling tidak mewakili komunitas kucing yang pernah hidup dan sekarang masih hidup di rumah saya beserta nama-nama yang kesemuanya belum disepakati secara masif oleh keluarga saya pun kucingnya.





Yang ini namanya Entis, bolang tiga namun dominan hitam. Betina, muda, gesit, lincah, dan agak jaim dengan orang. Ibu saya terbiasa memanggilnya, Tis tis tis...




Ini Momot, cadas, ketus, jutek. Pejantan yang kurang tangguh. Jarang pulang namanya atas usulan saya bebeapa hari lalu lantaran mirip kucing yang pernah saya pelihara waktu semester dua. Pernah mencoba dipanggil Mot, dan tidak ada respons yang berarti. Kendati ibu saya mengeneralisir semua kucing dengan panggilan Pus.


Sementara kucing ini paling tua. Pejantan tangguh, besar, sering terlibat pertarungan, penakluk betina (nampaknya). Jarang pulang, sekali pulang (cuma) buat makan dan sekali makan tidak senang diganggu. Namanya Basir, inspirasi dari tokoh tritagonis dalam film Misteri Gunung Merapi.


Sekilas kucing ini menyeramkan. Diantara beberapa kucing yang ada ini satu-satunya yang saya suka. Bulunya halus, bola matanya bening. Soal makanan kucing cenderung qona'ah. Sampai sekarang belum menemukan nama. Sementara ada ide untuk memanggilnya Temi, variasi bahasa dari item atau hitam.


Ini si nyonya besar. Rutin bikin anak. Beberapa kucing yang tersisa adalah keturunannya kecuali Basir. Tukang tidur. Ranjangnya  di sofa dan di kasur lantai. Tidak bernama.


Ini juga tidak bernama. Kelirnya mirip Momot. Tidak akan protes seandainya kucing ini dipanggil Momot. Penunggu rumah. Jarang keluar, teman menonton teve yang nyaman.

Kucing ini kesukaan ibu saya. Diberi nama Cipluk. Kucing ini yang pertama kali punya nama mungkin. Diambil dari nama penyiar radio FM R2B. Saluran radio yang mempunyai acara Asbak (Asal Tebak) dengan pembawa acara bernama Cipluk. Kucing ini betina yang cantik. Daerah kekuasaanya adalah kamar ibu saya.



Yang kuning ini anak-anak. Tidak bernama. Crewet. Kurang akrab dengan manusia. Lebih sering tidur dengan ibunya. Seperti yang saya bilang si nyonya besar itu gemar tidur. Kalau kebetulan dengan anaknya si nyonya besar akan tidur di kasur lantai.



Ini juga anaknya si nyonya besar. Tidak bernama.


Kucing-kucing ini memilih bermalas-malasan. Cukup jadi pemcitraan dari keluarga kucing yang harmonis.






Keturunan dari si nyonya besar. Awal kelahiran ada tiga. Warnanya hitam. Saat usianya beberapa hari ditemukan meninggal dengan luka gigitan di leher. Konon si Basir yang membunuhnya. Kebiasaan kucing paling bar-bar setahu saya ya semacam ini. Pejantan biasanya menerkam anaknya sendiri hingga tewas. 


 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger