Tanda
seru yang kau sertakan untuk memungkasi surat tronikmu pagi tadi lebih dari
sekadar kalimat berita undangan. Aku merasakannya sebagai berita kehilangan,
tiba-tiba.
May, ia temanku masa kecil di kampung halaman.
Dalam kehidupan di pedesaan, tetangga dekat adalah teman. Entah hukum apa yang
berlaku, tetangga juga kebanyakan rupa saudara. Samping rumah masih punya
pertalian darah. Entah Pak Lek-Bu Lek, entah Pak De-Bu De. Namun tidak dengan
May. Teman bermain sekaligus teman belajarku ini bukan saudara. May gadis
periang yang masih mewarisi gen Tionghoa Lasem. Rambutnya lurus tipis-tipis,
matanya ciut, alisnya mirip celurit, dan kuning langsat kulitnya.
Aku lupa berapa usiaku waktu itu. Jelas terang
aku duduk di kelas dua SD. Begitu juga May, ia sebaya denganku. Bedanya kami
tidak mengenyam bangku sekolah yang seatap. May bersekolah di Madrasah
Ibtidaiyah. Sekolah swasta setingkat SD tapi sarat akan mulok agama. Rumah kami
tidak jauh jaraknya. Hanya selang satu rumah di belakang rumahku dan selang
satu rumah di belakang rumah May sudah laut adanya. Sekolah kami juga tidak
jauh jaraknya, mungkin 100-an meter dan pada arah yang sama. Beigtu juga
lautnya. Bisa dibilang kami anak pantai.
May dan aku teman yang intim. Walau beda jenis
kelamin kami tak pernah permasalahkan kegemaran main bersama. Kedekatan kami
agaknya terkait campur tangan orang tua. Ibuku menyayangi May layaknya anak
sendiri. Bahkan Ibuku punya panggilan khusus buat May. Ibuku tidak pernah
sekalipun panggil dengan kata May melainkan
Ning. Di tempatku Ning adalah panggilan untuk peranakan ulama besar.
Semacam Gus, jika peranakan itu laki-laki. Ibuku tahu aturan itu, kendati May
bukan anak dari seorang kyai tetapi dengan prinsipnya sendiri ibuku tetap
menamainya Ning yang menurutnya punya asosiasi kecantikan. Aku setuju, Ning
memang cantik tetapi aku lebih suka memanggilnya May.
May piatu saat usianya di bawah tiga tahun.
Ibunya meninggal saat akan melahirkan adiknya. Dalam satu waktu May kehilangan
dua orang sekaligus yang mungkin sangat berarti. Menurutku ada untungnya juga
May masih kecil waktu itu. Ia tidak perlu merasa kehilangan yang sampai
mengharu biru. Ia bahkan belum tahu makna kehilangan mungkin. May hanya tahu
ibu dan adiknya meninggal dari balutan-balutan cerita. Dan May sudah terbiasa
dengan hal itu.
Jika kebetulan sekolah May pulang pagi ia pasti
akan mampir ke sekolahku. Menungguiku di taman sambil menjajaki beberapa
fasilitas anak-anak yang tidak dimiliki sekolahnya. Main ayunan, biasanya sambil
makan snack ringan macam fuji mie.
Setelah itu kami akan pulang bersama-sama. May menenteng jilbabnya dan aku
menjinjing sepatuku. Lalu kami akan berhenti di bagian terluar pekarangan
masjid. Mencari daun paling lebar dari tumbuhan kelas perdu bernama anak nakal
yang dijadikan pagar masjid.
Itu pasti. Baru setelah adzan dzuhur
berkumandang, kami berdua akan tunggang-langgang untuk pulang. Lari kocar-kacir
sambil teriak gorokan gulu, gorokan gulu.
Ini adalah mitos paling keparat yang diwariskan para orang tua untuk
menakut-nakuti anaknya agar tidak bermain menjelang dzuhur. Gorokan gulu yang bisa juga diartikan
pemotong kepala adalah cerita seram yang paling ditakuti anak-anak saat siang
bolong. Gorokan gulu, versi cerita
orangtua sejenis orang gila yang membawa pisau, celurit, gergaji, atau benda
tajam lainnya yang jika menemui seorang anak akan dipotong lehernya.
Nyaris dalam setiap harinya waktuku mengalir
bersama May. Sore hari kami main di pinggiran laut. Berburu jingking, binatang
semarga dengan kepiting yang larinya secepat kilat. Atau kalau tidak, May akan
ke rumahku menonton acara Si Komo, boneka komodo yang lucu. Menjelang maghrib
aku dan May sudah di surau asuhan Mak Itun. Bersama anak pantai lainnya yang
sebaya. Menumpuk Qiro’ati di meja kayu untuk digilir ajar ngaji oleh Mak Itun.
Selepas maghrib sudah pasti May ke rumahku sampai Isyak. May dengan buku tulisnya
berwarna dan aku dengan buku tulis yang motifnya sederhana.
Walau aku dan May teman yang intim, sekali pun
aku belum pernah main dan masuk ke rumah May. Aku hanya tahu rumahnya berwarna
hijau mupus. Entahlah tampaknya aku punya kelainan selalu merasa tidak nyaman
jika masuk di rumah orang lain. Aku juga tahu neneknya setiap pagi menjual
kerupuk di pasar Gandri, dan aku tahu bapaknya seorang nelayan tradisional yang
dua hari sekali pulang untuk melelang tangkapan lantas melaut lagi.
Sejak toko elektronik keluarganya di Lasem
dibakar massa yang konon imbas dari kerusuhan politik menjelang reformasi. Perekonomian
keluarga May bisa dikata berantakan. Nyata saja, bapak dan ibunya May bisa
membangun ulang toko, namun perekonomian disana benar-benar sudah dimatikan.
Toko-toko Tionghoa sepi pengunjung sedang pajak dimahalkan.
Bapak May yang keturunan Jawa asli memutuskan
untuk menggulung tikar dan menjual toko sekaligus rumahnya. Lalu pindah ke desa
kelahirannya. Bersama seorang nenek dan bibi, bapak May mengasuh dan merawat
May. Saat itu kondisi sosial masih belum tertata. Terjadi pendiskriminasian
pada etnis Tionghoa di Lasem. Toko-tokonya di jarah, di bakar dan orangnya
dibiarkan hidup. Orang tua May bukan satu-satunya pemilik toko Tionghoa yang
terusir kala itu. Lasem menjadi kota tua yang sekarat kemudian. Lantas mati,
sejak penghuni aslinya (Tionghoa) pada angkat kaki dari Lasem pertiwi.
Aku dan May tidak pernah punya masalah serius
soal hubungan. Diantara kami tidak kenal yang namanya cinta, cemburu, perasaan
rindu, atawa kangen yang menggelora. Diantara kami belum mengenal konsep saling
memiliki. Mungkin kami belum memahami perosoalan itu. Atau hormon yang ada pada
tubuh kami belum begitu kompleks. Aku ya aku, May ya May. Mainanku ya mainanku,
Mainan May ya mainan May. Kalaupun ada cemburu, paling-paling sebatas keirian
soal mainan. Semisal May punya mainan yang bagus dan aku sudah pasti merengek
pada ibuku untuk membelikannya yang serupa.
Kehidupan kami normal layaknya dunia anak pada
umumnya. Bermain, belajar, dan belum begitu mengerti parodi kehidupan. Sampai
pada akhirnya aku menjadi berjarak dengan May. Keluargaku berpindah rumah di
bagian selatan Rembang dekat Kota Blora. Sedang May di bagian utara. Secara
geografis jarak rumah kami ada skitar 40 kilo meter. Jarak yang cukup jauh
untuk main bersama apalagi anak seusia kami.
Tetapi aku tidak pernah merasa kehilangan May.
Aku tidak sedih dan May pun nampaknya sama. Seintim apapun kami waktu itu,
emosional kami belum begitu cerdas untuk menekuri lanjut sebuah hubungan
pertemanan yang lekat. Sebuah perpisahan yang tiba-tiba menjerat, tidak cukup
tangkas membikin sepi. Apalagi sampai merasa kehilangan satu sama lain. Tidak
sama sekali, aku yakin.
Di sekolahku yang baru, aku juga dapat teman
yang baru. Teman main dari anak tetangga juga banyak. Ada si Ipul, Rudi, Evi,
dan sebagainya. Satu-satunya yang terkadang terasa hilang adalah laut. Jelas
saja rumahku yang baru di daerah paling selatan Kota Rembang merupakan wilayah pegunungan.
Dari laut inilah terkadang yang mengantarkanku untuk mengingat May. Lewat
kebiasaan bermain bersama. Berburu jingking, main loncat tali tambang cancangan
kapal para nelayan, atau buang air besar di pinggiran laut dan mengamati
tahi-tahi kami dipilin ombak. Itu saja. Semakin lama ingatan-ingatan soal laut
dan May menjadi jarang terlintas. Mungkin ini yang dinamakan beradaptasi.
Segala rupa permainan baru cepat saja kulakoni dengan beberapa temanku yang
baru. Main bentek, jirak karet gelang, gobag sodor, benteng-bentengan, ciblon
di kali, berburu belalang, jangkrik, dan lainnya. Kenangan akan May seolah
melenyap entah terlarung di laut entah hanyut di kali.
Usiaku makin bertambah. Usia May sudah pasti
bertambah pula. Dari yang enam tahun, sepuluh tahun sekarang bisa lima belas
tahun dan seterusnya.
Sudah lama kutanggalkan seragam putih-merah.
Juga mulai menggantung seragam putih-biru. Sekarang saatnya mengenakan seragam
putih-abu. Menjajaki Sekolah Menengah Atas aku pernah bermain di daerah dekat
rumahku dulu. Seorang teman karib di sekolah
ternyata berumah di daerah tersebut. Sekali waktu aku bertandang ke
rumah temanku itu. Sekali waktu itu pula aku teringat waktu masih tinggal di
rumahku dulu, soal laut, dan tentu saja tentang May. Aku pernah punya teman
masa kanak di sini. Kenangku dalam hati. Entahlah kenapa harus menunggu “sekali
waktu” itu. Barangkali sekarang aku berteman dekat dengan orang sini.
Barangkali pula sekarang ini aku sudah cukup tahu konsep kedekatan, saling
memiliki, perpisahan, juga kenangan.
Sebenarnya pada setiap lebaran, bapak dan ibuku
juga mengajakku nglencer ke rumah
bibiku yang dulu rumah tinggalku. Entah kenapa rasa-rasanya aku tidak mengingat
soal May saat itu. Sebatas lihat pernah waktu ngelencer disana, iya. Namun tidak terjadi apa-apa. May nampak
sudah besar sebantaran denganku. Kami hanya saling lihat dan menyapa, itu saja.
Rupa-rupanya perihal sungkan entah gengsi tumbuh kuat saat itu untuk sekadar
mengukir kenangan lampau atau menekurinya agar lebih dekat. Aku dan May
barangkali telah menginjak puberitas.
Waktu itu aku angkatan paling baru di Sekolah
Menengah Atas. Aku tidak berani bilang May juga seangkatan denganku. Sewaktu SD
iya, kami seangkatan walau beda sekolah. Tetapi aku pernah tinggal kelas
setahun. Itu artinya bisa jadi sekarang aku satu tingkat di bawahnya. Namun itu
tak jadi soal. Sekali waktu itu aku benar-benar ingin ketemu May. Paling tidak
mengobrol dalam waktu yang lama. Anstisipasi rasa malu nantinya sudah
kupersiapkan. Pertanyaan-pertanyaan seputar punya pacar apa belum juga sudah
kupersiapkan. Pokoknya aku ingin ketemu. Bukan untuk berburu jingking, bermain
lompat tali tambang cancangan kapal, apalagi mengajak buang air besar bersama
di pinggiran laut. Mungkin saja kami akan membicarakan itu semua. Dan aku sudah
bisa bayangkan betapa indahnya sebuah kenangan-kenangan itu untuk dibincang
lagi. Yang mana yang memalukan. Yang mana yang mengasyikkan. Dan yang mana yang
lucu. Pasti akan bisa teridentifikasi. Pikirku, sipu.
May di rumah. Kami bertemu. Kami tidak terlalu
asing ternyata. May membikinkanku minum. Oh bukan memngambilkan. Kami cuma
minum air putih. Dua gelas dan bebrapa buah rambutan. Kami duduk di ruang tamu,
May. Aku tanya kabar bapak, kabar nenek, kabar bibi. Semua sehat. May tanya
kabar keluargaku. Semuanya sehat. Aku sehat. May juga sehat. Wajahnya tetap
saja cantik. Rambutnya masih tipis, sebahu. Alisnya masih mirip celurit orang
Madura. Matanya juga tetap sempit. Kulitnya mutlak langsat. Ada yang berbeda,
gigi. Rupa-rupanya susunan tulang-tulang kecil di mulutnya itu lebih rapi dan
penuh di banding kecil dulu. Itu yang bikin May lebih cantik.
Sudah, sudah cukup aku berpatroli di wajahnya.
Dan May juga nampak kurang nyaman kupantengi terus. Kami akhirnya mengobrol.
Apalagi kalau bukan masa kanak. Seingat-ingatnya. Itupun berkat pancinganku
dari sekanario awal yang terasa kasar. Dan mungkin sudah banyak kisah fiksi dan
improvisasi yang sengaja kuramu agar tampak semakin dekat. Mungkin May juga.
Buktinya aku tidak ingat saat May cerita kalau kami dulu pernah tuker-tukeran
bunga. May memberiku bunga bougenville dan aku yang tidak mau kalah memanjat
pagar sekolah untuk mengambil bunga terompet untuk May. Aku tidak ingat,
sumpah.
Begitulah kami waktu itu. Aku dan May memang
tidak asing. Tapi tidak seintim dulu. Mungkin benar terlalu banyak hormon yang
berkembang di masing-masing kami. Hormon yang mengolah tiap-tiap emosi menjadi
rumit. Tiap-tiap tingkah laku seolah minta didefinisikan dan dikait-kaitkan
dengan perasaan. Kami akhirnya abai bicara soal cinta waktu itu. Yang satu ini
memang terkadang sangat rumit untuk dibicarakan. Lebih rumit dari mengurai
pintalan ton-tonan benang yang ruwet. Lebih berat, sesak, serak sampai
terkadang membuat tenggorokan seperti berdarah. Aku pendam saja yang bagian
itu. May juga tampak lebih asyik mem-bully-ku
soal tidak naik kelas. Apalagi ketika May pada akhirnya tahu sabab-musabab aku
tidak naik kelas. Mengencingi meja teman sekelas lantaran persolan dengki.
Sudahlah May sudah. Aku undur diri dan bertukar kontak ponsel.
Kami dekat lagi, setiap akhir minggu aku
berkunjung kesana. Lamat-lamat dua minggu sekali. Lama-lama sebulan. Dua bulan
dan berbulan-bulan tidak lagi kesana dan akhirnya tahun yang bertanda. May
terlupakan begitu saja. Melenyap lagi. Melebur, meluntur bersama seragam putih
abu-abu mungkin. Atau juga rutinitas-rutinitas yang cadas. Pernah datang masa
sekali waktu lagi, saat kelulusan sekolah. Kukunjungi rumah May. Namun May
sudah tidak di rumah. May sudah di Surabaya. May bekerja di pabrik kosmetik
kata bapaknya. Ya sudahlah, aku pulang berkalung murung. Barangkali kami sudah mulai
melupa. Aku sadar kami punya musuh besar bersama; waktu. Kontak ponselku sudah
ganti. Ponsel May juga sudah tidak aktif. Kami berpisah tanpa pernah bertemu
lagi. Untuk teman masa kecil yang menyenangkan. Untuk teman masa puber yang
cukup misterius. Kularung kau dari Jogja. Aku kehilangan.
Di suatu pagi, kudengar adzan subuh telah luruh
dari tubuh. Berkelakar semalaman dia atas kasur dengan sprei bekas bercak
sperma yang mengering. Kudapati pesan singkat di ponselku. Nomor asing dan
tidak bernamakan diri. Aku maklumi membalas karena pikirku, barangkali pernah
menyimpan nomor itu. Lantaran ganti ponsel banyak nomor yang raib. “siapa ya?”
balasku buru-buru. “Aku May, eh datang ya. Bagiamana kabarmu?” Tidak kubalas.
Sudah kuketik, awalnya. Kurang lebih begini. “Tiba-tiba dateng tahu-tahu mau
nikah. Tega sekali kamu.”. Ku cancel.
Barangkali malu. Barangkali marah. Barangkali kehilangan. Dan ketiga hal itu
tidak selayaknya kulakukan.
Dalam
hidup ada dua hal yang membuatku sering merasa kehilangan. Pernikahan dan
kematian…