May…

/ Rabu, 30 Mei 2012 /
Tanda seru yang kau sertakan untuk memungkasi surat tronikmu pagi tadi lebih dari sekadar kalimat berita undangan. Aku merasakannya sebagai berita kehilangan, tiba-tiba.


May, ia temanku masa kecil di kampung halaman. Dalam kehidupan di pedesaan, tetangga dekat adalah teman. Entah hukum apa yang berlaku, tetangga juga kebanyakan rupa saudara. Samping rumah masih punya pertalian darah. Entah Pak Lek-Bu Lek, entah Pak De-Bu De. Namun tidak dengan May. Teman bermain sekaligus teman belajarku ini bukan saudara. May gadis periang yang masih mewarisi gen Tionghoa Lasem. Rambutnya lurus tipis-tipis, matanya ciut, alisnya mirip celurit, dan kuning langsat kulitnya.
Aku lupa berapa usiaku waktu itu. Jelas terang aku duduk di kelas dua SD. Begitu juga May, ia sebaya denganku. Bedanya kami tidak mengenyam bangku sekolah yang seatap. May bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah. Sekolah swasta setingkat SD tapi sarat akan mulok agama. Rumah kami tidak jauh jaraknya. Hanya selang satu rumah di belakang rumahku dan selang satu rumah di belakang rumah May sudah laut adanya. Sekolah kami juga tidak jauh jaraknya, mungkin 100-an meter dan pada arah yang sama. Beigtu juga lautnya. Bisa dibilang kami anak pantai.
May dan aku teman yang intim. Walau beda jenis kelamin kami tak pernah permasalahkan kegemaran main bersama. Kedekatan kami agaknya terkait campur tangan orang tua. Ibuku menyayangi May layaknya anak sendiri. Bahkan Ibuku punya panggilan khusus buat May. Ibuku tidak pernah sekalipun panggil dengan kata May melainkan Ning. Di tempatku Ning adalah panggilan untuk peranakan ulama besar. Semacam Gus, jika peranakan itu laki-laki. Ibuku tahu aturan itu, kendati May bukan anak dari seorang kyai tetapi dengan prinsipnya sendiri ibuku tetap menamainya Ning yang menurutnya punya asosiasi kecantikan. Aku setuju, Ning memang cantik tetapi aku lebih suka memanggilnya May.
May piatu saat usianya di bawah tiga tahun. Ibunya meninggal saat akan melahirkan adiknya. Dalam satu waktu May kehilangan dua orang sekaligus yang mungkin sangat berarti. Menurutku ada untungnya juga May masih kecil waktu itu. Ia tidak perlu merasa kehilangan yang sampai mengharu biru. Ia bahkan belum tahu makna kehilangan mungkin. May hanya tahu ibu dan adiknya meninggal dari balutan-balutan cerita. Dan May sudah terbiasa dengan hal itu.
Jika kebetulan sekolah May pulang pagi ia pasti akan mampir ke sekolahku. Menungguiku di taman sambil menjajaki beberapa fasilitas anak-anak yang tidak dimiliki sekolahnya. Main ayunan, biasanya sambil makan snack ringan macam fuji mie. Setelah itu kami akan pulang bersama-sama. May menenteng jilbabnya dan aku menjinjing sepatuku. Lalu kami akan berhenti di bagian terluar pekarangan masjid. Mencari daun paling lebar dari tumbuhan kelas perdu bernama anak nakal yang dijadikan pagar masjid.
Itu pasti. Baru setelah adzan dzuhur berkumandang, kami berdua akan tunggang-langgang untuk pulang. Lari kocar-kacir sambil teriak gorokan gulu, gorokan gulu. Ini adalah mitos paling keparat yang diwariskan para orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar tidak bermain menjelang dzuhur. Gorokan gulu yang bisa juga diartikan pemotong kepala adalah cerita seram yang paling ditakuti anak-anak saat siang bolong. Gorokan gulu, versi cerita orangtua sejenis orang gila yang membawa pisau, celurit, gergaji, atau benda tajam lainnya yang jika menemui seorang anak akan dipotong lehernya.
Nyaris dalam setiap harinya waktuku mengalir bersama May. Sore hari kami main di pinggiran laut. Berburu jingking, binatang semarga dengan kepiting yang larinya secepat kilat. Atau kalau tidak, May akan ke rumahku menonton acara Si Komo, boneka komodo yang lucu. Menjelang maghrib aku dan May sudah di surau asuhan Mak Itun. Bersama anak pantai lainnya yang sebaya. Menumpuk Qiro’ati di meja kayu untuk digilir ajar ngaji oleh Mak Itun. Selepas maghrib sudah pasti May ke rumahku sampai Isyak. May dengan buku tulisnya berwarna dan aku dengan buku tulis yang motifnya sederhana.
Walau aku dan May teman yang intim, sekali pun aku belum pernah main dan masuk ke rumah May. Aku hanya tahu rumahnya berwarna hijau mupus. Entahlah tampaknya aku punya kelainan selalu merasa tidak nyaman jika masuk di rumah orang lain. Aku juga tahu neneknya setiap pagi menjual kerupuk di pasar Gandri, dan aku tahu bapaknya seorang nelayan tradisional yang dua hari sekali pulang untuk melelang tangkapan lantas melaut lagi.
Sejak toko elektronik keluarganya di Lasem dibakar massa yang konon imbas dari kerusuhan politik menjelang reformasi. Perekonomian keluarga May bisa dikata berantakan. Nyata saja, bapak dan ibunya May bisa membangun ulang toko, namun perekonomian disana benar-benar sudah dimatikan. Toko-toko Tionghoa sepi pengunjung sedang pajak dimahalkan.
Bapak May yang keturunan Jawa asli memutuskan untuk menggulung tikar dan menjual toko sekaligus rumahnya. Lalu pindah ke desa kelahirannya. Bersama seorang nenek dan bibi, bapak May mengasuh dan merawat May. Saat itu kondisi sosial masih belum tertata. Terjadi pendiskriminasian pada etnis Tionghoa di Lasem. Toko-tokonya di jarah, di bakar dan orangnya dibiarkan hidup. Orang tua May bukan satu-satunya pemilik toko Tionghoa yang terusir kala itu. Lasem menjadi kota tua yang sekarat kemudian. Lantas mati, sejak penghuni aslinya (Tionghoa) pada angkat kaki dari Lasem pertiwi.
Aku dan May tidak pernah punya masalah serius soal hubungan. Diantara kami tidak kenal yang namanya cinta, cemburu, perasaan rindu, atawa kangen yang menggelora. Diantara kami belum mengenal konsep saling memiliki. Mungkin kami belum memahami perosoalan itu. Atau hormon yang ada pada tubuh kami belum begitu kompleks. Aku ya aku, May ya May. Mainanku ya mainanku, Mainan May ya mainan May. Kalaupun ada cemburu, paling-paling sebatas keirian soal mainan. Semisal May punya mainan yang bagus dan aku sudah pasti merengek pada ibuku untuk membelikannya yang serupa.
Kehidupan kami normal layaknya dunia anak pada umumnya. Bermain, belajar, dan belum begitu mengerti parodi kehidupan. Sampai pada akhirnya aku menjadi berjarak dengan May. Keluargaku berpindah rumah di bagian selatan Rembang dekat Kota Blora. Sedang May di bagian utara. Secara geografis jarak rumah kami ada skitar 40 kilo meter. Jarak yang cukup jauh untuk main bersama apalagi anak seusia kami.
Tetapi aku tidak pernah merasa kehilangan May. Aku tidak sedih dan May pun nampaknya sama. Seintim apapun kami waktu itu, emosional kami belum begitu cerdas untuk menekuri lanjut sebuah hubungan pertemanan yang lekat. Sebuah perpisahan yang tiba-tiba menjerat, tidak cukup tangkas membikin sepi. Apalagi sampai merasa kehilangan satu sama lain. Tidak sama sekali, aku yakin.
Di sekolahku yang baru, aku juga dapat teman yang baru. Teman main dari anak tetangga juga banyak. Ada si Ipul, Rudi, Evi, dan sebagainya. Satu-satunya yang terkadang terasa hilang adalah laut. Jelas saja rumahku yang baru di daerah paling selatan Kota Rembang merupakan wilayah pegunungan. Dari laut inilah terkadang yang mengantarkanku untuk mengingat May. Lewat kebiasaan bermain bersama. Berburu jingking, main loncat tali tambang cancangan kapal para nelayan, atau buang air besar di pinggiran laut dan mengamati tahi-tahi kami dipilin ombak. Itu saja. Semakin lama ingatan-ingatan soal laut dan May menjadi jarang terlintas. Mungkin ini yang dinamakan beradaptasi. Segala rupa permainan baru cepat saja kulakoni dengan beberapa temanku yang baru. Main bentek, jirak karet gelang, gobag sodor, benteng-bentengan, ciblon di kali, berburu belalang, jangkrik, dan lainnya. Kenangan akan May seolah melenyap entah terlarung di laut entah hanyut di kali.
Usiaku makin bertambah. Usia May sudah pasti bertambah pula. Dari yang enam tahun, sepuluh tahun sekarang bisa lima belas tahun dan seterusnya.
Sudah lama kutanggalkan seragam putih-merah. Juga mulai menggantung seragam putih-biru. Sekarang saatnya mengenakan seragam putih-abu. Menjajaki Sekolah Menengah Atas aku pernah bermain di daerah dekat rumahku dulu. Seorang teman karib di sekolah  ternyata berumah di daerah tersebut. Sekali waktu aku bertandang ke rumah temanku itu. Sekali waktu itu pula aku teringat waktu masih tinggal di rumahku dulu, soal laut, dan tentu saja tentang May. Aku pernah punya teman masa kanak di sini. Kenangku dalam hati. Entahlah kenapa harus menunggu “sekali waktu” itu. Barangkali sekarang aku berteman dekat dengan orang sini. Barangkali pula sekarang ini aku sudah cukup tahu konsep kedekatan, saling memiliki, perpisahan, juga kenangan.
Sebenarnya pada setiap lebaran, bapak dan ibuku juga mengajakku nglencer ke rumah bibiku yang dulu rumah tinggalku. Entah kenapa rasa-rasanya aku tidak mengingat soal May saat itu. Sebatas lihat pernah waktu ngelencer disana, iya. Namun tidak terjadi apa-apa. May nampak sudah besar sebantaran denganku. Kami hanya saling lihat dan menyapa, itu saja. Rupa-rupanya perihal sungkan entah gengsi tumbuh kuat saat itu untuk sekadar mengukir kenangan lampau atau menekurinya agar lebih dekat. Aku dan May barangkali telah menginjak puberitas.
Waktu itu aku angkatan paling baru di Sekolah Menengah Atas. Aku tidak berani bilang May juga seangkatan denganku. Sewaktu SD iya, kami seangkatan walau beda sekolah. Tetapi aku pernah tinggal kelas setahun. Itu artinya bisa jadi sekarang aku satu tingkat di bawahnya. Namun itu tak jadi soal. Sekali waktu itu aku benar-benar ingin ketemu May. Paling tidak mengobrol dalam waktu yang lama. Anstisipasi rasa malu nantinya sudah kupersiapkan. Pertanyaan-pertanyaan seputar punya pacar apa belum juga sudah kupersiapkan. Pokoknya aku ingin ketemu. Bukan untuk berburu jingking, bermain lompat tali tambang cancangan kapal, apalagi mengajak buang air besar bersama di pinggiran laut. Mungkin saja kami akan membicarakan itu semua. Dan aku sudah bisa bayangkan betapa indahnya sebuah kenangan-kenangan itu untuk dibincang lagi. Yang mana yang memalukan. Yang mana yang mengasyikkan. Dan yang mana yang lucu. Pasti akan bisa teridentifikasi. Pikirku, sipu.
May di rumah. Kami bertemu. Kami tidak terlalu asing ternyata. May membikinkanku minum. Oh bukan memngambilkan. Kami cuma minum air putih. Dua gelas dan bebrapa buah rambutan. Kami duduk di ruang tamu, May. Aku tanya kabar bapak, kabar nenek, kabar bibi. Semua sehat. May tanya kabar keluargaku. Semuanya sehat. Aku sehat. May juga sehat. Wajahnya tetap saja cantik. Rambutnya masih tipis, sebahu. Alisnya masih mirip celurit orang Madura. Matanya juga tetap sempit. Kulitnya mutlak langsat. Ada yang berbeda, gigi. Rupa-rupanya susunan tulang-tulang kecil di mulutnya itu lebih rapi dan penuh di banding kecil dulu. Itu yang bikin May lebih cantik.
Sudah, sudah cukup aku berpatroli di wajahnya. Dan May juga nampak kurang nyaman kupantengi terus. Kami akhirnya mengobrol. Apalagi kalau bukan masa kanak. Seingat-ingatnya. Itupun berkat pancinganku dari sekanario awal yang terasa kasar. Dan mungkin sudah banyak kisah fiksi dan improvisasi yang sengaja kuramu agar tampak semakin dekat. Mungkin May juga. Buktinya aku tidak ingat saat May cerita kalau kami dulu pernah tuker-tukeran bunga. May memberiku bunga bougenville dan aku yang tidak mau kalah memanjat pagar sekolah untuk mengambil bunga terompet untuk May. Aku tidak ingat, sumpah.
Begitulah kami waktu itu. Aku dan May memang tidak asing. Tapi tidak seintim dulu. Mungkin benar terlalu banyak hormon yang berkembang di masing-masing kami. Hormon yang mengolah tiap-tiap emosi menjadi rumit. Tiap-tiap tingkah laku seolah minta didefinisikan dan dikait-kaitkan dengan perasaan. Kami akhirnya abai bicara soal cinta waktu itu. Yang satu ini memang terkadang sangat rumit untuk dibicarakan. Lebih rumit dari mengurai pintalan ton-tonan benang yang ruwet. Lebih berat, sesak, serak sampai terkadang membuat tenggorokan seperti berdarah. Aku pendam saja yang bagian itu. May juga tampak lebih asyik mem-bully-ku soal tidak naik kelas. Apalagi ketika May pada akhirnya tahu sabab-musabab aku tidak naik kelas. Mengencingi meja teman sekelas lantaran persolan dengki. Sudahlah May sudah. Aku undur diri dan bertukar kontak ponsel.
Kami dekat lagi, setiap akhir minggu aku berkunjung kesana. Lamat-lamat dua minggu sekali. Lama-lama sebulan. Dua bulan dan berbulan-bulan tidak lagi kesana dan akhirnya tahun yang bertanda. May terlupakan begitu saja. Melenyap lagi. Melebur, meluntur bersama seragam putih abu-abu mungkin. Atau juga rutinitas-rutinitas yang cadas. Pernah datang masa sekali waktu lagi, saat kelulusan sekolah. Kukunjungi rumah May. Namun May sudah tidak di rumah. May sudah di Surabaya. May bekerja di pabrik kosmetik kata bapaknya. Ya sudahlah, aku pulang berkalung murung. Barangkali kami sudah mulai melupa. Aku sadar kami punya musuh besar bersama; waktu. Kontak ponselku sudah ganti. Ponsel May juga sudah tidak aktif. Kami berpisah tanpa pernah bertemu lagi. Untuk teman masa kecil yang menyenangkan. Untuk teman masa puber yang cukup misterius. Kularung kau dari Jogja. Aku kehilangan.
Di suatu pagi, kudengar adzan subuh telah luruh dari tubuh. Berkelakar semalaman dia atas kasur dengan sprei bekas bercak sperma yang mengering. Kudapati pesan singkat di ponselku. Nomor asing dan tidak bernamakan diri. Aku maklumi membalas karena pikirku, barangkali pernah menyimpan nomor itu. Lantaran ganti ponsel banyak nomor yang raib. “siapa ya?” balasku buru-buru. “Aku May, eh datang ya. Bagiamana kabarmu?” Tidak kubalas. Sudah kuketik, awalnya. Kurang lebih begini. “Tiba-tiba dateng tahu-tahu mau nikah. Tega sekali kamu.”. Ku cancel. Barangkali malu. Barangkali marah. Barangkali kehilangan. Dan ketiga hal itu tidak selayaknya kulakukan.


Dalam hidup ada dua hal yang membuatku sering merasa kehilangan. Pernikahan dan kematian…



Soal Air Mata

/ Senin, 28 Mei 2012 /
Air yang paling kubenci di dunia adalah air mata. Terlebih jika perempuan dewasa yang menderasnya.
Semua berawal pada suatu siang di kala umurku masih kencur. Aku mendapati seorang malaikat berair mata. Malaikat itu tentu bukan malaikat yang dikonsepkan layak umum. Terbikin dari cahaya dan negatif atas nafsu apapun. Malaikat ini adalah ibuku, perempuan cantik yang tangannya sering kapalan karena kerasnya bekerja. Waktu itu aku tunggui ibu yang sedang bercumbu dengan mesin jahit. Siapapun coba bayangkan betapa anggunnya kaum hawa saat sedang menjahit. Ibuku bukan penjahit profesional, tetapi ibu punya sebuah mesin jahit lawas merek Butterfly sebagai harta warisan. Katanya keterampilan dasar yang musti dimiliki ibu adalah mampu menjahit.
Ibu akhirnya sempat menjahitkan baju pramukaku usai menyabet lencana baru di Persami pekan sebelumnya. Aku tunggui di bawahnya sambil main Tamiya. Mainan mobil-mobilan yang sangat tekenal di era 90-an. Ibuku memang tidak banyak bicara. Ibuku juga bukan pendiam apalagi seorang introvert. Tapi ibu sedang tidak tampak seperti biasanya. Ibu terlalu pendiam siang itu. Aku berharap sekali ditanyai perihal lencana baruku. Agar aku bisa berbangga hati karena telah berprestasi. Setidaknya prestasi yang tidak pernah diraih oleh kakak, saudara tunggalku yang kerap membuatku cemburu saat berebut perhatian ibu. Sembari merangkai komponen-komponen Tamiya, aku sempatkan pandangi ibu yang sedang tidak seperti biasanya. Berkali-kali ibu mengusap mata dan melipat bibirnya dalam-dalam. Sesenggukan dan itu pelan sekali. Sangat pelan seolah hanya ibu yang tahu.
Masih terlalu mentah untukku bertanya ibu kenapa? Pula terlalu muda untuk ikut campur urusan orang dewasa. Ibu menangis pada akhirnya. Benar-benar menangis sampai bersuara. Bunyi lengkingan yang tertahan dari dalam dada. Ibu menangis layaknya temanku menangis saat di ejek teman sekalas lainnya. Ibu menangis yang sampai sekarang tidak pernah aku tahu karena apa. Dan itu baru pertama kalinya aku melihat ibuku menangis. Ibu memandangiku dengan mata yang sembab. Memberiku tanda supaya mendekat kapadanya. Ibu merangkulku erat-erat. Diciuminya seluruh bagian kepalaku membabi buta layaknya seorang ibu tentara yang menciumi putranya setiba di rumah usai perang.
Aku masih diam dan tidak tahu harus bicara apa. Sambil memegangi Tamiya di tangan kiriku aku berdiri dan menerima ciuman bertubi-tubi dari ibu. Mataku berkedip cepat, ibu masih menangis bersuara tetapi tidak berkata-kata. Aku yang terbawa suasana akhirnya menangis pula. Bahkan menangisku lebih kencang dari pada ibu.  Menangisku tidak bertendensi apapun. Mungkin karena ibu menangis aku juga ikut menangis. Masalahnya apa,  aku tidak mengerti dan benar-benar tidak pernah mengerti pasti. Kendati ada menangis karena terlalu bahagia dan menangis karena saking sedihnya. Barangkali ibu sedang sedih karena ulah bapak yang akhir-akhir ini kerap marah atau barangkali pula ibu terlalu bahagia dan menaruh bangga atas prestasiku. Tetapi aku berani pastikan air mata waktu itu adalah air mata kesedihan seorang ibu yang memangkul nasib keluarga di bahunya.
Pagi buta tadi di saat usiaku yang sudah bukan kencur lagi, aku dapati seorang perempuan yang menangis. Matanya sampai kuyu. Memerah sekan mengeluarkan darah. Perempuan ini bukan perempuan sembarangan. Aku bahkan sempat mensejajarkannya pada sosok ibuku. Aku tidak pernah tahu seperti apa ibuku saat muda. Dan kerap membayangkannya. Sampai ketemu dan dekat dengan perempuan itu beberapa bulan lalu, akhirnya aku bersepakat atas apa yang aku bayangkan ibuku saat muda selama ini tercermin pada dia.
Aku dapati perempuan itu menangis. Padahal sudah berkali-kali kutandaskan padanya jangan sekalipun menagis di depanku. Ya di depanku apapun alasannya. Aku paling benci pada air mata perempuan. Aku benci karena aku tidak kuasa melihat air mata. Aku benci karena aku pernah melihat ibuku menangis. Mudah benar air mata perempuan itu mencungkili rasa traumaku. Meski dia tampak menyembunyikannya bau air mata terlalu menyengat untuk ditutupi. Pipi yang lengket dan sobekan tisu berserakan di lantai pun tahu bahwa usai ada air mata yang mengalir. Kelopak mata yang menyembung dan bulu mata yang masih basah.
Aku tanyai perempuan itu mengapa sampai ada air mata? Aku tidak mau ketinggalan cerita layaknya air matanya ibu dulu. Kisahnya, di sebuah dini hari yang buta. Di pinggir jalanan penuh keparat dengan setelan saluran gas motor yang merusak gendang telinga, tikus-tikus got yang ribut mencari mangsa, pemabuk-pemabuk yang geloyoran hendak pulang dengan bau minuman murahan di mulutnya, serta kekalutanku yang makin menjadi akibat itu semua, perempuan itu berkisah. Bercerita soal air matanya. Untuk apa dan siapa. Dan aku tahu akhirnya, bukan kau ibuku. Sosok yang pernah terpahat di ruang imajinasiku pecah berkeping-keping begitu saja. Untuk kisah sepele dan murahan macam itu. Air mata untuk seorang pria yang durjana. Air mata untuk cerita asmara yang lusuh dan rombeng. Tidak sayang, air matamu terlalu berharga. Gunakan saja seperlunya. Sudah cukup, mari pulang. Dengan diam kuselipkan secercah rasa yang pernah ada ke dalam sakunya…

dan aku masih sayang kamu apa pun alasannya, titik.


  
  

Mimpi Mati

/ Minggu, 27 Mei 2012 /
Ia masih terjaga. Tubuhnya terlentang di dipan kayu dengan beralaskan tikar pandan. Wajahnya tampak lencu. Sebilah bantal gepeng, diganjal pada tengkuknya. Kendati waktu menunjuk ke pukul dua; hampir sepertiga dari malam.
Barangkali kehamilan yang mulai ranum itu yang membikin ia susah tidur. Barangkali pula alasan enggan tidur lainnya dikarena ia sering memimpikan kejadian-kejadian aneh kalau pun tidur. Mimpi yang sudah berulang kali ia ceritakan pada suaminya. Dan berulang kali pula ia mendapat tanggapan yang kurang menyenangkan.
Sejak saat itu ia enggan bercerita tentang mimpinya. Ia lebih suka memendam kejadian-kejadian dalam mimpinya itu. Termasuk mimpinya tadi sore yang menjadikannya masih tetap terjaga sampai sekarang ini. Antara menceritakan (lagi) dan tidak, ia ragu, kalau-kalau suaminya mencibir. Atau jika sedang tidak beruntung, tamparan bisa mendarat di pipinya.
Kini, ia malah asik memainkan bola matanya yang kuyu. Memandangi lampu bohlam lima Watt yang tergantung di alang kamarnya. Berayun karena terpaan angin dari luar. Kedua tangannya diletakkan di atas perutnya yang membenjol. Dan berkali-kali menoleh pada suaminya yang sedang mendengkur pulas. Lagi-lagi ia ragu dan semakin ragu.
Kegelisahan tampak menebar di rona mukanya. Mungkin memikir mimpinya sore tadi. Mimpi yang sebenarnya pernah ia mimpikan sebelumnya. Mimpi yang mengabarkan soal suaminya yang mati tenggelam. Terseret arus sungai yang membatasi hutan dengan desanya. Nafasnya tersengal saat teringat suaminya mati dalam keadaan mengenaskan itu. Padahal pada hari-hari sebelumnya ia juga pernah bermimpi disambangi lelaki renta berjubah putih. Lalu mimpi bertemu seorang bocah lelaki dengan mata cekung, kurus dan pucat sedang melempari rumahnya. Dan kini tentang suaminya yang mati.
Mimpi-mimpi itu sungguh membuatnya gusar. Ia lantas duduk. Bersandar pada ujung dipan. Bantalnya dipindah untuk mengganjal pungungnya. Dan berkali-kali menoleh ke arah suaminya yang tengah mendengkur di sampingnya.
Sementara itu di luar, remah-remah gerimis berduyun menjadi gumpalan hujan yang membabi buta. Membasahi pucuk dedaunan sebelum memuntahkan ke atap rumahnya. Lebat, disertai angin yang kesetanan. Lalu disusul ledakan guntur yang bergema di dinding bambu rumahnya. Hampir dua jam sudah ia berkalung cemas dan gelisah. Bergelut melawan tafsir mimpi itu. Ia tak kuat lagi pada akhirnya. Rasa kantuknya mulai menjalar dan mengakar. Ia tidur dengan sejuta kekhawatiran di benaknya dan kelencuan di wajahnya.
Tak perlu menunggu lama, pagi lamat-lamat menghinggap. Sinar matahari dari timur menyibak kerumunan awan. Menembus sela-sela dinding bambu rumah dan menempa wajahnya yang kian pucat. Kokokan ayam jantan berganti riuh menjadi kicauan burung-burung merbah cerukcuk yang bertengger di pekarangan rumahnya. Perempuan itu terbangun.
Suara derit dipan, membuyarkannnya dari lelap yang sejenak. Lalu bunyi gemricik air dari pancuran; suaminya sudah lebih dulu bangun. Dan tampak sedang mencucui muka. Itu artinya, ia juga harus segera bangun dan beranjak dari kamarnya. Menyiapkan kopi atau sekadar mencuci perabotan yang kotor usai  dipakai sebelumnya.
“Kali ini aku akan ke hutan lebih pagi,” ujar suaminya sambil menyibak kerai pintu kamar dari potongan bekas sarung.
“Aku, dapat pesanan kayu Sengon lagi dari pak Darsun. Kali ini lumayan banyak. tambah suaminya sambil mempersiapkan peralatan.
Perempuan itu lantas beranjak dari ranjangnya. Seutas karet gelang yang melingkar di tangannya dilepas untuk mengikat rambutnya yang panjang. Agar tak tampak berantakan dan menutupi matanya yang kuyu.
“Apa tidak menunggu sarapan dulu Kang?” tanyanya yang kini berdiri di depan kaca buram yang tertempel di dinding kayu pembatas rumah dan kamar.
Tidak ada jawaban. Suaminya telah usai menyiapkan kapak dan gergaji yang dipautkan pada boncengan sepeda model jengki. Dari dalam kamarnya, terdengar samar suara tiga atau empat lelaki membincang dengan suaminya di depan rumah. Semakin samar dan jauh. Mungkin menuju hutan seperti yang dibilang suaminya tadi, pikirnya.
***
Belakangan ini, Karsan memang lebih sering ke hutan dari pada ke sawah. Saat matahari segalah Karsan dan beberapa tetangganya itu baru akan pulang ke rumah. Yang masing-masing dari mereka membawa kayu-kayu Sengon dari hutan sebelah desanya.
Lasi, tidak paham pasti, mengapa suaminya memilih menjadi penebang kayu. Padahal sebelumnya ia adalah seorang buruh tani yang tekun. Penghasilan dari menjinjing pacul dan mengapit sabit selama ini pun dirasanya sudah cukup mengepulkan asap dapur. Suaminya rutin menggarap sawah dan ladang milik pak Kades dengan sistem bagi hasil. Yang Lasi tahu, suaminya tidak lagi ke sawah saat kehamilannya menuju lima bulan.
Suatu kali, Lasi pernah menanyakan pada suaminya mengenai pekerjaannya. Sebab setiba di rumah suaminya membawa gelondhongan-gelndhongan kayu Sengon. Namun jawaban suaminya tidak begitu mengenakkan. ”Ya, buat makan kamu dan anakmu nanti,” kenangnya.
Lasi pun memaklumi perangai lelakinya itu. Terkadang ia juga membantu menjemur  glondhongan-gelondhongan kayu yang sudah dibelah menjadi beberapa bagian. Sebelum pada akhirnya kayu-kayu itu dibawa oleh lelaki yang disebut pak Darsun. Dan suaminya akan mendapat beberapa lembar duit setelah kayunya diangkut mobil contang milik pak Darsun itu.
Lasi sebenaranya tidak begitu suka dengan sosok yang bernama pak Darsun yang katanya seorang bos pabrik meubel dari desa sebelah. Awalnya, pak Darsun yang datang ke desanya sebagai laki-laki yang berpenampilan serba necis. Celana jeans bergester kulit dan kaus kerah selalu membalut perutnya yang tambun. Ujung bajunya masuk pada blue jeans tadi. Di atas rambutnya yang mulai memutih selalu bertengger topi model koboi Meksiko dan cerutu menempel di mulutnya yang berulang kali disulut saat mati.
Lasi mulai melihat lelaki tua itu sekitar lima bulan yang lalu yang datang dengan menawarkan pekerjaan kepada tetangganya di desa Lasi tinggal. Dengan gaya bicaranya yang lihai, pak Darsun dengan cepat mampu menghasut warga termasuk suaminya, untuk menebang pohon-pohon Sengon yang ada di hutan sebelah desa mereka.
Mula-mula pak Darsun bicara banyak tentang kegunaan Sengon. Untuk bahan meubel, aksesoris, dan sebagainya. Lalu menjurus pada kisaran harga yang menggunung. Inilah yang membuat suami dan beberapa tetangga Lasi tercengang. Karsan pun dengan serius mulai mempertimbangkan tawaran dari pak Darsun tersebut.
Awalnya, Karsan memang masih diberatkan dengan tawaran itu. Mengingat hutan Sengon itu adalah warisan leluhur mereka. “Kita tidak ikut menanam, ora ilok kalau kita menebangnya,” bisik Karsan pada tetangganya. Cuma, bisikan itu bertahan sementara. Kondisi perekonomian warga yang kian menjerat menggugurkan benteng pertahanan mereka. Satu persatu pergi ke hutan. Lalu di susul yang lainnya dan lainnya sampai akhirnya, Karsan sendiri juga mengikutinya.
***
Sudah hampir tiga bulan ini suaminya rutin pergi ke hutan tiap harinya. Pula tidak pernah secemas ini ia menunggu kepulangan suaminya. Hari sudah hampir sore. Kalaupun pesanan kayu yang diambil cukup banyak paling tidak suaminya telah pulang dahulu untuk mencicil membawa gelondhongan- gelondhongan Sengon dengan sepeda jengkinya itu.
Berulang kali ia keluar rumah. Berkali-kali pula ia masuk untuk memastikan bahwa suaminya belum benar-benar pulang. Ia mencoba menayakan kepada tetangga yang suami atau anaknya juga tengah ke hutan bersama suaminya. Tapi memang semuanya belum pulang.
Pinggangnya mulai nyeri. Sambil menjinjing daster lusuh ia terseok-seok masuk ke rumah. Ia kemudian duduk di balai bambu di depan rumahnya. Sejenak ia teringat lagi soal mimpinya kemarin sore. Mimpi tentang lelakinya yang terseret arus sungai. Dan belum sempat lagi atau mungkin tidak akan diceritakan lagi kepada lelakinya itu.
Tubuhnya melemas, ia lantas merebahkan badannya yang berat ke atas bale tadi. Ingatannya kembali menuntun mengeja kronologi mimpinya tersebut. Mula-mula suaminya itu hendak pulang bersama keempat rekannya. Suaminya berada di barisan paling belakang. Jalan setapak menuju desa semakin licin dan agak bencah akibat guyuran hujan semalaman. Agaknya, siang itu suaminya kurang hati-hati. Ia terpeleset. Badannya tersungkur ke depan dari jalan setapak yang berada di atas sungai tadi. Gelondhongan Sengon yang dipangkul pun ikut tersungkur. Suaminya berteriak minta tolong. Sedang teman-temannya hanya bisa balas meneriaki suaminya yang dengan cepat terbawa arus sungai yang banjir.
Sungai yang keruh dan berlumpur dengan mudah menenggelamkan suaminya. Teriakan minta tolongnya tak terdengar lagi. Tubuh suaminya entah kemana. Tidak timbul lagi. Lagi-lagi teman-temannya hanya bisa meneriaki suaminya yang sama sekali tak bisa berenang itu. Suaminya hanyut dan hilang.
Ia lantas tersadar. Ia terjerembab, mulutnya bergeming. Keringat dingin menderas dari lehernya. Nafasnya tersengal.
“Lasi.., Lasi.., Las...” terdengar terikan dari kejauhan. Lasi beranjak, dilihatinya arah suara yang memanggilnya. Suara lelaki, namun bukan suaminya. Suara yang berat dan terengah-engah.
“Ada apa kang?” tanya Lasi pada tetangganya itu.
“Anu.. Las.. Anu kang Karsan,” jawab lelaki itu tergopoh-gopoh sambil mengatur nafas.
“Kenapa kang, kenapa dengan kang Karsan?” tukas Lasi tak sabar.
“Kang Karsan tenggelam di sungai,” jawab lelaki itu yang masih kesusahan mengatur nafasnya.
Lasi lemas. Matanya berkaca dan gelap. Nafasnya putus-putus. Tubuhnya lunglai. Kedua kakinya seakan tak mampu lagi menopang tubunya yang berat.  “Lasi.. Lasi.. Las,.. nyebut Las, nyebut.,” teriak tetangganya membimbing Lasi yang sudah tidak sadarkan diri.



….untuk hutan di sebelah desaku yang telah gundul

Gara-gara Imajinasi

/ Kamis, 17 Mei 2012 /
Pernah kamu berpikir soal keindahan yang aku hadapi kini; duduk ia di depanku, menulis ia sesuatu, mungkin berita mungkin pula esai. Sedang aku dibelakanginya bersama tumpukan buku yang berserakan di sampingnya. Buku-buku, yang tidak pernah selesai aku baca.
Aku bayangkan perempuan itu adalah satu dari manusia cerdas di dunia. Setidaknya di dunianya. Katanya, sesorang dianggap intelektual kalau ia menulis dan membaca. Apalagi tulisannya sampai menembus media. Maka gunjing sudah dibincangkan pada khalayak; di warung kopi, di angkringan sampai di kamar kontrakan dan juga ruang-ruang maya.
Dunianya memang mengakui standar itu mungkin. Aku kurang sepakat sebenarnya, intelektual tak muluk macam itu. Tapi kamu tidak perlu mengutukku. Kamu masih menghargai sebuah perbedaan kan? Kalau tidak, fasis sekali kamu.
Aku lanjutkan kisahnya. Di ruang kumuh dengan lanskap kondisi yang berantakan itu tadi, ia satu-satunya yang indah. Keindahan yang sedang kuhadapi ini kemudian melahirkan fantasi-fantasi yang menggelikan. Kubayangkan tiba-tiba duduk kami berhadapan, bersenda tawa, dan berbagi cerita. Senyum simpul, berhasil aku dapati dari raut mukanya yang jelita. Seulas masa lalu seolah tampak dari senyumnya yang mengembang menjadi tawa.
Oh Tuhan, rupanya aku sedang terapung diantara realitas dan imajinasi. Tapi biarlah, aku suka berimajinasi kok. Imajinasi menyodoriku kekuasaan yang mutlak. Aku bebas melakukan apapun. Toh aku juga benci pada realitas sebab terkadang ia tak seindah yang dibayangkan. Aku mulai lagi saja.
Sampai mana tadi? Iya, ternyata ia masih mengetik dengan tangkas. Membelakangiku serupa tadi. Sesekali menghela nafas panjang dan itu mengagumkan. Ia hela nafas dalam-dalam, seolah mengatasi kepayahan dalam dirinya sendiri. Berpikir, huruf apa yang nantinya akan ia tekan sehingga jadi kata, frasa, klausa, paragraf, sampai utuh wacana.
Saat aku sedang berjibakau dengan fakta dan fiksi itulah tiba-tiba ia menengok, mungkin merasa kulihati sejak dari tadi. Atau barangkali ini yang dinamakan panopticon ya. Seperangkat emosional yang dimiliki manusia yang sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan. Aku tidak terlalu peduli. Nyata benar ia mengajakku bicara. Soal apa itu tidak terlalu penting, yang pasti sama persis dalam imajniasiku tadi. Bedanya, aku rebahan dan menyandar dinding.
Rupanya memang benar, ia tak begitu pandai mengantongi masa lalunya hingga tersembul betul pada tawanya. Iya, ia seperti orang yang sedang melarikan diri dari apa yang disebut histori. Kata Nietszche yang begini itu buruk. Masa lalu memang bukan untuk dilupakan tetapi masalalu tidak untuk dibawa kemana-kemana. Cukup kita menyimpannya dan menikmatinya pada situasi-situasi yang tepat.
                                                                               ***
Dulu sewaktu usiaku masih tujuh tahun, aku pernah dekat dengan seorang lelaki berumur paruh abad, lebih setengah dekade. Terlalu tua untuk dianggap sebagai teman. Aku mengenalnya sebaik aku mengenal saudaraku sendiri tetapi ia bukan saudaraku. Ia hanya tinggal di rumahku. Bukan serumah, melainkan bagian depan terluar rumahku. Lebih tepatnya mungkin kita seatap. Namanya Sarip, badannya kurus. Asal usulnya tidak jelas. Dari kabar yang beredar di lingkungan keluarga, bapakku menampungnya karena ia orang sebatang kara yang miskin, tidak punya apa-apa bahkan sanak saudara sekalipun. Awalnya, ingin ngangsu kaweruh kalau kata bapakku. Dan ia sudah disana bahkan jauh sebelum aku ada. Ia suka merokok dan minum kopi.
Hal yang paling aku ingat adalah kebiasaannya menyanyi saat hari mulai gelap, saat senja sedang pada anjungannya. Aku tidak pernah tahu lagu apa yang ia nyanyikan. Bahkan sebait pun aku tidak ingat. Tetapi aku hafal betul soal kebiasaan menyanyinya itu. Ia bukan seniman setahuku apalagi komposer. 
Pada suatu sore, aku pernah bertanya soal nyanyian yang hampir setiap hari ia nyanyikan. Ia menjawab hal di luar jangkauanku. Panjang dan lebar, ia bilang itu lagu kenangan. Aku didakwa tidak akan tahu sebab itu lagu di masa lalunya. Pada intinya ia mengutuk sebuah peradaban yang tiba-tiba menggilas masa lalunya. Berganti dengan peradaban yang tidak memabawa serta lagu-lagunya tadi yang terbingkai sebagai sebuah kenangan. Di radio, di telivisi tak pernah ia temukan lagi. Yaitu peradabanku waktu itu. Dan satu-satunya cara membuatnya senang adalah menyanyikannya tadi. 
                                                                              *** 
“Hey, kau melamun?” tanyanya. Belum juga aku menjawab, bibir merahnya mendarat tepat di mulutku. Aku terperangah. Bibir yang asing namun hangat. “Tidak, aku mendengarkanmu,” jawabku mengatasi kepayahan atas sebuah serangan mendadak tadi. Aku salah tingkah dibuatnya, dan ia semakin bertingkah karenanya.
Aku tidak tahu pasti, apa yang ada di pikirannya. Ia tinggalkan pekerjaannya demi mengobrol denganku. Aku berani percaya diri bahwa ia anggap aku sebagai pendengar yang baik. Pendengar yang mampu menyihir si pencerita untuk bercerita lebih. Bahkan lebih dari bercerita mungkin. 
Kamu tahu MOMO? Novel sekaligus nama tokoh utama karangan Michael Ende. Hanya dengan bercerita pada Momo, semua masalah bisa terpecahkan, bakan konon dua orang yang saling bertikai pun bisa langsung baikan saat menceritakan masalah mereka pada Momo. Bukan, aku bukan Momo laiknya dalam dongeng MOMO itu, dan aku tidak mau berimajniasi dulu soal itu. Aku bahkan tidak merasa menjadi pendengar tadi. Aku sibuk berimajinasi, berfantasi sendiri soal masa lalu yang mungkin sama dengan yang ia ceritakan.
Untuk pertamakalinya aku tidak membenci realitas, atau mungkin belum. Sebuah ciuman yang lebih dari birahi sialan itu, ada energi lain yang tersalurkan, energi yang tak sempat aku balas. Aku hanya merasakan, aku kaget, dan aku tidak habis pikir. Kamu tahu? Tapi aku senang. Senang sekali. 
Bodohnya aku bertanya, untuk apa ciuman tadi? Kamu tahu apa jawabannya? Jelaslah ia tak menjawab. Malu mungkin semalu, aku usai menanya demikian. Sudahlah aku anggap itu sebuah bayaran. Bayaran atas kesediaan untuk menjadi pendengar yang baik. Tidak perlu digamblangkan. Segala sesuatu tidak musti jelas bukan? Membuat sesuatu menjadi jelas itu tugas filsuf. Kalau Puthut EA bilang, itu kesalahan terbesar filsuf karena telah membuat jelas kehidupan. Sebab kehidupan itu omong kosong. Dan aku tidak mau menambah daftar panjang kesalahan itu. 
Aku jelas, bukan tipe lelaki yang baik untuk diajak melakukan obrolan ranjang. Terbukti ia pulang, mengemasi barang, dan menutup pintu. Tetapi sebelum pulang ia meninggalkan sebuah parfum kesayangannya. Sengaja atau tidak, ini adalah tanda. Tanda yang mengakhiri sebuah perpisahan bahwa esok ia akan datang lagi untuk parfum dan untuk sesuatu yang lainnya. Ini semacam janji yang tersirat, janji yang tidak harus ditepati. Kita berpisah memang, tetapi mata kita sama berharap akan bertemu lagi dengan mengulang adegan yang serupa.
Aku mengantarnya sampai pintu. Di luar ternyata panas. Angin menggoyangkan dedauanan Srikaya, menggesek-nggesek atap kamar yang terbuat dari seng yang seolah bilang, “Tahan, tahan dia, goblok” tidak. Aku tidak akan menahan. Aku akan menunggu ia untuk datang lagi, dan pada akhirnya giliranku untuk bercerita. Aku simpan parfumnya sampai sekarang, sampai ia akan ambil. Aku hanya akan mengingatnya, mengingatnya sampai sebuah peradaban tak lagi memihak. Aku tidak akan menyanyikan seperti kenalanku tadi. Aku akan menuliskan dan dengan menulis inilah aku senang.


Hey aku merindukanmu, yang dulu…
 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger