Untung Saja Ponselku Gak Low-Batt

/ Senin, 18 Maret 2013 /

Lebih kurang 235 Km jarak tempuh untuk pulang kampung, sekadar bertemu mamak bapak, dan 12 kucing di rumah.

Ini ke dua puluh tiga kalinya aku pulang kampung, terhitung sejak merantau di Jogjakarta. Sebanyak tiga belas kali naik bus dan sepuluh kali mengendarai sepeda motor. Di antara sepuluh kali mengendarai sepeda motor itu, lima di antaranya aku mengalami kecelakaan. Empat untuk kecelakaan kecil dan satu untuk kecelakaan besar. Sisanya, aku selamat? Tidak juga, jangan girang dulu. Bagiku musibah yang terjadi di jalanan selain lakalantas adalah ketilang polisi. Ya, sisa selamatku dari kecelakaan lalu lintas, empat kalinya aku ditilang polisi. Ironisnya, di tempat yang sama; simpang lima Purwodadi. Benar-benar tupai yang jatuh di lubang yang sama.

Oh ya, soal yang naik bus, alhamdulillah, kata orang Arab, tidak ada insiden yang berarti untuk diceritakan karena aku lebih sering tidur.

Entah kenapa tiba-tiba aku memilih menulis ini untuk duel dengan Ade Rahma bla bla bla. Bukan, bukan soal mudik pakai motor itu membahayakan. Melainkan soal kematian. Aneh, apa hubungannya mudik dengan kematian? Aku yakin tulisan ini  akan tidak bermutu. Pikirku sih, ketimbang menceritakan akitvitas di rumah, akan sangat membosankan. Pun untuk ukuran mahasiswa seakut aku ini, pulang kampung dan menghuni rumah bukan lagi aktivitas yang berharga justru kadang menjadi beban, “Kok ra lulus-lulus Le?” bisik mamak pelan, namun seperti petir yang mengganjur kepala.

Well kita mulai!

Seseorang tentu bisa mati kapan saja, termasuk aku. Di mana saja dan itu seperti rahasia yang bisa datang dengan tiba-tiba. Akhir-akhir ini, aku selalu kepikiran soal kematian. Teman yang mati, tetangga mati, saudara mati, dan bahkan aku. Aku yang akan mati. Bagaimana kalau tiba-tiba aku mati? Sekarang, besok, lusa, tulat, tubin, seminggu lagi, sebulan lagi atau berikutnya? Bagiku tidak masalah dan tidak cukup membuatku resah karena cepat atau lambat setiap yang bernyawa akan mati. Tetapi aku resah dengan apa atau bagaimana aku akan mati? Ditusuk, ditembak, diracun, dicekik, digantung atau dengan apa? Pula bukan soal betapa sakitnya saat sekarat karena menurutku akan sama rasanya.

Lalu kenapa tiba-tiba memikirkan mati? Mungkin karena sebentar lagi aku pulang kampung. Apa hubungannya mati dengan pulang kampung? JALAN RAYA, man! Kamu musti tahu betapa malaikat maut itu banyak yang bertugas di jalan raya. Maut seolah mengintai di balik pepohonan yang ada pinggir jalan, di aspal-aspal berlubang, dan di antara kantuk serta keteledoran para pengguna jalan.

Di tahun ini usiaku dua puluh tiga, man! Usia yang masih muda untuk rata-rata normal hidup seorang manusia. Njuk ngopo? Bukan apa-apa, hanya saja, rasanya kematian sedang memata-mataiku, di saat aku hendak pulang kampung. Mungkin ada baiknya aku menyalahkan berita, terutama televisi. Mengekspose, betapa kecelakaan terjadi bertubi-tubi dan ngeri. Ada yang diseruduk truk dari belakang, di saat asyik menunggu traffic light menghijau untuk giliran jalan. Ada yang karena salah perhitungan menyalip, oleng, terlindas truk, dan sebagainya. Angka kecelakaan begitu tinggi.

Rupa-rupanya ini yang merasuki bawah sadarku untuk memikir soal kematian. Jalan raya kerap menjadi arenanya walau kadang rumah sakit kerap dijadikan pelampiasan. Dan yang lebih astaga, aku pulang kampung dengan kondisi yang kepalang di kepala.

***
Pagi itu, aku mengendarai sepeda motor tua bikinan Suzuki. Motor yang sudah tiga tahun menemaniku ke mana saja, termasuk saat pulang kampung. Kondisi motor, menurut bengkel, sudah layak jalan. Rem masih cakram, rantai bagus, tekanan ban memenuhi standar, dan suspensi motor juga stabil. Jika sedang kebetulan ingin bersepeda, aku cabut dari Jogja pukul 03.00 dini hari. Pukul lima agar aku bisa menikmati nasi liwet khas Kartasura. Pukul 07.00 sampai Purwodadi dan melahap nasi pecelnya yang lezat buat sarapan. Pukul 10.00, jika perjalanan lancar aku mampir Blora, tahu kupatnya sayang sekali untuk dilewatkan. Pukul 11.00, akhirnya sampailah rumah tercinta. Itu artinya, delapan jam, waktu normal untuk sampai rumah, sudah termasuk istirahat dan makan. Rutenya melewati kurang lebih delapan kota, Klaten, Solo, Sukoharjo, Boyolali, Sragen, Purwodadi, Gerobogan, Blora, dan kota tujuan, Rembang.

Pagi itu, rasanya ada yang aneh, delapan jam dan delapan kota jadi tampak mengerikan. Aku men-stater motor dengan berat hati dan ogah-ogahan, tetapi mengingat SMS yang kukirm sebelumnya ke mamak bahwa aku akan pulang hari ini, menuntutku untuk segera meremas gas dan menginjak perseneling gigi. Sebab, selama menjadi pengurus UKM Ekspresi, bisa merencanakan pulang kampung itu ialah hal yang hampir mustahil. Bahkan terkadang rencana pulang hanya jadi ilusi. Alhasil, janji kepada mamak pun kerap teringkari. Maka tersebutlah manifestasi, jika hanya masalah kekhawatiran yang tidak karuan kepalang itu saja, musti kulawan.

Pagi itu, nasi liwet Kartasura jadi kurang menggoda dan terlewati begitu saja. Teh angetnya tidak lagi terbayangkan seperti oli yang melumasi mesin kepanasan, justru malah terbayangkan seperti darah segar yang terkucur, buket, dan anyir. Sebab sewaktu di Klaten tadi, aku sempat melihat kecelakaan. Lebih tepatnya pascakecelakaan, antara vespa dan entah dengan apa. Aku hanya meilhat kondisi vespa reot di tepi jalan yang remang-remang, di antara kerumunan orang yang mulai menyepi. Aku tidak tahu betul bagaimana nasib pengendara. Namun, pemandangan itu cukup membuatku bergidik, merinding, dan memelankan laju motor.

Pagi itu, aku terus mencoba melawan keadaan yang makin tidak kepalang. Pikiran-pikiran soal mati kerap merajai pikiran. Di Sukoharjo, konsentrasi benar-benar buyar. Antara setir, getaran ban, dan jalan bergelombang, kadang tidak terasai lagi. Aku seperti sedang berada di entah, sampai plang bertuliskan menuju Purwodadi kelihatan, dan sontak membuyarkan lamunan. Satu hal yang terpikirkan, memacu laju motor lebih cepat lagi, karena lebih cepat sampai, lebih baik, pikirku.

Setiba di Gemolong (daerah antara Sragen dan Purwodadi) mentari mulai bangun. Sinarnya menembus kaca helm dan mengenai mukaku yang pucat. Kusingkap kaca helm, angin pagi yang segar membelai licik. Sempat terpikir untuk menepi sebentar, di pingiran areal persawahan, membakar rokok, dan menunggu kereta barang, yang aku yakin akan segera melintas. Bayangan akan lanskap desa yang indah sempat menggiurkan. Tetapi, hasrat ingin segera sampai rumah dan pikiran gelap kadung merajai kepala. Membelenggu otak dan hati sehingga aku menjadi manusia yang kesusu.  Manusia yang kata Puthut EA, termasuk Orang-orang yang Bergegas. Orang-orang yang menjalani hidupnya hanya diperbudak waktu, grusa-grusu. Sampai keindahan yang ditampilkan dunia ini jadi tidak penting.

Begitulah, motor kulaju dengan cepat, 100 Km/jam. Setidaknya lebih cepat dari sebelumnya dan parahnya masih dengan pikiran yang sama. Kepalang, ruet, mblundet, dan bau-bau kematian semakin menyengat. Aku bahkan membayangkan sedang mengirim SMS ke rumah, meminta maaf pada mamak karena masih enggan lulus, meminta maaf pada mantan-mantan pacar lantaran pernah menjadi manusia yang tidak baik dalam hidupnya, kepada pemimpin-pemimpin Eksrpresi waktu itu, Anna, Rhea, Habib, Hasti karena tidak dapat lagi memipin Ekspresi. Membayangkan orang-orang yang akan menangis saat pemakamanku. Ah memikir kematian malah membuatku menjadi sepiritualis.

Tet…teet…teeet………
Bbrrruuakkk…

Sebuah bus pariwisata menyerudukku dari belakang. Setelah aku mendadak rem depan rem belakang, guna menghindari aspal yang berlubang. Tubuhku terasa ringan, terhempas, dan terkapar di pinggiran jalan yang berumput. Dari jarak 6 meteran, aku dapat melihat motorku berada di bawah moncong Bus, mesinnya masih hidup, meraung-meraung, dan roda belakang meronta-ronta. Aku melihat bus mundur sedikit. Sudah ada puluhan orang yang berkerumun, berkasak-kusuk, sebagian lagi menyebut-nyebut, mengangkat motorku, memegang leher dan memutar ke kiri kuncinya. Motorku tenang dengan luka di bagian belakang yang parah, remuk. Serpihan-serpihannya begitu memedihkan, lampu sein, plat motor, body belakang sudah tak karuan wujudnya.

Sementara aku, banyak dicari orang. Sebagian mengira aku di bawah bus, salah satu sebagian menanya dengan tidak percaya, “Gek wau sampeyan mboten?” (yang tadi itu kamu, bukan?) kata bapak-bapak. Aku menghamipiri motor setelah bilang, “Iya.” Berbicara pada sopir bus, saling menyalahkan, berdebat dan berujung “Saya akan bertanggung jawab,” kata sopir yang sebenarnya hanya sebagai upayanya meredam emosi warga.

Motorku di angkut, dinaikkan dalam bus. Tak jauh dari situ, katanya ada bengkel motor. Aku mengambil tawaran itu. Belum menghubungi siapa pun apalagi orang rumah. Pikirku, masalah sudah bisa kuatasi. Nanti saja kukirim SMS, mengabarkan bahwa aku tiba di rumah agak sorean. Berbalut seidikit kebohongan lantaran ada urusan di jalan buat menghindari kerawanan tekanan batin mamakku yang mengidap hipertensi yang akibatnya jika dapat kabar buruk tidak perlu kuceritakan di sini.

Di dalam bus, aku serasa menjadi fokus perhatian penumpang yang mungkin rombongan haji. Sebagian penumpang menatapku sinis, ingin menghujat walau ditahan, mengataiku biang kerok dan ada juga yang mengiba, berbasa-basi menanya keadaanku yang sebenarnya tidak apa-apa, meminta dijelaskan kronologi kejadiannya karena memang dia penumpang yang ada di bagian belakang. Tidak ada luka sedikit pun. Luka sebenarnya adalah pada benda bermesin, semi besi, karet, dan plastik itu. Oh Semhi (nama motorku) what the hell happen with you? I’m so sorry.

Barangkali inilah yang disebut sudah jatuh tertimpa tangga.  Bus berhenti, di areal ladang tebu yang sepi dari manusia. Motorku diturunkan oleh kondektur. Sopir bus, menuntaskan konaknya buat memarahiku, menyalahkanku yang mengerem mendadak. Baiklah, secara sebab-akibat, this is my fault. Upaya membantah, menyangkal namanya ngerem juga mendadak tidak membuat sang sopir surut. Barangkali si sopir sudah terlalu sering menabrak orang, jam terbang di jalanannya tinggi. Kenalan polisinya, katanya juga banyak. Dan bengkel yang dijanjikannya tak lebih hanya gombal si sopir semata.

Aku kalah berdebat, tidak ada ganti rugi hanya selembar uang merah bergambar Soekarno-Hatta, disodorkan kepadaku, yang sebenarnya tidak mengganti kerugian, sama tidak setimpalnya jasa Soekarno-Hatta dinominali seratus ribu. Tapi masih mendingan, daripada Tuanku Imam Bonjol yang cuma dihargai lima ribu, atau bahkan Pattimura yang seribu. Ah hidup ini memang konyol.

Aku lunglai, bus pergi begitu saja, kulihati nomor polisi di belakangnya K 1986 NF, pikirku suatu saat bisa balas dendam. Panik, kecelakaan yang sebenar-benarnya justru kurasakan pada saat itu. Meminta pertolongan pada siapa? Tuhan? Ah tanggung jawab memang sepi.

Aku mengotak-atik telepon genggam, mencari nomor telpon orang yang kukenal. Iseng, menghubungi seseorang yang disebut pacar. Memberi kabar kalau aku kecelakaan, lokasi di Gemolong. Malah menangis, matikan. Berganti Anna, PU Ekspresi waktu itu, sama juga menangis, banyak bertanya, dan panik, matikan.

Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi orang rumah, menerima segala konsekuensi yang akan terjadi. Menjelaskan detil keadaan yang pada dasarnya tidak apa-apa hanya motor rusak berat dan tidak bisa pulang. Mamak bilang, tunggu di situ, cari kantor polisi setempat. Keluarga dari Blora akan menjemput. Tut tut tut…

Melegakan!

***
Usai kecelakaan itu, aku justru bersukur. Bayangan akan kematian menjadi jauh dan lusuh. Akan siap menghadapi kalau memang terbesit lagi. Dan justru yang paling berbahaya ketika aku sibuk memkirkannya. Hal paling menakutkan dalam hidup ialah ketika aku tidak tahu dan menduga-duga. Menyitir kata Inas, ketakutan itu untuk dihadapi bukan untuk dihindari.

Usai kecelakaan yang aku harap terakhir kali, aku semakin mengenal Tuhan. Dia ada, dan benar kata orang, Tuhan adalah apa yang kita pikirkan. Setelah insiden itu aku sudah pulang kampung lagi sebanyak enam kali. Tidak terjadi apa-apa. Kecelakan itu tidak membekas apapun pada tubuhku, hanya di ingatanku. Kejadian yang bertahun silam, aku menulisnya untuk memenuhi tantangan Ade. Jika kamu bertanya, mengapa sih mas, kamu pakai selamat segala? Aku juga tidak tahu, mengapa aku bisa selamat dan motorku tidak? Hanya Tuhan dan sopir bus yang tahu.

*ditulis sambail mendengarkan The Beatles mendendang Across the Universe.
 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger