Namanya Chusnil, tetapi seharusnya Husni. Di
akte tertulis Husni bukan Chusnil. Entah kenapa belakangan ini nama itu kembali
membuatku terusik. Dalam hidup, saya tidak pernah merasa sangat iri kepada
siapapun kecuali dengannya. Sejak kecil saya sudah ditakdirkan menjadi adiknya.
Selisih umur saya hanya tiga tahun dengannya. Chusnil itulah yang membuat saya
selalu kalah dalam hal apapun. Dan saya tidak pernah sempat merasakan yang
namanya “ngalah”.
Ketika SMP saya baru menyadari sebabnya. Chusnil
memang lebih tampan dibanding saya. Hidungnya mancung hidung saya ambles.
Rambutnya ikal. Rambut saya dangkal dengan dahi yang lebar. Kulitnya putih
bersih dan kulit saya sawo matang yang kematangan. Kami beda hampir dalam
semuanya. Dia terdidik menjadi penurut. Saya pembangkang. Dia memilih menjadi
anak yang baik bahkan saya samar antara yang baik dan buruk. Chusnil memang
mendapat lebih dibanding saya.
(Malam itu
benar-benar hanya ada rindu tetapi abu-abu. Dari seorang adik yang selama hidup
hampir tidak pernah merasa punya kakak)
Selepas SMA dia ditawari kuliah oleh
ibu-bapak. Sedang saya terancam cukup di SMP. Secara akademik saya memang
kurang berkualitas. Rapor saya hampir tidak pernah lolos dari angka merah.
Sedang rapor dia ─yang sudah pasti di perebutkan ibu-bapak─ nihil dari angka merah. Saya pernah tidak
naik kelas. Itu tidak terlalu mengejutkan bagi ibu-bapak. Sebab bebarengan
dengan itu rangking Chusnil merosot. Dari pertama menjadi juara ketiga. Kami berdua
pun mendapat hukuman. Nitendo dinonaktifkan bapak. Pikir bapak mesin game itu sangat berpengaruh pada
prestasi. Padahal saya jarang sekali bisa main nitendo. Sebab Chusnil dan
teman-temannya lebih dulu memakainya. “Anak kecil bisa apa? Nonton saja. Tak
ajari,” ujar dia dan mengambil alih paksa sticknya. Kalau sudah seperti itu, saya harus mundur
melihati dia dan teman-temannya main mortal
combat dengan hati yang ciut.
Tetapi Chusnil masih bisa dapat hadiah.
Sebuah komputer yang belum level pantium. Itu pun dari hasil kesepakatan antara
bapak dengan dia sebelumnya. Jika juara pertama akan dibelikan motor KTM. Juara
kedua diajak ke Bonbin Surabaya plus komputer. Dan jika juara ketiga hanya komputer
itulah jadi miliknya. Saya, tidak perlu repot-repot bikin pemetaan macam begitu.
Karena memang tidak perlu. Hanya buang-buang waktu untuk sebuah
ketidakmungkinan menyabet gelar juara.
(Dua tahun
berpisah malam itu kali awal kakak mengkhususkan menelponku. Kali pertama
berbicara serius saat kami sudah sama-sama merasa dewasa. Kurang begitu
laki-laki rasanya jika ada tangis)
Masa SD saya tandai masa paling kelabu. Saya
kerap dibohongi oleh ibu dan bapak. Pada suatu malam saya diminta menjaga
rumah. Sedang ibu dan bapak bilang mau pergi ke dokter mengantarkan Chusnil
berobat mata. Setahu saya mata Chusnil memang bermasalah. Dia terkena gangguan
penglihatan dengan minus 1,5 sejak SMP. Yang mencurigakan, sepulang dari dokter
ibu membawa tahu petis, makanan kesukaan Chusnil. Dalam posisi kelas 3 SD, saya
sudah tahu kalau tahu petis seperti itu hanya ada di pasar malam. Saya memang
kurang suka tahu petis. Saya lebih suka martabak telur yang juga di jual di
pasar malam. Saya hanya iri kenapa Chusnil diajak ke pasar malam sedangkan saya
tidak. Saya cukup berperasangka baik waktu itu. Barangkali ini memang masih
dalam rangka hukuman.
Dari segi ukuran tubuh kami berdua memang
relatif sama. Oleh karena itu baju-baju kami pun sama. Tetapi lebih dari pada
itu ada hal-hal yang disembunyikan ibu-bapak dari saya. Saya tidak pernah tahu
kenapa Chusnil selalu punya jam tangan dan saya tidak. Dia punya sepeda BMX dan
saya hanya diperkenankan mbonceng dia walau itu sangat jarang
terjadi. Saya juga tahu, setiap senin dan kamis, sebelum sekolah Chusnil mampir
dulu ke pasar buat ngambil jajanan dari ibu. Dan pastilah Rudi tahu kalau
setiap senin dan kamis saya harus mbonceng
dia ke sekolah lantaran Chusnil ke pasar.
(Ia
mengabarkan kepedihan. Kepedihan yang tidak mampu membuat pendendam tega
menertawakan lawan. Tidak, ia bukan lawan. Ia kakaku. Saudara sekandungku yang
menempati rahim ibuku sebelum aku)
Di tahun yang sama betapa saya baru menyadari
ternyata Chusnil adalah anak yang dinantikan kehadirannya. Terlebih ibu saya.
Bapak saya seorang duda dengan tiga anak. Dia mengawini ibu saya yang juga
janda tetapi belum beranak. Kelahiran Chusnil begitu dinanti karena dianggap
bisa menyatukan hubungan ibu dan bapak. Kendati ibu juga kepingin punya anak
dari rahimnya sendiri. Sedangkan mungkin kelahiran saya sudahlah tidak diharap.
Hanya memperbanyak anak. Dan itulah kenapa saya menjadi yang terakhir di
keluarga. Bapak saya merasa, isi rumah sudah bebal dengan anak.
Selepas SMA, Chusnil menampik tawaran buat
kuliah. Tentu ibu dan bapak semakin berbangga hati lantaran dia memutuskan
untuk bekerja walau serabutan. Dia seperti patut menjadi contoh panutan bagi
remaja seusianya, tetangga, dan juga sanak keluarga yang lain. Dan selama ini
dia memang telah mendapatkannya. Menginjak saya SMA ─akhirnya dibolehkan melanjutkan sekolah─ Chusnil sudah setahun di Batam. Dia pun
cepat peroleh pekerjaan. Ibu dan bapak tak ubahnya kehilangan sepuluh anak.
Satu-satunya hal paling menggembirakan selama itu adalah saat Chusnil menelpon
mereka. Itu jadi pemandangan paling membosankan selama saya SMA.
(Jauh
disana, ia bilang bahwa pacarnya hamil dan minta dinikahi. Sedangkan disini
ibu-bapak masih begitu mengharap jerih payah hasil keringatnya yang bisa dibanggakan.
Kepada tetangga dan juga kerabat lainnya)
Dua tahun sudah Chusnil di Batam. Tidak ada
angin tidak hujan tiba-tiba dia bilang mau menikah. Ibu menjadi orang yang
paling tidak setuju. Dan saya hanya bisa mengkerutkan dahi saya yang makin
lebar saja. Bapak hanya berusaha memberi pengertian kepada ibu. Sebulan setelah
mengabari akan menikah, Chusnil pulang ke rumah bersama calon istri dan
keluarganya. Pikir saya yang masih SMA, untuk laki-laki seganteng Chusnil mau
menikahi perempuan tonggos begitu. Tidak. Rupa gadis itu memang tidak cantik.
Pikir saya yang selalu tahu mantan-mantan pacar Chusnil dialah yang paling
jelek. Chusnil akhirnya tetap menikah diantara kontroversi bapak dan ibu.
Walau saya tidak begitu dekat dengan ibu,
tetapi saya tahu ibu sebenarnya tidak begitu setuju Chusnil menikah dulu. Ibu
masih mengharap lebih pada masa depan anak tercintanya. Anak yang selama
hidupnya tidak pernah membangkang. Tetapi ibu tetaplah ibu. Dia harus sadar
bahwa Chusnil memang sudah dewasa dan berhak memilih jalan hidupnya. Tanggal
dan tempat pernikahan sudah ditentukan. Semuanya akan berlangsung di Batam. Seorang
ibu yang kecewa akan keputusan anaknya dan tidak pernah tahu mengapa anaknya membelot,
ditambah seorang bapak yang tidak tahu harus berbuat apa, pasrah. Setahu saya
keduanya tidak datang di hari pernikahan Chusnil di sana.
Selepas SMA, saya putuskan untuk merantau.
Apapun yang terjadi saya harus keluar dari kampung ini. Diam-diam saya
mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di berbagai perguruan negeri yang mau
menerima. Tanpa menggubris ibu-bapak, saya diterima dan kuliah di Yogyakarta.
Saya tidak begitu merasa berdosa pada mereka. Sejak dari kecil saya terbiasa
membangkang. Saya kerap diperlihatkan kebohongan-kebohongan yang tersamar;
dipercundangi. Saya memang tidak didik menjadi baik. Saya tidak diharapkan
ketimbang Chusnil. Tetapi saya merasa menjadi lebih baik daripada Chusnil
sekarang. Dia yang diharapkan akhirnya membangkang. Dan saya yang tidak pernah
diharapkan rupanya tetap sama di mata ibu dan bapak. Buruk.
(Aku diminta
merahasiakan. Ia bilang baru aku yang dikabari. Barangkali ini memang tugas
dari adik untuk selalu merahasiakan kesalahan kakaknya. Juga pesan dari kakak
untuk tidak meniru perbuatannya)
Selama merantau, setiap kali pulang perlakuan
ibu tetaplah sama. Apalagi bapak. Buletin, majalah, buku, dan hasil karya saya,
rupanya tidak mampu membuka mata ibu dan bapak saya yang selama ini memandang
sebelah kepada saya. Tetangga dan kerabat pun masih sama. Setiap kali
bertandang atau berjumpa ada saja yang
mengira saya adalah Chusnil. Saya sering merasa bahwa saya tidak pernah
ada di keluarga ini. Atau jangan-jangan memang tidak pernah ada. Saya adalah
ilusi. Pula, kalau kebetulan membantu ibu saya di pasar, masih saja ada
pertanyaan. “Lhoh Bulek ini siapa? Yang dulu ke Batam itu ya?” Whatever, i do’nt care!
Sudah lima tahun saya di kota ini. Selama itu
pula saya tidak pernah mendengar kabar Chusnil lagi. Kecuali dari ibu-bapak dan
saat saya pulang. Anaknya sudah dua, katanya. Sedang Chusnil nampaknya mulai
lupa saja dengan saya. Kendati tiba-tiba malam ini saya mengingatnya. Saya
ingin menyapanya. Selamat malam. Selamat ulang tahun. Rahasiamu tetaplah aman. Kamu
akan jadi baik selamanya di mata ibu juga bapak. Maaf telah mengecewakanmu. Serta
menuduhmu yang bukan-bukan.
(Setua
apapun saya nanti, rasanya saya akan tetap menjadi adik. Adik tidak akan pernah
jadi kakak. Dan rahasia tetaplah rahasia. Meski yang meminta menjaganya
terkadang sudah lupa)