Mimpi Mati

/ Minggu, 27 Mei 2012 /
Ia masih terjaga. Tubuhnya terlentang di dipan kayu dengan beralaskan tikar pandan. Wajahnya tampak lencu. Sebilah bantal gepeng, diganjal pada tengkuknya. Kendati waktu menunjuk ke pukul dua; hampir sepertiga dari malam.
Barangkali kehamilan yang mulai ranum itu yang membikin ia susah tidur. Barangkali pula alasan enggan tidur lainnya dikarena ia sering memimpikan kejadian-kejadian aneh kalau pun tidur. Mimpi yang sudah berulang kali ia ceritakan pada suaminya. Dan berulang kali pula ia mendapat tanggapan yang kurang menyenangkan.
Sejak saat itu ia enggan bercerita tentang mimpinya. Ia lebih suka memendam kejadian-kejadian dalam mimpinya itu. Termasuk mimpinya tadi sore yang menjadikannya masih tetap terjaga sampai sekarang ini. Antara menceritakan (lagi) dan tidak, ia ragu, kalau-kalau suaminya mencibir. Atau jika sedang tidak beruntung, tamparan bisa mendarat di pipinya.
Kini, ia malah asik memainkan bola matanya yang kuyu. Memandangi lampu bohlam lima Watt yang tergantung di alang kamarnya. Berayun karena terpaan angin dari luar. Kedua tangannya diletakkan di atas perutnya yang membenjol. Dan berkali-kali menoleh pada suaminya yang sedang mendengkur pulas. Lagi-lagi ia ragu dan semakin ragu.
Kegelisahan tampak menebar di rona mukanya. Mungkin memikir mimpinya sore tadi. Mimpi yang sebenarnya pernah ia mimpikan sebelumnya. Mimpi yang mengabarkan soal suaminya yang mati tenggelam. Terseret arus sungai yang membatasi hutan dengan desanya. Nafasnya tersengal saat teringat suaminya mati dalam keadaan mengenaskan itu. Padahal pada hari-hari sebelumnya ia juga pernah bermimpi disambangi lelaki renta berjubah putih. Lalu mimpi bertemu seorang bocah lelaki dengan mata cekung, kurus dan pucat sedang melempari rumahnya. Dan kini tentang suaminya yang mati.
Mimpi-mimpi itu sungguh membuatnya gusar. Ia lantas duduk. Bersandar pada ujung dipan. Bantalnya dipindah untuk mengganjal pungungnya. Dan berkali-kali menoleh ke arah suaminya yang tengah mendengkur di sampingnya.
Sementara itu di luar, remah-remah gerimis berduyun menjadi gumpalan hujan yang membabi buta. Membasahi pucuk dedaunan sebelum memuntahkan ke atap rumahnya. Lebat, disertai angin yang kesetanan. Lalu disusul ledakan guntur yang bergema di dinding bambu rumahnya. Hampir dua jam sudah ia berkalung cemas dan gelisah. Bergelut melawan tafsir mimpi itu. Ia tak kuat lagi pada akhirnya. Rasa kantuknya mulai menjalar dan mengakar. Ia tidur dengan sejuta kekhawatiran di benaknya dan kelencuan di wajahnya.
Tak perlu menunggu lama, pagi lamat-lamat menghinggap. Sinar matahari dari timur menyibak kerumunan awan. Menembus sela-sela dinding bambu rumah dan menempa wajahnya yang kian pucat. Kokokan ayam jantan berganti riuh menjadi kicauan burung-burung merbah cerukcuk yang bertengger di pekarangan rumahnya. Perempuan itu terbangun.
Suara derit dipan, membuyarkannnya dari lelap yang sejenak. Lalu bunyi gemricik air dari pancuran; suaminya sudah lebih dulu bangun. Dan tampak sedang mencucui muka. Itu artinya, ia juga harus segera bangun dan beranjak dari kamarnya. Menyiapkan kopi atau sekadar mencuci perabotan yang kotor usai  dipakai sebelumnya.
“Kali ini aku akan ke hutan lebih pagi,” ujar suaminya sambil menyibak kerai pintu kamar dari potongan bekas sarung.
“Aku, dapat pesanan kayu Sengon lagi dari pak Darsun. Kali ini lumayan banyak. tambah suaminya sambil mempersiapkan peralatan.
Perempuan itu lantas beranjak dari ranjangnya. Seutas karet gelang yang melingkar di tangannya dilepas untuk mengikat rambutnya yang panjang. Agar tak tampak berantakan dan menutupi matanya yang kuyu.
“Apa tidak menunggu sarapan dulu Kang?” tanyanya yang kini berdiri di depan kaca buram yang tertempel di dinding kayu pembatas rumah dan kamar.
Tidak ada jawaban. Suaminya telah usai menyiapkan kapak dan gergaji yang dipautkan pada boncengan sepeda model jengki. Dari dalam kamarnya, terdengar samar suara tiga atau empat lelaki membincang dengan suaminya di depan rumah. Semakin samar dan jauh. Mungkin menuju hutan seperti yang dibilang suaminya tadi, pikirnya.
***
Belakangan ini, Karsan memang lebih sering ke hutan dari pada ke sawah. Saat matahari segalah Karsan dan beberapa tetangganya itu baru akan pulang ke rumah. Yang masing-masing dari mereka membawa kayu-kayu Sengon dari hutan sebelah desanya.
Lasi, tidak paham pasti, mengapa suaminya memilih menjadi penebang kayu. Padahal sebelumnya ia adalah seorang buruh tani yang tekun. Penghasilan dari menjinjing pacul dan mengapit sabit selama ini pun dirasanya sudah cukup mengepulkan asap dapur. Suaminya rutin menggarap sawah dan ladang milik pak Kades dengan sistem bagi hasil. Yang Lasi tahu, suaminya tidak lagi ke sawah saat kehamilannya menuju lima bulan.
Suatu kali, Lasi pernah menanyakan pada suaminya mengenai pekerjaannya. Sebab setiba di rumah suaminya membawa gelondhongan-gelndhongan kayu Sengon. Namun jawaban suaminya tidak begitu mengenakkan. ”Ya, buat makan kamu dan anakmu nanti,” kenangnya.
Lasi pun memaklumi perangai lelakinya itu. Terkadang ia juga membantu menjemur  glondhongan-gelondhongan kayu yang sudah dibelah menjadi beberapa bagian. Sebelum pada akhirnya kayu-kayu itu dibawa oleh lelaki yang disebut pak Darsun. Dan suaminya akan mendapat beberapa lembar duit setelah kayunya diangkut mobil contang milik pak Darsun itu.
Lasi sebenaranya tidak begitu suka dengan sosok yang bernama pak Darsun yang katanya seorang bos pabrik meubel dari desa sebelah. Awalnya, pak Darsun yang datang ke desanya sebagai laki-laki yang berpenampilan serba necis. Celana jeans bergester kulit dan kaus kerah selalu membalut perutnya yang tambun. Ujung bajunya masuk pada blue jeans tadi. Di atas rambutnya yang mulai memutih selalu bertengger topi model koboi Meksiko dan cerutu menempel di mulutnya yang berulang kali disulut saat mati.
Lasi mulai melihat lelaki tua itu sekitar lima bulan yang lalu yang datang dengan menawarkan pekerjaan kepada tetangganya di desa Lasi tinggal. Dengan gaya bicaranya yang lihai, pak Darsun dengan cepat mampu menghasut warga termasuk suaminya, untuk menebang pohon-pohon Sengon yang ada di hutan sebelah desa mereka.
Mula-mula pak Darsun bicara banyak tentang kegunaan Sengon. Untuk bahan meubel, aksesoris, dan sebagainya. Lalu menjurus pada kisaran harga yang menggunung. Inilah yang membuat suami dan beberapa tetangga Lasi tercengang. Karsan pun dengan serius mulai mempertimbangkan tawaran dari pak Darsun tersebut.
Awalnya, Karsan memang masih diberatkan dengan tawaran itu. Mengingat hutan Sengon itu adalah warisan leluhur mereka. “Kita tidak ikut menanam, ora ilok kalau kita menebangnya,” bisik Karsan pada tetangganya. Cuma, bisikan itu bertahan sementara. Kondisi perekonomian warga yang kian menjerat menggugurkan benteng pertahanan mereka. Satu persatu pergi ke hutan. Lalu di susul yang lainnya dan lainnya sampai akhirnya, Karsan sendiri juga mengikutinya.
***
Sudah hampir tiga bulan ini suaminya rutin pergi ke hutan tiap harinya. Pula tidak pernah secemas ini ia menunggu kepulangan suaminya. Hari sudah hampir sore. Kalaupun pesanan kayu yang diambil cukup banyak paling tidak suaminya telah pulang dahulu untuk mencicil membawa gelondhongan- gelondhongan Sengon dengan sepeda jengkinya itu.
Berulang kali ia keluar rumah. Berkali-kali pula ia masuk untuk memastikan bahwa suaminya belum benar-benar pulang. Ia mencoba menayakan kepada tetangga yang suami atau anaknya juga tengah ke hutan bersama suaminya. Tapi memang semuanya belum pulang.
Pinggangnya mulai nyeri. Sambil menjinjing daster lusuh ia terseok-seok masuk ke rumah. Ia kemudian duduk di balai bambu di depan rumahnya. Sejenak ia teringat lagi soal mimpinya kemarin sore. Mimpi tentang lelakinya yang terseret arus sungai. Dan belum sempat lagi atau mungkin tidak akan diceritakan lagi kepada lelakinya itu.
Tubuhnya melemas, ia lantas merebahkan badannya yang berat ke atas bale tadi. Ingatannya kembali menuntun mengeja kronologi mimpinya tersebut. Mula-mula suaminya itu hendak pulang bersama keempat rekannya. Suaminya berada di barisan paling belakang. Jalan setapak menuju desa semakin licin dan agak bencah akibat guyuran hujan semalaman. Agaknya, siang itu suaminya kurang hati-hati. Ia terpeleset. Badannya tersungkur ke depan dari jalan setapak yang berada di atas sungai tadi. Gelondhongan Sengon yang dipangkul pun ikut tersungkur. Suaminya berteriak minta tolong. Sedang teman-temannya hanya bisa balas meneriaki suaminya yang dengan cepat terbawa arus sungai yang banjir.
Sungai yang keruh dan berlumpur dengan mudah menenggelamkan suaminya. Teriakan minta tolongnya tak terdengar lagi. Tubuh suaminya entah kemana. Tidak timbul lagi. Lagi-lagi teman-temannya hanya bisa meneriaki suaminya yang sama sekali tak bisa berenang itu. Suaminya hanyut dan hilang.
Ia lantas tersadar. Ia terjerembab, mulutnya bergeming. Keringat dingin menderas dari lehernya. Nafasnya tersengal.
“Lasi.., Lasi.., Las...” terdengar terikan dari kejauhan. Lasi beranjak, dilihatinya arah suara yang memanggilnya. Suara lelaki, namun bukan suaminya. Suara yang berat dan terengah-engah.
“Ada apa kang?” tanya Lasi pada tetangganya itu.
“Anu.. Las.. Anu kang Karsan,” jawab lelaki itu tergopoh-gopoh sambil mengatur nafas.
“Kenapa kang, kenapa dengan kang Karsan?” tukas Lasi tak sabar.
“Kang Karsan tenggelam di sungai,” jawab lelaki itu yang masih kesusahan mengatur nafasnya.
Lasi lemas. Matanya berkaca dan gelap. Nafasnya putus-putus. Tubuhnya lunglai. Kedua kakinya seakan tak mampu lagi menopang tubunya yang berat.  “Lasi.. Lasi.. Las,.. nyebut Las, nyebut.,” teriak tetangganya membimbing Lasi yang sudah tidak sadarkan diri.



….untuk hutan di sebelah desaku yang telah gundul

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger