Ia masih terjaga.
Tubuhnya terlentang di dipan kayu dengan beralaskan tikar pandan. Wajahnya tampak
lencu. Sebilah bantal gepeng, diganjal pada tengkuknya. Kendati waktu menunjuk
ke pukul dua; hampir sepertiga dari malam.
Barangkali
kehamilan yang mulai ranum itu yang membikin ia susah tidur. Barangkali pula
alasan enggan tidur lainnya dikarena ia sering memimpikan kejadian-kejadian
aneh kalau pun tidur. Mimpi yang sudah berulang kali ia ceritakan pada
suaminya. Dan berulang kali pula ia mendapat tanggapan yang kurang menyenangkan.
Sejak saat itu ia
enggan bercerita tentang mimpinya. Ia lebih suka memendam kejadian-kejadian
dalam mimpinya itu. Termasuk mimpinya tadi sore yang menjadikannya masih tetap
terjaga sampai sekarang ini. Antara menceritakan (lagi) dan tidak, ia ragu,
kalau-kalau suaminya mencibir. Atau jika sedang tidak beruntung, tamparan bisa
mendarat di pipinya.
Kini, ia malah asik
memainkan bola matanya yang kuyu. Memandangi lampu bohlam lima Watt yang
tergantung di alang kamarnya. Berayun karena terpaan angin dari luar. Kedua
tangannya diletakkan di atas perutnya yang membenjol. Dan berkali-kali menoleh
pada suaminya yang sedang mendengkur pulas. Lagi-lagi ia ragu dan semakin ragu.
Kegelisahan tampak menebar
di rona mukanya. Mungkin memikir mimpinya sore tadi. Mimpi yang sebenarnya pernah
ia mimpikan sebelumnya. Mimpi yang mengabarkan soal suaminya yang mati tenggelam.
Terseret arus sungai yang membatasi hutan dengan desanya. Nafasnya tersengal
saat teringat suaminya mati dalam keadaan mengenaskan itu. Padahal pada hari-hari
sebelumnya ia juga pernah bermimpi disambangi lelaki renta berjubah putih. Lalu
mimpi bertemu seorang bocah lelaki dengan mata cekung, kurus dan pucat sedang
melempari rumahnya. Dan kini tentang suaminya yang mati.
Mimpi-mimpi itu
sungguh membuatnya gusar. Ia lantas duduk. Bersandar pada ujung dipan.
Bantalnya dipindah untuk mengganjal pungungnya. Dan berkali-kali menoleh ke
arah suaminya yang tengah mendengkur di sampingnya.
Sementara itu di
luar, remah-remah gerimis berduyun menjadi gumpalan hujan yang membabi buta.
Membasahi pucuk dedaunan sebelum memuntahkan ke atap rumahnya. Lebat, disertai angin yang
kesetanan. Lalu disusul ledakan guntur yang bergema di dinding bambu rumahnya.
Hampir dua jam sudah ia berkalung cemas dan gelisah. Bergelut melawan tafsir
mimpi itu. Ia tak kuat lagi pada akhirnya. Rasa kantuknya mulai menjalar dan mengakar.
Ia tidur dengan sejuta kekhawatiran di benaknya dan kelencuan di wajahnya.
Tak perlu menunggu
lama, pagi lamat-lamat menghinggap. Sinar matahari dari timur menyibak
kerumunan awan. Menembus sela-sela dinding bambu rumah dan menempa wajahnya yang
kian pucat. Kokokan ayam jantan berganti riuh menjadi kicauan burung-burung
merbah cerukcuk yang bertengger di pekarangan rumahnya. Perempuan itu
terbangun.
Suara derit dipan,
membuyarkannnya dari lelap yang sejenak. Lalu bunyi gemricik air dari pancuran;
suaminya sudah lebih dulu bangun. Dan tampak sedang mencucui muka. Itu artinya,
ia juga harus segera bangun dan beranjak dari kamarnya. Menyiapkan kopi atau
sekadar mencuci perabotan yang kotor usai
dipakai sebelumnya.
“Kali ini aku akan
ke hutan lebih pagi,” ujar suaminya sambil menyibak kerai pintu kamar dari
potongan bekas sarung.
“Aku, dapat pesanan
kayu Sengon lagi dari pak Darsun. Kali ini lumayan banyak.” tambah suaminya sambil mempersiapkan peralatan.
Perempuan itu
lantas beranjak dari ranjangnya. Seutas karet gelang yang melingkar di
tangannya dilepas untuk mengikat rambutnya yang panjang. Agar tak tampak
berantakan dan menutupi matanya
yang kuyu.
“Apa tidak menunggu
sarapan dulu Kang?” tanyanya yang kini berdiri di depan kaca buram yang tertempel di
dinding kayu pembatas rumah dan kamar.
Tidak ada jawaban.
Suaminya telah usai menyiapkan kapak dan gergaji yang dipautkan pada boncengan
sepeda model jengki. Dari dalam kamarnya, terdengar samar suara tiga atau empat
lelaki membincang dengan suaminya di depan rumah. Semakin samar dan jauh.
Mungkin menuju hutan seperti yang dibilang suaminya tadi, pikirnya.
***
Belakangan ini, Karsan
memang lebih sering ke hutan dari pada ke sawah. Saat matahari segalah Karsan dan
beberapa tetangganya itu baru akan pulang ke rumah. Yang masing-masing dari
mereka membawa kayu-kayu Sengon dari hutan sebelah desanya.
Lasi, tidak paham
pasti, mengapa suaminya memilih menjadi penebang kayu. Padahal sebelumnya ia adalah
seorang buruh tani yang tekun. Penghasilan dari menjinjing pacul dan mengapit
sabit selama ini pun dirasanya sudah cukup mengepulkan asap dapur. Suaminya
rutin menggarap sawah dan ladang milik pak Kades dengan sistem bagi hasil. Yang
Lasi tahu, suaminya tidak lagi ke sawah saat kehamilannya menuju lima bulan.
Suatu kali, Lasi
pernah menanyakan pada suaminya mengenai pekerjaannya. Sebab setiba di rumah suaminya
membawa gelondhongan-gelndhongan kayu
Sengon. Namun jawaban suaminya tidak begitu mengenakkan. ”Ya, buat makan kamu dan anakmu nanti,” kenangnya.
Lasi pun memaklumi
perangai lelakinya itu. Terkadang ia juga membantu menjemur glondhongan-gelondhongan
kayu yang sudah dibelah menjadi beberapa bagian. Sebelum pada akhirnya
kayu-kayu itu dibawa oleh lelaki yang disebut pak Darsun. Dan suaminya akan
mendapat beberapa lembar duit setelah kayunya diangkut mobil contang milik pak
Darsun itu.
Lasi sebenaranya tidak
begitu suka dengan sosok yang bernama pak Darsun yang katanya seorang bos
pabrik meubel dari desa sebelah. Awalnya, pak Darsun yang datang ke desanya
sebagai laki-laki yang berpenampilan serba necis. Celana jeans bergester kulit
dan kaus kerah selalu membalut perutnya yang tambun. Ujung bajunya masuk pada blue jeans tadi. Di atas rambutnya yang
mulai memutih selalu bertengger topi model koboi Meksiko dan cerutu menempel di
mulutnya yang berulang kali disulut saat mati.
Lasi mulai melihat lelaki
tua itu sekitar lima bulan yang lalu yang datang dengan menawarkan pekerjaan
kepada tetangganya di desa Lasi tinggal. Dengan gaya bicaranya yang lihai, pak Darsun dengan cepat mampu menghasut
warga termasuk suaminya, untuk menebang pohon-pohon Sengon yang ada di hutan
sebelah desa mereka.
Mula-mula pak
Darsun bicara banyak tentang kegunaan Sengon. Untuk bahan meubel, aksesoris,
dan sebagainya. Lalu menjurus pada kisaran harga yang menggunung. Inilah yang
membuat suami dan beberapa tetangga Lasi tercengang. Karsan pun dengan serius
mulai mempertimbangkan tawaran dari pak Darsun tersebut.
Awalnya, Karsan
memang masih diberatkan dengan tawaran itu. Mengingat hutan Sengon itu adalah
warisan leluhur mereka. “Kita tidak ikut menanam, ora ilok kalau kita menebangnya,” bisik Karsan pada tetangganya. Cuma, bisikan itu bertahan sementara. Kondisi perekonomian warga yang
kian menjerat menggugurkan benteng pertahanan mereka. Satu persatu pergi ke hutan.
Lalu di susul yang lainnya dan lainnya sampai akhirnya, Karsan sendiri juga
mengikutinya.
***
Sudah hampir tiga
bulan ini suaminya rutin pergi ke hutan tiap harinya. Pula tidak pernah secemas
ini ia menunggu kepulangan suaminya. Hari sudah hampir sore. Kalaupun pesanan
kayu yang diambil cukup banyak paling tidak suaminya telah pulang dahulu untuk
mencicil membawa gelondhongan-
gelondhongan Sengon dengan sepeda jengkinya itu.
Berulang kali ia
keluar rumah. Berkali-kali pula ia masuk untuk memastikan bahwa suaminya belum
benar-benar pulang. Ia mencoba menayakan kepada tetangga yang suami atau
anaknya juga tengah ke hutan bersama suaminya. Tapi memang semuanya belum
pulang.
Pinggangnya mulai
nyeri. Sambil menjinjing daster lusuh ia terseok-seok masuk ke rumah. Ia
kemudian duduk di balai bambu di depan rumahnya. Sejenak ia teringat lagi soal mimpinya
kemarin sore. Mimpi tentang lelakinya yang terseret arus sungai. Dan belum
sempat lagi atau
mungkin tidak akan diceritakan lagi
kepada lelakinya itu.
Tubuhnya melemas,
ia lantas merebahkan
badannya yang berat ke atas bale tadi. Ingatannya kembali menuntun mengeja kronologi mimpinya tersebut. Mula-mula
suaminya itu hendak pulang bersama keempat rekannya. Suaminya berada di barisan
paling belakang. Jalan setapak menuju desa semakin licin dan agak bencah akibat
guyuran hujan semalaman. Agaknya, siang itu suaminya kurang hati-hati. Ia
terpeleset. Badannya tersungkur ke depan dari jalan setapak yang berada di atas
sungai tadi. Gelondhongan Sengon yang dipangkul pun
ikut tersungkur. Suaminya berteriak minta tolong. Sedang teman-temannya hanya
bisa balas meneriaki suaminya yang dengan cepat terbawa arus sungai yang banjir.
Sungai yang keruh
dan berlumpur dengan mudah menenggelamkan suaminya. Teriakan minta tolongnya
tak terdengar lagi. Tubuh suaminya entah kemana. Tidak timbul lagi. Lagi-lagi
teman-temannya hanya bisa meneriaki suaminya yang sama sekali tak bisa berenang
itu. Suaminya hanyut dan hilang.
Ia lantas tersadar.
Ia terjerembab, mulutnya bergeming. Keringat dingin menderas dari lehernya.
Nafasnya tersengal.
“Lasi.., Lasi.., Las...”
terdengar terikan dari kejauhan. Lasi beranjak, dilihatinya arah suara yang
memanggilnya. Suara lelaki, namun bukan suaminya. Suara yang berat dan
terengah-engah.
“Ada apa kang?” tanya
Lasi pada tetangganya itu.
“Anu.. Las.. Anu
kang Karsan,” jawab lelaki itu tergopoh-gopoh sambil mengatur nafas.
“Kenapa kang,
kenapa dengan kang Karsan?” tukas Lasi tak sabar.
“Kang Karsan
tenggelam di sungai,” jawab lelaki itu yang masih kesusahan mengatur nafasnya.
Lasi lemas. Matanya
berkaca dan gelap. Nafasnya putus-putus. Tubuhnya lunglai. Kedua kakinya seakan
tak mampu lagi menopang tubunya yang berat. “Lasi.. Lasi.. Las,.. nyebut Las, nyebut.,” teriak
tetangganya membimbing Lasi yang
sudah tidak sadarkan diri.
….untuk hutan di sebelah desaku
yang telah gundul
0 komentar:
Posting Komentar