Tiba-tiba saya kepikiran untuk menulis tentang
ibu saya dan kucing-kucingnya. Pikir saya, barangkali mumpung di rumah. Padahal
biasanya saya hanya akan menulis sesuatu ─yang di luar kerjaan saya─ jika sedang galau saja.
Buntutnya, tulisan saya akan seperti apa sudah jelas. Perihal perasaan-perasaan
yang nyaris semuanya tragis, mengenaskan, dan itu membosankan. Tentang
kehilangan, perpisahan, dicampakkan, atau soal air mata rasanya sudah lekat
sekali. Sayangnya, jika sedang di rumah kegalauan macam demikian rupanya tidak
mampu menembus genteng dan dinding pertahanan rumah saya. Bisa dijamin, saya
anti galau jika di rumah. Entah itu soal wanita, perihal finansial, tentang
perkerjaan, apalagi skripsi.
Bukan cuma itu, saya perrnah menulis soal ibu
saya dan kucing-kucingnya pada waktu sebelumnya. Barangkali karena ketidakmampuan
saya merampungkan dan sampai sekarang masih nangkring di folder pribadi
komputer lipat saya dengan label cerpen. Alur yang tidak terbentuk, konflik
yang kurang memantik suspense apalagi
surprise, hina sekali untuk disebut
cerpen. Selepas dua halaman saya keteteran buat melanjutkannya. Ibu saya
ternyata tidak cukup menginspirasi untuk jadi protagonis yang intens terlibat
banyak hal dengan kucing-kucingnya. Sebab ibu saya orang pasar. Orang yang
paruh waktunya habis di pasar. Pun bapak saya yang dikenal membenci kucing tampaknya
kurang adil jika saya sematkan tokoh berwatak antagonis. Bapak saya memang membenci
kucing. Saking bencinya saya pernah usul kepada bapak untuk memasang gambar
kucing yang dilingkari dan disilang. “Cat, Don’t Enter” pada pintu kamarnya.
Tetapi tidak berlebihan adanya. Saya pernah melihat sendiri bapak saya memberi
makan kucing sewaktu ibu saya sakit.
Kendati demikan kedua belas kucing yang ada di
rumah tidak satupun lolos dari gajulan kaki bapak kala muntab. Saya yakin
semuanya pernah merasai. Yang kuning, yang hitam, yang putih, yang hitam putih,
yang kuning putih juga yang bolang tiga. Tapi dalam lubuk hatinya yang paling
dalam, sebenarnya bapak menyayangi kucing-kucing itu.
Begitulah kondisi keluarga saya. Penghuninya
hanya bapak saya, ibu saya, dan saya sendiri. Tetapi saya tidak masuk dalam
hitungan penghuni tetap. Sebab seluruh waktu saya habis buat bermalas-malasan dan
jadi pecundang di Jogja. Pulang ke rumah rata-rata sebulan sekali dengan
menghirup udara di rumah paling banter seminggu. Hampir lima tahun saya
berstatus penghuni tidak tetap di rumah saya sendiri. Itu artinya hanya ada
bapak, ibu dan dua belas kucingnya yang memenuhi rumah tiap harinya.
Selama saya hidup. Mulai masih nangisan,
ngompolan, ingusan sampai kumisan saya selalu hidup seatap dengan kucing.
Perihal kenangan beserta mitos-mitos yang berseliweran soal kucing tentu ada. Waktu
masih ingusan ibu saya sudah mengasuh kucing. Saya lupa jumlahnya tetapi saya
mulai bisa mengidentifikasi kalau mahluk hidup yang begituan disebut kucing. Lantaran,
kucing adalah mahluk kesayangan seorang nabi akahir zaman. Entah ibu saya
dengar dari mana, kebetulan ia yang mengidola berat si nabi itu kurang total
nampaknya jika ibu tidak ikut menyukai apa yang jadi kesukaan idolanya itu.
Tidak cuma itu, kucing katanya pembawa rejeki.
Bukan, bukan seperti tuyul. Maksud ibu, kucing mendoakan siapa saja yang
berbelas kasih kepadanya biar rejekinya lancar dan penolak balak. Entahlah
sudah kubilang ini segenre dengan mitos tapi apa lacur ibu saya kadung mencintainya.
Tidak maslah bagi saya toh tidak merugikan orang lain, itu saja. Jadi sampai
sekarang saya tidak pernah sudi mendebatnya.
Ada lagi, ibu saya mengembangbiakkan kucingnya
lantaran ia terkadang kesepian di rumah sendiri. Ini juga baru saya tahu dari pengakuan
ibu sendiri akhir-akhir ini. Katanya, jika sedang tidak ada orang di rumah
(saya kira memang sering tidak ada) ibu selalu mengajak ngobrol kucing. Entah
seperti apa bahasanya tidak perlu dibayangkan. Saya mengartikannya ibu sangat
kesepian. Satu-satunya mahluk hidup yang ada hanya kucing. Pikir saya ketimbang
mengajak bicara kursi atau meja, agak komunikatif dengan kucing.
Kucing-kucing yang ada di rumah memang lebih
dekat dengan ibu saya ketimbang yang lainnya maupun sesamanya. Buktinya dimanapun
ibu saya berada, selama di lingkungan rumah sudah pasti ada beberapa ekor
kucing yang membuntutinya. Bahkan dari cerita ibu, jika kebetulan ada salah satu
kucing asuhannya sedang di luar dan melihat ibu saya entah dari pasar entah
dari toko sebelah rumah, sudah pasti kucing itu akan mengekor di belakang ibu
saya sampai tiba di rumah layaknya ajudan. Bedanya kucing ini mungkin hanya
menagih makan.
Soal hubungan bapak saya dengan kucing
nampaknya tidak perlu saya tulis detil. Selain mengingkari judul, kucing-kucing
di rumah sudah pasti tidak suka dengan bapak. Dan bapak mungkin saja suka,
tetapi dasar kucing yang mungkin tidak mampu merasakannya. Buktinya, bapak saya
kerap ngepel lantai, nyuci karpet saat ada kotoran kucing. Walau memang
serapahnya terkadang membuat bulu kuduk kucing bergidik. Selabihnya bapak saya
hanya mungkin memberi makan saat tertentu saja, selebihnya lagi abai, tidak
peduli berapa jumlahnya, tidak acuh berapa yang ikut makan hari ini, atau
kucing mana yang kerap mengeluarkan tahi sembarangan, dan sebagainya dan
sebagainya. Itu bapak saya.
Sedangkan saya, posisinya hanya penikmat. Saya
suka menyentuh bulu-bulunya, memebelai lehernya, mengelus ujung hidungnya yang
basah, dan nikmat sekali jika si kucing berkenan menjilati. Lidahnya keset,
hangat, dan menggelikan. Sekalipun saya tidak pernah memberi makan
kucing-kucing itu saya menyayangi kucing-kucing di rumah. Saya jijik jika harus
meremas-meremas ikan campur nasi. Belum lagi resiko digigit, dicakar, dikoyak
lantaran pada berebut sampai-sampai kalap membedakan mana jari manusia mana
ikan. Itulah kucing, musti ribut dulu saat mau makan juga saat mau kawin.
Saya mulai mencintai kucing juga terhitung
baru. Barangkali setelah ada kejadian-kejadian yang menurut saya berarti. Dan
kebetulan kucing terlibat dalam kejadian itu. Dulu sebelum saya mengenal mana
yang baik mana yang tidak baik, saya termasuk bocah yang membenci kucing. Lebih
dari membenci mungkin. Saya pernah membunuh kucing dua kali. Tidak, tidak
sampai pembunuhan berantai. Itu terjadi karena tidak ada perencanaan
sebelumnya.
Pembunuhan pertama sewaktu saya bangun tidur.
Seingat saya di dapur ada jobong, kompor tradisonal berbahan bakar kayu dan
saya kerap berapi-api di depannya. Mencari kehangatan sambil melihati api yang
melahapi kayu-kayu dalam jobong. Tiba-tiba ada anak kucing dengan santainya
duduk membelakangi saya di depan jobong mungkin berapi-api dan mencari kehangatan.
Tanpa pikir panjang anak kucing itu saya raih lehernya dan saya lempar ke dalam
jobong. Ibu saya yang tengah memasak lantas berteriak dan meraih si anak kucing
dengan kayu. Alhasil anak kucing itu terselamatkan dengan luka bakar yang
sangat serius. Namun nampaknya sebuah pasta gigi yang dileletkan ibu ke tubuh
naas kucing itu tidak begitu membantu dan akhirnya tewas. Sumpah saya masih
bocah waktu itu.
Pembunuhan kedua sewaktu saya pulang sekolah.
Saat itu saya dan beberapa teman saya melihat seokor anak kucing yang sumpah
mati, parasnya jelek sekali. Mukanya rembes, matanya penuh sethel baik yang sudah mengering ataupun masih basah. Kegilaan kami
yang waktu itu masih bocah tak kenal kompromi apalagi pengampunan. Tiba-tiba salah
seorang teman saya menendang kucing itu sampai terpental beberapa meter. Entah teman
saya sedang berhalusinasi mempraktekkan gaya tendangan Kojiro Hyuga, tokoh
kartun anak serial Tsubasta yang terkenal dengan tendangan macannya atau entah
saking bencinya. Kucing yang tidak berdaya sebelumnya itu tambah semaikn tidak
berdaya lagi, terkapar dan mungkin sekarat.
Saya yang tidak mau ketinggalan menghampiri
kucing itu. Mengambil satu batang sapu lidi. Sumpah bagian ini perlu disensor.
Intinya kami bertiga meninggalkan anak kucing malang itu dalam keadaan mulut
menganga dan sapu lidi tembus sampai anusnya. Innalillahi.
Menginjak remaja, saya baru menyukai kucing.
Ceritanya, sewaktu bulan puasa, selepas sahur saya menonton tivi di ruang tamu.
Tertidur, di atas kasur lantai dan beberapa kucing di samping saya. Bahkan
salah seekor diaantranya tidur di atas perut saya. Kucing memang senang tidur
di atas perut manusia, mungkin karena berdenyut-denyut naik turun, empuk dan
hangat tentunya. Dan seekor satunya tidur di bagian bawah selangkangan saya
yang terbalut sarung. Tiba-tiba kucing yang tidur di selangkangan saya itu meraung-meraung
dan mencakar pangkal paha saya. Rasanya geli dan lama-lama menyakitkan. Saya
terbangun dan melihati kasur lantai dekat kaki saya sudah terbakar dan berasap.
Saya lantas bangun dan memanggil ibu saya. Kasur lantai itu hampir separohnya
terbakar. Penyebabnya mungkin obat nyamuk sisa semalam yang menyelet kasur.
Sumpah saya tidak bisa melupakan kejadian itu.
Apalagi ibu saya mengaimini teorinya seolah kucing memang mampu mencegah
kesialan. Sejak saat itu saya mulai peduli kucing dan bahkan tidak bisa tidur
jika tidak ada kucing di samping saya. Mungkin karena perasaan cemas. Saat
tidur akan lebih nyaman jika ada yang menjaga, pikir saya walaupun (cuma) kucing.
Untuk mengapresiasi lebih lanjut apa yang telah
dilakukan kucing-kucing saya di rumah, saya memutuskan untuk memotretnya dan
menguploadnya. Sekenanya karena dari dua belas kucing itu tidak semuanya
bersedia di potret. Dan satu lagi saya baru menyadari betapa kami sekeluarga
tidak pernah sekalipun memberi nama yang pasti. Yang melekat pada personal
masing-masing kucing. Terlalu banyak mungkin atau bentuknya sama. Dari kedua
belas kucing cuma ada warna-warna dominan, diantaranya; kuning, putih, hitam,
dan bolang telon atau perpaduan dari tiga warna. Hitam putih dan kuning.
Berikut mereka-mereka itu kendati jumlahnya
tidak dua belas paling tidak mewakili komunitas kucing yang pernah hidup dan sekarang masih hidup di rumah saya
beserta nama-nama yang kesemuanya belum disepakati secara masif oleh keluarga saya pun kucingnya.
Yang ini namanya Entis, bolang tiga namun dominan hitam. Betina, muda, gesit, lincah, dan agak jaim dengan orang. Ibu saya terbiasa memanggilnya, Tis tis tis...
Ini Momot, cadas, ketus, jutek. Pejantan yang kurang tangguh. Jarang pulang namanya atas usulan saya bebeapa hari lalu lantaran mirip kucing yang pernah saya pelihara waktu semester dua. Pernah mencoba dipanggil Mot, dan tidak ada respons yang berarti. Kendati ibu saya mengeneralisir semua kucing dengan panggilan Pus.
Sementara kucing ini paling tua. Pejantan tangguh, besar, sering terlibat pertarungan, penakluk betina (nampaknya). Jarang pulang, sekali pulang (cuma) buat makan dan sekali makan tidak senang diganggu. Namanya Basir, inspirasi dari tokoh tritagonis dalam film Misteri Gunung Merapi.
Sekilas kucing ini menyeramkan. Diantara beberapa kucing yang ada ini satu-satunya yang saya suka. Bulunya halus, bola matanya bening. Soal makanan kucing cenderung qona'ah. Sampai sekarang belum menemukan nama. Sementara ada ide untuk memanggilnya Temi, variasi bahasa dari item atau hitam.
Ini si nyonya besar. Rutin bikin anak. Beberapa kucing yang tersisa adalah keturunannya kecuali Basir. Tukang tidur. Ranjangnya di sofa dan di kasur lantai. Tidak bernama.
Ini juga tidak bernama. Kelirnya mirip Momot. Tidak akan protes seandainya kucing ini dipanggil Momot. Penunggu rumah. Jarang keluar, teman menonton teve yang nyaman.
Kucing ini kesukaan ibu saya. Diberi nama Cipluk. Kucing ini yang pertama kali punya nama mungkin. Diambil dari nama penyiar radio FM R2B. Saluran radio yang mempunyai acara Asbak (Asal Tebak) dengan pembawa acara bernama Cipluk. Kucing ini betina yang cantik. Daerah kekuasaanya adalah kamar ibu saya.
Yang kuning ini anak-anak. Tidak bernama. Crewet. Kurang akrab dengan manusia. Lebih sering tidur dengan ibunya. Seperti yang saya bilang si nyonya besar itu gemar tidur. Kalau kebetulan dengan anaknya si nyonya besar akan tidur di kasur lantai.
Ini juga anaknya si nyonya besar. Tidak bernama.
Kucing-kucing ini memilih bermalas-malasan. Cukup jadi pemcitraan dari keluarga kucing yang harmonis.
Keturunan dari si nyonya besar. Awal kelahiran ada tiga. Warnanya hitam. Saat usianya beberapa hari ditemukan meninggal dengan luka gigitan di leher. Konon si Basir yang membunuhnya. Kebiasaan kucing paling bar-bar setahu saya ya semacam ini. Pejantan biasanya menerkam anaknya sendiri hingga tewas.