May…

/ Rabu, 30 Mei 2012 /
Tanda seru yang kau sertakan untuk memungkasi surat tronikmu pagi tadi lebih dari sekadar kalimat berita undangan. Aku merasakannya sebagai berita kehilangan, tiba-tiba.


May, ia temanku masa kecil di kampung halaman. Dalam kehidupan di pedesaan, tetangga dekat adalah teman. Entah hukum apa yang berlaku, tetangga juga kebanyakan rupa saudara. Samping rumah masih punya pertalian darah. Entah Pak Lek-Bu Lek, entah Pak De-Bu De. Namun tidak dengan May. Teman bermain sekaligus teman belajarku ini bukan saudara. May gadis periang yang masih mewarisi gen Tionghoa Lasem. Rambutnya lurus tipis-tipis, matanya ciut, alisnya mirip celurit, dan kuning langsat kulitnya.
Aku lupa berapa usiaku waktu itu. Jelas terang aku duduk di kelas dua SD. Begitu juga May, ia sebaya denganku. Bedanya kami tidak mengenyam bangku sekolah yang seatap. May bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah. Sekolah swasta setingkat SD tapi sarat akan mulok agama. Rumah kami tidak jauh jaraknya. Hanya selang satu rumah di belakang rumahku dan selang satu rumah di belakang rumah May sudah laut adanya. Sekolah kami juga tidak jauh jaraknya, mungkin 100-an meter dan pada arah yang sama. Beigtu juga lautnya. Bisa dibilang kami anak pantai.
May dan aku teman yang intim. Walau beda jenis kelamin kami tak pernah permasalahkan kegemaran main bersama. Kedekatan kami agaknya terkait campur tangan orang tua. Ibuku menyayangi May layaknya anak sendiri. Bahkan Ibuku punya panggilan khusus buat May. Ibuku tidak pernah sekalipun panggil dengan kata May melainkan Ning. Di tempatku Ning adalah panggilan untuk peranakan ulama besar. Semacam Gus, jika peranakan itu laki-laki. Ibuku tahu aturan itu, kendati May bukan anak dari seorang kyai tetapi dengan prinsipnya sendiri ibuku tetap menamainya Ning yang menurutnya punya asosiasi kecantikan. Aku setuju, Ning memang cantik tetapi aku lebih suka memanggilnya May.
May piatu saat usianya di bawah tiga tahun. Ibunya meninggal saat akan melahirkan adiknya. Dalam satu waktu May kehilangan dua orang sekaligus yang mungkin sangat berarti. Menurutku ada untungnya juga May masih kecil waktu itu. Ia tidak perlu merasa kehilangan yang sampai mengharu biru. Ia bahkan belum tahu makna kehilangan mungkin. May hanya tahu ibu dan adiknya meninggal dari balutan-balutan cerita. Dan May sudah terbiasa dengan hal itu.
Jika kebetulan sekolah May pulang pagi ia pasti akan mampir ke sekolahku. Menungguiku di taman sambil menjajaki beberapa fasilitas anak-anak yang tidak dimiliki sekolahnya. Main ayunan, biasanya sambil makan snack ringan macam fuji mie. Setelah itu kami akan pulang bersama-sama. May menenteng jilbabnya dan aku menjinjing sepatuku. Lalu kami akan berhenti di bagian terluar pekarangan masjid. Mencari daun paling lebar dari tumbuhan kelas perdu bernama anak nakal yang dijadikan pagar masjid.
Itu pasti. Baru setelah adzan dzuhur berkumandang, kami berdua akan tunggang-langgang untuk pulang. Lari kocar-kacir sambil teriak gorokan gulu, gorokan gulu. Ini adalah mitos paling keparat yang diwariskan para orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar tidak bermain menjelang dzuhur. Gorokan gulu yang bisa juga diartikan pemotong kepala adalah cerita seram yang paling ditakuti anak-anak saat siang bolong. Gorokan gulu, versi cerita orangtua sejenis orang gila yang membawa pisau, celurit, gergaji, atau benda tajam lainnya yang jika menemui seorang anak akan dipotong lehernya.
Nyaris dalam setiap harinya waktuku mengalir bersama May. Sore hari kami main di pinggiran laut. Berburu jingking, binatang semarga dengan kepiting yang larinya secepat kilat. Atau kalau tidak, May akan ke rumahku menonton acara Si Komo, boneka komodo yang lucu. Menjelang maghrib aku dan May sudah di surau asuhan Mak Itun. Bersama anak pantai lainnya yang sebaya. Menumpuk Qiro’ati di meja kayu untuk digilir ajar ngaji oleh Mak Itun. Selepas maghrib sudah pasti May ke rumahku sampai Isyak. May dengan buku tulisnya berwarna dan aku dengan buku tulis yang motifnya sederhana.
Walau aku dan May teman yang intim, sekali pun aku belum pernah main dan masuk ke rumah May. Aku hanya tahu rumahnya berwarna hijau mupus. Entahlah tampaknya aku punya kelainan selalu merasa tidak nyaman jika masuk di rumah orang lain. Aku juga tahu neneknya setiap pagi menjual kerupuk di pasar Gandri, dan aku tahu bapaknya seorang nelayan tradisional yang dua hari sekali pulang untuk melelang tangkapan lantas melaut lagi.
Sejak toko elektronik keluarganya di Lasem dibakar massa yang konon imbas dari kerusuhan politik menjelang reformasi. Perekonomian keluarga May bisa dikata berantakan. Nyata saja, bapak dan ibunya May bisa membangun ulang toko, namun perekonomian disana benar-benar sudah dimatikan. Toko-toko Tionghoa sepi pengunjung sedang pajak dimahalkan.
Bapak May yang keturunan Jawa asli memutuskan untuk menggulung tikar dan menjual toko sekaligus rumahnya. Lalu pindah ke desa kelahirannya. Bersama seorang nenek dan bibi, bapak May mengasuh dan merawat May. Saat itu kondisi sosial masih belum tertata. Terjadi pendiskriminasian pada etnis Tionghoa di Lasem. Toko-tokonya di jarah, di bakar dan orangnya dibiarkan hidup. Orang tua May bukan satu-satunya pemilik toko Tionghoa yang terusir kala itu. Lasem menjadi kota tua yang sekarat kemudian. Lantas mati, sejak penghuni aslinya (Tionghoa) pada angkat kaki dari Lasem pertiwi.
Aku dan May tidak pernah punya masalah serius soal hubungan. Diantara kami tidak kenal yang namanya cinta, cemburu, perasaan rindu, atawa kangen yang menggelora. Diantara kami belum mengenal konsep saling memiliki. Mungkin kami belum memahami perosoalan itu. Atau hormon yang ada pada tubuh kami belum begitu kompleks. Aku ya aku, May ya May. Mainanku ya mainanku, Mainan May ya mainan May. Kalaupun ada cemburu, paling-paling sebatas keirian soal mainan. Semisal May punya mainan yang bagus dan aku sudah pasti merengek pada ibuku untuk membelikannya yang serupa.
Kehidupan kami normal layaknya dunia anak pada umumnya. Bermain, belajar, dan belum begitu mengerti parodi kehidupan. Sampai pada akhirnya aku menjadi berjarak dengan May. Keluargaku berpindah rumah di bagian selatan Rembang dekat Kota Blora. Sedang May di bagian utara. Secara geografis jarak rumah kami ada skitar 40 kilo meter. Jarak yang cukup jauh untuk main bersama apalagi anak seusia kami.
Tetapi aku tidak pernah merasa kehilangan May. Aku tidak sedih dan May pun nampaknya sama. Seintim apapun kami waktu itu, emosional kami belum begitu cerdas untuk menekuri lanjut sebuah hubungan pertemanan yang lekat. Sebuah perpisahan yang tiba-tiba menjerat, tidak cukup tangkas membikin sepi. Apalagi sampai merasa kehilangan satu sama lain. Tidak sama sekali, aku yakin.
Di sekolahku yang baru, aku juga dapat teman yang baru. Teman main dari anak tetangga juga banyak. Ada si Ipul, Rudi, Evi, dan sebagainya. Satu-satunya yang terkadang terasa hilang adalah laut. Jelas saja rumahku yang baru di daerah paling selatan Kota Rembang merupakan wilayah pegunungan. Dari laut inilah terkadang yang mengantarkanku untuk mengingat May. Lewat kebiasaan bermain bersama. Berburu jingking, main loncat tali tambang cancangan kapal para nelayan, atau buang air besar di pinggiran laut dan mengamati tahi-tahi kami dipilin ombak. Itu saja. Semakin lama ingatan-ingatan soal laut dan May menjadi jarang terlintas. Mungkin ini yang dinamakan beradaptasi. Segala rupa permainan baru cepat saja kulakoni dengan beberapa temanku yang baru. Main bentek, jirak karet gelang, gobag sodor, benteng-bentengan, ciblon di kali, berburu belalang, jangkrik, dan lainnya. Kenangan akan May seolah melenyap entah terlarung di laut entah hanyut di kali.
Usiaku makin bertambah. Usia May sudah pasti bertambah pula. Dari yang enam tahun, sepuluh tahun sekarang bisa lima belas tahun dan seterusnya.
Sudah lama kutanggalkan seragam putih-merah. Juga mulai menggantung seragam putih-biru. Sekarang saatnya mengenakan seragam putih-abu. Menjajaki Sekolah Menengah Atas aku pernah bermain di daerah dekat rumahku dulu. Seorang teman karib di sekolah  ternyata berumah di daerah tersebut. Sekali waktu aku bertandang ke rumah temanku itu. Sekali waktu itu pula aku teringat waktu masih tinggal di rumahku dulu, soal laut, dan tentu saja tentang May. Aku pernah punya teman masa kanak di sini. Kenangku dalam hati. Entahlah kenapa harus menunggu “sekali waktu” itu. Barangkali sekarang aku berteman dekat dengan orang sini. Barangkali pula sekarang ini aku sudah cukup tahu konsep kedekatan, saling memiliki, perpisahan, juga kenangan.
Sebenarnya pada setiap lebaran, bapak dan ibuku juga mengajakku nglencer ke rumah bibiku yang dulu rumah tinggalku. Entah kenapa rasa-rasanya aku tidak mengingat soal May saat itu. Sebatas lihat pernah waktu ngelencer disana, iya. Namun tidak terjadi apa-apa. May nampak sudah besar sebantaran denganku. Kami hanya saling lihat dan menyapa, itu saja. Rupa-rupanya perihal sungkan entah gengsi tumbuh kuat saat itu untuk sekadar mengukir kenangan lampau atau menekurinya agar lebih dekat. Aku dan May barangkali telah menginjak puberitas.
Waktu itu aku angkatan paling baru di Sekolah Menengah Atas. Aku tidak berani bilang May juga seangkatan denganku. Sewaktu SD iya, kami seangkatan walau beda sekolah. Tetapi aku pernah tinggal kelas setahun. Itu artinya bisa jadi sekarang aku satu tingkat di bawahnya. Namun itu tak jadi soal. Sekali waktu itu aku benar-benar ingin ketemu May. Paling tidak mengobrol dalam waktu yang lama. Anstisipasi rasa malu nantinya sudah kupersiapkan. Pertanyaan-pertanyaan seputar punya pacar apa belum juga sudah kupersiapkan. Pokoknya aku ingin ketemu. Bukan untuk berburu jingking, bermain lompat tali tambang cancangan kapal, apalagi mengajak buang air besar bersama di pinggiran laut. Mungkin saja kami akan membicarakan itu semua. Dan aku sudah bisa bayangkan betapa indahnya sebuah kenangan-kenangan itu untuk dibincang lagi. Yang mana yang memalukan. Yang mana yang mengasyikkan. Dan yang mana yang lucu. Pasti akan bisa teridentifikasi. Pikirku, sipu.
May di rumah. Kami bertemu. Kami tidak terlalu asing ternyata. May membikinkanku minum. Oh bukan memngambilkan. Kami cuma minum air putih. Dua gelas dan bebrapa buah rambutan. Kami duduk di ruang tamu, May. Aku tanya kabar bapak, kabar nenek, kabar bibi. Semua sehat. May tanya kabar keluargaku. Semuanya sehat. Aku sehat. May juga sehat. Wajahnya tetap saja cantik. Rambutnya masih tipis, sebahu. Alisnya masih mirip celurit orang Madura. Matanya juga tetap sempit. Kulitnya mutlak langsat. Ada yang berbeda, gigi. Rupa-rupanya susunan tulang-tulang kecil di mulutnya itu lebih rapi dan penuh di banding kecil dulu. Itu yang bikin May lebih cantik.
Sudah, sudah cukup aku berpatroli di wajahnya. Dan May juga nampak kurang nyaman kupantengi terus. Kami akhirnya mengobrol. Apalagi kalau bukan masa kanak. Seingat-ingatnya. Itupun berkat pancinganku dari sekanario awal yang terasa kasar. Dan mungkin sudah banyak kisah fiksi dan improvisasi yang sengaja kuramu agar tampak semakin dekat. Mungkin May juga. Buktinya aku tidak ingat saat May cerita kalau kami dulu pernah tuker-tukeran bunga. May memberiku bunga bougenville dan aku yang tidak mau kalah memanjat pagar sekolah untuk mengambil bunga terompet untuk May. Aku tidak ingat, sumpah.
Begitulah kami waktu itu. Aku dan May memang tidak asing. Tapi tidak seintim dulu. Mungkin benar terlalu banyak hormon yang berkembang di masing-masing kami. Hormon yang mengolah tiap-tiap emosi menjadi rumit. Tiap-tiap tingkah laku seolah minta didefinisikan dan dikait-kaitkan dengan perasaan. Kami akhirnya abai bicara soal cinta waktu itu. Yang satu ini memang terkadang sangat rumit untuk dibicarakan. Lebih rumit dari mengurai pintalan ton-tonan benang yang ruwet. Lebih berat, sesak, serak sampai terkadang membuat tenggorokan seperti berdarah. Aku pendam saja yang bagian itu. May juga tampak lebih asyik mem-bully-ku soal tidak naik kelas. Apalagi ketika May pada akhirnya tahu sabab-musabab aku tidak naik kelas. Mengencingi meja teman sekelas lantaran persolan dengki. Sudahlah May sudah. Aku undur diri dan bertukar kontak ponsel.
Kami dekat lagi, setiap akhir minggu aku berkunjung kesana. Lamat-lamat dua minggu sekali. Lama-lama sebulan. Dua bulan dan berbulan-bulan tidak lagi kesana dan akhirnya tahun yang bertanda. May terlupakan begitu saja. Melenyap lagi. Melebur, meluntur bersama seragam putih abu-abu mungkin. Atau juga rutinitas-rutinitas yang cadas. Pernah datang masa sekali waktu lagi, saat kelulusan sekolah. Kukunjungi rumah May. Namun May sudah tidak di rumah. May sudah di Surabaya. May bekerja di pabrik kosmetik kata bapaknya. Ya sudahlah, aku pulang berkalung murung. Barangkali kami sudah mulai melupa. Aku sadar kami punya musuh besar bersama; waktu. Kontak ponselku sudah ganti. Ponsel May juga sudah tidak aktif. Kami berpisah tanpa pernah bertemu lagi. Untuk teman masa kecil yang menyenangkan. Untuk teman masa puber yang cukup misterius. Kularung kau dari Jogja. Aku kehilangan.
Di suatu pagi, kudengar adzan subuh telah luruh dari tubuh. Berkelakar semalaman dia atas kasur dengan sprei bekas bercak sperma yang mengering. Kudapati pesan singkat di ponselku. Nomor asing dan tidak bernamakan diri. Aku maklumi membalas karena pikirku, barangkali pernah menyimpan nomor itu. Lantaran ganti ponsel banyak nomor yang raib. “siapa ya?” balasku buru-buru. “Aku May, eh datang ya. Bagiamana kabarmu?” Tidak kubalas. Sudah kuketik, awalnya. Kurang lebih begini. “Tiba-tiba dateng tahu-tahu mau nikah. Tega sekali kamu.”. Ku cancel. Barangkali malu. Barangkali marah. Barangkali kehilangan. Dan ketiga hal itu tidak selayaknya kulakukan.


Dalam hidup ada dua hal yang membuatku sering merasa kehilangan. Pernikahan dan kematian…



2 komentar:

{ Nisrina Muthahari } on: 30 Mei 2012 pukul 09.48 mengatakan...

Apa setiap orang bernama May selalu cantik ya?
Aku punya sahabat SMA, namanya May.Ia lahir sama denganku, tanggal, tahun, bulan, bahkan rumah sakit yang sama. Dulu kami dekat sekali, tiap hari berbagi kabar dan cerita. Tapi kedekatanku dengan May hilang semenjak aku kuliah. Aku merasa canggung sekali untuk berkata apa adanya pada May, bahkan untuk curhat-curhat umum sekalipun. Begitupun ia. Aku dan May sudah punya dunia berbeda,kupikir-pikir akhir ini persahabatan erat bakal hilang karena waktu.

{ Azwar Anas } on: 30 Mei 2012 pukul 15.51 mengatakan...

iya, kukira kita juga akan begitu. kalaupun iya, aku sudah siap kok. kalian May May-ku yang baru. dan suatu saat akan jadi May May-ku seperti Mayku waktu itu. gueh lagi kacau lagi cin.

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger