Hi Son, Happy Birthday

/ Selasa, 07 Agustus 2012 /
(Suaranya terdengar parau. Berat seperti ada isak tangis yang tertahan. Jauh di seberang sana seseorang kakak sedang menelpon adiknya)
Namanya Chusnil, tetapi seharusnya Husni. Di akte tertulis Husni bukan Chusnil. Entah kenapa belakangan ini nama itu kembali membuatku terusik. Dalam hidup, saya tidak pernah merasa sangat iri kepada siapapun kecuali dengannya. Sejak kecil saya sudah ditakdirkan menjadi adiknya. Selisih umur saya hanya tiga tahun dengannya. Chusnil itulah yang membuat saya selalu kalah dalam hal apapun. Dan saya tidak pernah sempat merasakan yang namanya “ngalah”.
Ketika SMP saya baru menyadari sebabnya. Chusnil memang lebih tampan dibanding saya. Hidungnya mancung hidung saya ambles. Rambutnya ikal. Rambut saya dangkal dengan dahi yang lebar. Kulitnya putih bersih dan kulit saya sawo matang yang kematangan. Kami beda hampir dalam semuanya. Dia terdidik menjadi penurut. Saya pembangkang. Dia memilih menjadi anak yang baik bahkan saya samar antara yang baik dan buruk. Chusnil memang mendapat lebih dibanding saya.
(Malam itu benar-benar hanya ada rindu tetapi abu-abu. Dari seorang adik yang selama hidup hampir tidak pernah merasa punya kakak)
Selepas SMA dia ditawari kuliah oleh ibu-bapak. Sedang saya terancam cukup di SMP. Secara akademik saya memang kurang berkualitas. Rapor saya hampir tidak pernah lolos dari angka merah. Sedang rapor dia yang sudah pasti di perebutkan ibu-bapak nihil dari angka merah. Saya pernah tidak naik kelas. Itu tidak terlalu mengejutkan bagi ibu-bapak. Sebab bebarengan dengan itu rangking Chusnil merosot. Dari pertama menjadi juara ketiga. Kami berdua pun mendapat hukuman. Nitendo dinonaktifkan bapak. Pikir bapak mesin game itu sangat berpengaruh pada prestasi. Padahal saya jarang sekali bisa main nitendo. Sebab Chusnil dan teman-temannya lebih dulu memakainya. “Anak kecil bisa apa? Nonton saja. Tak ajari,” ujar dia dan mengambil alih paksa sticknya.  Kalau sudah seperti itu, saya harus mundur melihati dia dan teman-temannya main mortal combat dengan hati yang ciut.
Tetapi Chusnil masih bisa dapat hadiah. Sebuah komputer yang belum level pantium. Itu pun dari hasil kesepakatan antara bapak dengan dia sebelumnya. Jika juara pertama akan dibelikan motor KTM. Juara kedua diajak ke Bonbin Surabaya plus komputer. Dan jika juara ketiga hanya komputer itulah jadi miliknya. Saya, tidak perlu repot-repot bikin pemetaan macam begitu. Karena memang tidak perlu. Hanya buang-buang waktu untuk sebuah ketidakmungkinan menyabet gelar juara.
(Dua tahun berpisah malam itu kali awal kakak mengkhususkan menelponku. Kali pertama berbicara serius saat kami sudah sama-sama merasa dewasa. Kurang begitu laki-laki rasanya jika ada tangis)
Masa SD saya tandai masa paling kelabu. Saya kerap dibohongi oleh ibu dan bapak. Pada suatu malam saya diminta menjaga rumah. Sedang ibu dan bapak bilang mau pergi ke dokter mengantarkan Chusnil berobat mata. Setahu saya mata Chusnil memang bermasalah. Dia terkena gangguan penglihatan dengan minus 1,5 sejak SMP. Yang mencurigakan, sepulang dari dokter ibu membawa tahu petis, makanan kesukaan Chusnil. Dalam posisi kelas 3 SD, saya sudah tahu kalau tahu petis seperti itu hanya ada di pasar malam. Saya memang kurang suka tahu petis. Saya lebih suka martabak telur yang juga di jual di pasar malam. Saya hanya iri kenapa Chusnil diajak ke pasar malam sedangkan saya tidak. Saya cukup berperasangka baik waktu itu. Barangkali ini memang masih dalam rangka hukuman.
Dari segi ukuran tubuh kami berdua memang relatif sama. Oleh karena itu baju-baju kami pun sama. Tetapi lebih dari pada itu ada hal-hal yang disembunyikan ibu-bapak dari saya. Saya tidak pernah tahu kenapa Chusnil selalu punya jam tangan dan saya tidak. Dia punya sepeda BMX dan saya hanya diperkenankan  mbonceng dia walau itu sangat jarang terjadi. Saya juga tahu, setiap senin dan kamis, sebelum sekolah Chusnil mampir dulu ke pasar buat ngambil jajanan dari ibu. Dan pastilah Rudi tahu kalau setiap senin dan kamis saya harus mbonceng dia ke sekolah lantaran Chusnil ke pasar.
(Ia mengabarkan kepedihan. Kepedihan yang tidak mampu membuat pendendam tega menertawakan lawan. Tidak, ia bukan lawan. Ia kakaku. Saudara sekandungku yang menempati rahim ibuku sebelum aku)
Di tahun yang sama betapa saya baru menyadari ternyata Chusnil adalah anak yang dinantikan kehadirannya. Terlebih ibu saya. Bapak saya seorang duda dengan tiga anak. Dia mengawini ibu saya yang juga janda tetapi belum beranak. Kelahiran Chusnil begitu dinanti karena dianggap bisa menyatukan hubungan ibu dan bapak. Kendati ibu juga kepingin punya anak dari rahimnya sendiri. Sedangkan mungkin kelahiran saya sudahlah tidak diharap. Hanya memperbanyak anak. Dan itulah kenapa saya menjadi yang terakhir di keluarga. Bapak saya merasa, isi rumah sudah bebal dengan anak.
Selepas SMA, Chusnil menampik tawaran buat kuliah. Tentu ibu dan bapak semakin berbangga hati lantaran dia memutuskan untuk bekerja walau serabutan. Dia seperti patut menjadi contoh panutan bagi remaja seusianya, tetangga, dan juga sanak keluarga yang lain. Dan selama ini dia memang telah mendapatkannya. Menginjak saya SMA akhirnya dibolehkan melanjutkan sekolah Chusnil sudah setahun di Batam. Dia pun cepat peroleh pekerjaan. Ibu dan bapak tak ubahnya kehilangan sepuluh anak. Satu-satunya hal paling menggembirakan selama itu adalah saat Chusnil menelpon mereka. Itu jadi pemandangan paling membosankan selama saya SMA.
(Jauh disana, ia bilang bahwa pacarnya hamil dan minta dinikahi. Sedangkan disini ibu-bapak masih begitu mengharap jerih payah hasil keringatnya yang bisa dibanggakan. Kepada tetangga dan juga kerabat lainnya)
Dua tahun sudah Chusnil di Batam. Tidak ada angin tidak hujan tiba-tiba dia bilang mau menikah. Ibu menjadi orang yang paling tidak setuju. Dan saya hanya bisa mengkerutkan dahi saya yang makin lebar saja. Bapak hanya berusaha memberi pengertian kepada ibu. Sebulan setelah mengabari akan menikah, Chusnil pulang ke rumah bersama calon istri dan keluarganya. Pikir saya yang masih SMA, untuk laki-laki seganteng Chusnil mau menikahi perempuan tonggos begitu. Tidak. Rupa gadis itu memang tidak cantik. Pikir saya yang selalu tahu mantan-mantan pacar Chusnil dialah yang paling jelek. Chusnil akhirnya tetap menikah diantara kontroversi bapak dan ibu.
Walau saya tidak begitu dekat dengan ibu, tetapi saya tahu ibu sebenarnya tidak begitu setuju Chusnil menikah dulu. Ibu masih mengharap lebih pada masa depan anak tercintanya. Anak yang selama hidupnya tidak pernah membangkang. Tetapi ibu tetaplah ibu. Dia harus sadar bahwa Chusnil memang sudah dewasa dan berhak memilih jalan hidupnya. Tanggal dan tempat pernikahan sudah ditentukan. Semuanya akan berlangsung di Batam. Seorang ibu yang kecewa akan keputusan anaknya dan tidak pernah tahu mengapa anaknya membelot, ditambah seorang bapak yang tidak tahu harus berbuat apa, pasrah. Setahu saya keduanya tidak datang di hari pernikahan Chusnil di sana.
Selepas SMA, saya putuskan untuk merantau. Apapun yang terjadi saya harus keluar dari kampung ini. Diam-diam saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di berbagai perguruan negeri yang mau menerima. Tanpa menggubris ibu-bapak, saya diterima dan kuliah di Yogyakarta. Saya tidak begitu merasa berdosa pada mereka. Sejak dari kecil saya terbiasa membangkang. Saya kerap diperlihatkan kebohongan-kebohongan yang tersamar; dipercundangi. Saya memang tidak didik menjadi baik. Saya tidak diharapkan ketimbang Chusnil. Tetapi saya merasa menjadi lebih baik daripada Chusnil sekarang. Dia yang diharapkan akhirnya membangkang. Dan saya yang tidak pernah diharapkan rupanya tetap sama di mata ibu dan bapak. Buruk.
(Aku diminta merahasiakan. Ia bilang baru aku yang dikabari. Barangkali ini memang tugas dari adik untuk selalu merahasiakan kesalahan kakaknya. Juga pesan dari kakak untuk tidak meniru perbuatannya)
Selama merantau, setiap kali pulang perlakuan ibu tetaplah sama. Apalagi bapak. Buletin, majalah, buku, dan hasil karya saya, rupanya tidak mampu membuka mata ibu dan bapak saya yang selama ini memandang sebelah kepada saya. Tetangga dan kerabat pun masih sama. Setiap kali bertandang atau berjumpa ada saja yang  mengira saya adalah Chusnil. Saya sering merasa bahwa saya tidak pernah ada di keluarga ini. Atau jangan-jangan memang tidak pernah ada. Saya adalah ilusi. Pula, kalau kebetulan membantu ibu saya di pasar, masih saja ada pertanyaan. “Lhoh Bulek ini siapa? Yang dulu ke Batam itu ya?” Whatever, i do’nt care!
Sudah lima tahun saya di kota ini. Selama itu pula saya tidak pernah mendengar kabar Chusnil lagi. Kecuali dari ibu-bapak dan saat saya pulang. Anaknya sudah dua, katanya. Sedang Chusnil nampaknya mulai lupa saja dengan saya. Kendati tiba-tiba malam ini saya mengingatnya. Saya ingin menyapanya. Selamat malam. Selamat ulang tahun. Rahasiamu tetaplah aman. Kamu akan jadi baik selamanya di mata ibu juga bapak. Maaf telah mengecewakanmu. Serta menuduhmu yang bukan-bukan.
(Setua apapun saya nanti, rasanya saya akan tetap menjadi adik. Adik tidak akan pernah jadi kakak. Dan rahasia tetaplah rahasia. Meski yang meminta menjaganya terkadang sudah lupa)

Sangkalan atas Nisrina Muthahari

/ Jumat, 03 Agustus 2012 /

Cek Go, sebutanmu. Berasal dari kata eceng gondok. Tumbuhan yang hidup di air yang konon dikategorikan sebagai parasit. Julukan itu kamu dapat lantaran kamu mirip sekali dengn karkater eceng gondok yang suka ngikut kemana-mana, asal dapat traktiran. Itu terjadi di komunitas kecil di Ekspresi, khususnya pada divisi redaksi –yang menjadi pihak merugi-. Dan kamu pun nampaknya menikmati julukan itu. Cukup  menjadi sarat register bahasa kan? Yang arbriter (semena-semena) dan konvensional (disepakati bersama).
***
Kritikanmu tempo hari atas tulisan pada blog ini, “Blog isine gur curhatan” rupanya saya perlu menanggapi. Jika disemantikkan secara makro linguistik, dari baris kalimat yang kamu utarakan itu, muatannya cukup berpengaruh lho. Soal kebenaran anggapan, apakah blog saya yang memang isinya cuma curhat? Dan soal istilah “gur curhatan” yang seolah-olah memaknai curhatan itu tidak ada gunanya. Sampah.
Pertama. Terlepas dari ketidaktahuan saya, mengapa tulisan-tulisan itu sampai dibilang curhat? Sebenarnya metode apa yang telah kamu pakai buat menaganalisisnya? Semiotikkah, pendekatan ekspresif, resepsi pembaca, atau entah. Tetapi kemungkinan karena ini soal saya sebagai pengarangnya dan kamu sebagai pembacanya. Besar kemungkinan, teori kedua dan ketiga yang kamu pakai untuk menjustufikasi blog ini.
Saya coba-coba buka buku lama, soal kaji mengkaji sastra. Akhirnya pendapat yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1990) yang saya pungut untuk memungkasi yang soal pendekatan ekspresif tadi; studi kaji karya sastra ynag menitikberatkan pada pengarang sebagai pribadi yang berkaitan dengan proses kreatif. Mengkaji karya dengan pendekatan apapun, nampaknya memang tidak lepas sepenuhnya dari struktur karya tersebut. Memang, sebagian besar tulisan-tulisan disana memakai point of view “aku” (sudut pandang ke-aku-an). Namun bukan berarti, “aku” disana adalah sejati-jatinya pengarang. Ini hanya soal sudut pandang, sayang. 
Lantas dalam pengertian yang tersirat, bagaimana analisa psikologi pengarang dapat kamu gunakan untuk menginterprestasi dan menilai tulisan ini? Kendati memang dalam menciptakan karya sastra, terkadang ada teori psikologi tertentu yang dimuat pengarang secara sadar atau samar-samar. Jika teori tersebut ternyata cocok untuk menjelaskan tokoh-tokoh dan situasi dalam cerita, apa dasarmu? Karena kamu teman dekatku dan mengerti kebenaran serta latar belakang kemiripan cerita? Kok rasanya internal sekali, ya. Sifat-sifat manusia dalam karya sastra relatif imajiner, lho. Walau di dalam mengambarkan karakter dan jiwa pengarang harus menjadikan manusia hidup di alam nyata sebagai model di dalam penciptaannya.
Kedua. Mungkin saja pendekatan resepsi pembaca yang kamu pakai. Tetapi itupun belum cukup, kataku. Biar saya klasifikasikan dulu jenis resepsi ini agar tidak terkesan serampangan seorang pembaca dalam meresepsi. Pembaca yang merespsi secara aktif dan pembaca yang mersepsi secara pasif.  Secara aktif itu semisal kamu, yang memberi kritik, ulasan, komentar, resensi, atau interkstualitas. Lainnya resepsi pembaca pasif yang tidak bisa diketahui karena mengacu pada bagaimana seorang pembaca dapat memahami suatu karya dan menemukan hakikat estetika di dalamnya (Junus, 1986). Nah, kamu, sebagai pembaca aktif yang telah menilai pastinya punya dasar atas tanggapanmu kan?
Well. Anggap saja itu memang resepsi dari hasil bacaanmu. Pertanyaan berikutnya, jika itu curhatan, njuk ngopo? Seperti di awal, kata tugas yang kamu pakai adalah “gur” (hanya) yang menempatkan posisi tulisan curhat seolah-olah inferior. Begini, kira-kira. Kamu tahu seorang Fidel Castro kan?
Dalam buku berjudul Hari-hari Terakhir Che Guevara, Castro yang juga teman dekat Che, memungkasi sebuah pengantar yang apik. Buku ini, menurut saya terselamatkan kualitasnya lantaran ada secarik pengantar dari Fidel Castro. Di pengantar itu Castro sangatlah berterimakasih kepada Che Guevara atas kebiasaan Che, menuangkan segala kejadian dalam buku kecil. Segala apa yang menceritakan keadaan di tempat pembuangan dituliskan Che dengan sangat rinci. Castro memang tidak memakai istilah “curhatan” untuk memaknai kebiasaan Che tersebut.
Catatan ini bukan dengan tidak sengaja dituliskan oleh Che. Catatan-catatan ini dijadikannya sebagai sebuah panduan, evaluasi konstan terhadap segala kejadian, situasi, dan orang-orang yang terlibat. Catatan ini yang juga membuatnya lebih mampu mengekspresi semangatnya yang membaja, analisis namun diselipi humor-humor yang manis, dan kadang kala sisi kemanusian dari seseorang pemimpin detasemen gerilya juga ia tulis. Semuanya ditulis secara serius sehingga membantu suatu keterkaitan yang tidak terputus dari awal hingga akhir. 
Tetapi tahulah kamu dampaknya, dari tulisan-tulisan kecil seperti itu kita jadi mengerti siapa Che dan seperti apa kiprahnya. Barangkali soal teladan tergantung pembaca mau menirunya atau tidak, tetapi soal resepsi aktif, saya kira tidak ada yang menyangkal kebiasan Che menulis setiap hal yang terjadi semasa ia berjuang.
Tulisan-tulisan Che yang seperti itu sering kubayangkan di jaman sekarang sebagai bentuk ekspresi kebutuhan manusia untuk berbagi pengalaman pada sebuah tulisan. Andai saja ada situs sosial macam blogspot, twitter atau facebook yang bisa diakses waktu itu, tidak menutup kemungkinan Che juga akan update status atau nge-blog setiap hari, soal bulan-bulan terakhir hidupnya di Bolivia yang sungguh heroik itu, mungkin!
Adalagi R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Saya menilai ini juga bentuk semacam “curhatan” seorang perempuan agung lewat surat-menyurat kepada nona-nona Belanda. Tentulah “curhatan” disini bukan semata berisi keluhan yang mengharu-biru melainkan pemikiran-pemikiran Kartini perihal nasib wanita-wainta Indonesia pada masanya. Jadi apa kamu masih menganggap “gur curhatan”? sebaiknya mulai cari definisi kata “curhat” yang tepat, sayang.
***
Belakangan ini aku dengar istilah Cek Go kamu selewengkan menjadi Cek Gu. Sapaan khusus dalam serial kartun Upin dan Ipin yang ditujukan pada ibu guru. Seorang pengajar yang bijaksana dan rendah hati. Itu lantaran kamu menjadi PU Ekspresi. Dan anehnya anak-anak baru yang tidak mengerti terminologinya manggut-manggut saja. Dalam kasus ini, bukan saja itu nihil maksud. Penggeseran dari istilah Cek Go menjadi Cek Gu. Tentu kamu ingin memperbaiki citra kamu apalagi posisimu waktu itu sebagai pimpinan utama.

 

Memang tidak Berjudul

/ /
Tidur membuatmu tampak buruk. Bunyi dengkur dengan mulut menganga benar-benar melenyapkan ketampananmu. Orang bilang, kehidupan seseorang bisa dilihat dari cara tidurnya. Belum lagi liur yang kadang kali menderas yang buru-buru kau sesap dan lap saat tidurmu terusik. Seolah-olah kau orang yang sangat melarat. Aku benar-benar kurang menyukaimu saat tidur. Tetapi itu tidak elaknya kau lakukan sepanjang hari saat menyambangi kamarku. Aku memang teman tidurmu, katamu. Teman tidur yang sebenarnya cuma istilah. Nyatanya kita tidak pernah sekalipun tidur berdua. Kalaupun bersama, satu diantara kita, ada yang tidak tidur atau bahkan kita tidak tidur sama sekali sepanjang hari. Aku sebenarnya menikmati waktu saat kau tidak tidur. Aku bisa melihati senyummu yang manis dan lesung pipit yang samar-samar. Kau akan membaca dan menulis. Aku menonton tivi atau memetak-metak selular saja. Tentu di sela-sela itu ada kopi dan rokok yang mempertemukan detak kesibukan kita.
Aku suka saat mengetahuimu sudah bangun tidur. Biasanya aku menwarkan ciuman menyambut bangunmu. Namun pasti kau buru-buru menolak dan bilang bahwa mulutmu sedang bau. Lalu kau memilih menjerang air panas dalam gelas sembari memulai pembicaraan dengan nada yang serius. Mirip aktivis yang sedang berdiskusi. Untuk menikmati adegan itu, kutanggalkan selularku dan kupelankan volume tivi. Aku memang tidak pernah tahu soal apa bicaramu itu. Entah kutipan teori dari buku entah dari perbincanganmu dengan orang-orang di luar sana atau sekelibat fenomena dari tivi yang kau komentari panjang lebar. Hidupmu memang tidak pernah santai sepertinya.  Setiap hal kau analisis sampai-sampai setiap tindakan seolah punya motif yang negatif. Kau sinis, dan justru itu kau terlihat seksi bagiku.
Sepanjang hidupuku ada dua jenis laki-laki yang membuatku tertarik dan enggan menolak saat aku didekati. Jenis pertama itu sepertimu, serius, cerdas, pantang menyerah, dan tidak anggap perempuan itu cuma teman ranjang dan melulu soal perut. Atau tipe kedua walau akhirnya kerap bikin bosan. Penyayang, perhatian, pengertian, dan begitu mempermasalahkan resiko. Tetapi aku menikmatinya. Dan disitulah terkadang laki-laki tampak bodoh dipelukan perempuan sepertiku. Barangkali, memang terlalu merendahkan bila kusebut kau mendakatiku. Memang tidak, keadaan yang membuat kita tanpa sengaja mendekat. Kebetulan saja, aku orang yang tidak begitu mempermasalahkan hubungan laki-laki dan perempuan. Katamu, di dunia yang masih patriarki begini hubungan laki-laki perempuan begitu dipermasalahkan. Aku bisa saja menjelma sebagai ancaman yang memotong kesucian laki-laki. Layaknya Hawa yang menjerumuskan Adam lewat bujuk rayunya. Atau bahkan aku mahluk yang begitu lemah yang pantas dikasihani layaknya cerita Cinderalla dan segenrenya. Tidak, kau ataupun aku tidak permasalahkan itu.
Namun sudah berbulan-bulan kau tidak menyambangiku lagi. Terakhir kau menghubungiku saat hendak melayap ke ibu kota sana. Dari perkataanmu sepertinya kau sedang memperoleh pekerjaan.  Untuk kurun waktu satu sampai dua minggu saja buat mengisi liburan. Pikirku, kenapa harus kesana? Apa pekerjaan cuma ada di ibu kota? Seolah-olah kehidupan hanya ada di ibu kota sana. Padahal kau pernah bilang, orang yang bisa hidup disana itu cuma ada dua macam. Orang yang mengaku-ngaku paling paham republik dan orang yang tega memakan sesamanya. Tetapi itu tidak kau, jika keingnanmu  bisa dipangkas. Pergilah!
Sebenarnya aku tidak begitu merasa kehilanganmu. Ada banyak lelaki di sekitarku. Si Valin yang setia dan punya pekerti yang baik. Juga si Bayu yang akhir-akhir ini mendekatiku atau juga temanmu, Mas Tohari yang sesekali mengajakku keluar saat situasi begitu penat. Aku juga tidak terlalu merindukanmu. Yang kusesalkan sebenarnya kenapa kau begitu saja melupakanku? Padahal kau bilang yang paling menjijikkan dari sebuah hubungan bukanlah perpisahan melainkan jika keduanya saling melupakan. Sebenarnya ini sebuah surat maka saja tidak berjudul. Aku hanya ingin mengalir dan aku tidak ingin sebuah judul membatasi aliran ini. Kendati aku tidak tahu kemanakah harus kukirim surat ini. Sekian saja. Aku tidak mau dianggap sebagai manusia yang kalah. Manusia yang kesepian dan tidak bisa berdamai dengan kenyataan sehingga terus-menerus mengais kenangan. Selamat malam!
  
 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger