Cerita untuk Kawan Lama

/ Senin, 26 November 2012 /


Berapa tahun tidak bersua bung, menyeruput cairan hitam berampas penuh kafein, meremah kacang kulit, membakar tembakau, dan membincang tentang malam. Ah paling-paling kau sudah lelap meniduri istrimu atau malah meninabobokan anakmu. 
Tidak ada balasan atas SMS yang kukirim itu. Malam semakin larut. Angin menggoyang-goyang pohon sirkaya. Daunnya merayap-rayap atap kamar dari seng. Mirip suara seorang nenek tua yang sedang menyapu pelataran kosan kita saat pagi buta.
Aku masih duduk di kursi kayu sepanjang satu setengah meter itu bung. Kursi yang pernah kau balut cat warna merah yang katamu sesuai warna khas partai politik kebanggaanmu. Katamu sebuah warna yang melambangkan keberanian, ketegasan. Dan seorang pemimpin perlu itu, katamu. 
Iya, kau sangat gemar membincang politik. Bahkan jika aku sampai terkantuk-kantuk kau dengan sergap menyedu kopi dalam gelas dari sisa kopi sebelumnya. Katamu, agar aku tidak megantuk. Maklum kau mahasiswa Sospol, dan aktivis kampus. Sedang aku mahasiwa kupu-kupu di sebuah unversitas kurang terkenal yang basisnya mencetak calon guru.
Aku masih ingat beberapa petuahmu, bung. Jadilah mahasiswa yang berani, berjiwa sosial, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Petuah itu selalu kau sampaikan sebagai obrolan malam kita. Pohon sirkaya itu saksinya, kursi kayu ini mungkin juga.
 
Suaramu lantang, tanganmu menggenggam, jiwamu seakan berkobar, menyala-nyala diantara gelap malam dan lelap orang. Lagu darah juang, kau ingat? Bukankah itu playlist andalanmu. Sampai-sampai kau tidak melirik lagu-lagu lain. Kau bahas satu persatu baitnya. Kau pungkasi maknanya. Garis bawahnya adalah kebobrokan negara ini.
 
Ah aku benar-benar rindu obrolan itu. Tak kudapati lagi disini bung. Sebuah kos baru yang penuh orang-orang tak doyan berbincang sepertimu. Entah kenapa aku sampai mendamba yang demikian. Nyatanya aku sering stres. Berpeluh sendirian mengumpati pemerintah yang bobrok itu.
 
Geram saat kudengar kabar demikian. Tentang korupsi, tentang harga sembako yang naik, tentang penindasan dan sebagainya. Kau dimana bung? Aku tak pernah benar-benar tahu keadanmu. SMS ku juga jarang kau balas. Ku telpon, operator bilang kau reject.
 
Aku sering membayangkan dirimu duduk di senayan bung. Dikursi empuk melingkar yang bikin kantuk setiap orang yang duduk di atasnya. Kau memakai jas, berdasi dan mengendarai mobil jenis camry.
“Disana itu seperti lingkaran setan,” ujarmu sambil mengelap kacamatamu. Apa kau sudah duduk di lingkaran setan disana bung? Siapa yang benar malah akan terbuang. Semoga saja tidak. Lekas, semoga idealismu tak luntur semudah itu. Bukankah kau pernah jadi buronan Orde baru. Katamu hanya karena memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sudahlah bung dimanapun kamu tidak masalah besar bagiku. Harapku, idealismu tak luntur di sana di gendung dengan lingkaran setan itu.

Ha? Idealisme? What he fuck..

jangan bicara soal idealisme
mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
atau berapa dahsyatnya ancaman 
yang membuat kita terpaksa onani

Iwan Fals - Jangan Bicara


aku, malaikat, dan setan

/ /

/1/
ini malam keberapa, tanyaku pada malaikat
entahlah, yang pasti kalian masih bungkam
dan memilih untuk saling munafik, sela setan
diam kau setan, tahu apa kau tentang munafik
malaikat, tapi aku mencintainya
bukankah itu memang watakmu hai bajingan, hardik setan
ia sepertinya juga mencintaimu, hibur malaikat
benarkah, aku juga merasakannya
matanya beda, senyumnya juga mesra
lantas kenapa tidak kau sikat saja, setan bicara
apa kata hatimu, tanya malaikat
hatiku tidak berkata apa-apa, malaikat
kali ini aku benar-benar buta
bimbang, dan takut, begitulah malaikat
basa-basi, sindir setan
laknat kau setan
aku tidak suka basa-basi
begitu pula ia
lalu apa yang kau bimbangkan, malaikat bertanya
keabadian, malaikat
siapa peduli keabadian, setan meragukan
aku, setan terkutuk
memangnya apa yang kau takutkan
aku tidak ingin jauh dengannya
sekarang, besok, lusa, dan selamanya
aku mencintainya malaikat, seperti kau tahu bukan
cinta macam apa ini, pancing setan
dengar malaikat, setan menanyaiku demikian
lantas kujawab apa
cinta monyet, cinta sejati, cinta abadi,
aku tak mengerti definisi cinta
aku merasa nyaman dengannya
malaikat, kau jangan melulu tanya
memang ia bisa apa, bisik setan
kenapa kau diam malaikat
bukankah langit yang mengenalkan aku dengannya
dan bumi telah mempertemukan
dan kau perantaranya
kenapa malaikat, kenapa
barang kali itu hanya kebetulan, ujar setan, pilon
tidak, ini bukan kebetulan
lalu apa yang kau inginkan, tanya malaikat, lagi
aku ingin bersamanya
selamanya, itu saja
tak peduli hubungan kami apa
enak saja kau, gertak setan
aku tak mau kehilangan dia, malaikat
tolong, tolong aku
jaga ia untukku, agar tidak sepi
agar tidak luka sendiri
malaiakat, aku memohon
aku meminta
dan kau setan, aku tak sudi ikut seruanmu
aku pernah tersesat karenamu



Hi Son, Happy Birthday

/ Selasa, 07 Agustus 2012 /
(Suaranya terdengar parau. Berat seperti ada isak tangis yang tertahan. Jauh di seberang sana seseorang kakak sedang menelpon adiknya)
Namanya Chusnil, tetapi seharusnya Husni. Di akte tertulis Husni bukan Chusnil. Entah kenapa belakangan ini nama itu kembali membuatku terusik. Dalam hidup, saya tidak pernah merasa sangat iri kepada siapapun kecuali dengannya. Sejak kecil saya sudah ditakdirkan menjadi adiknya. Selisih umur saya hanya tiga tahun dengannya. Chusnil itulah yang membuat saya selalu kalah dalam hal apapun. Dan saya tidak pernah sempat merasakan yang namanya “ngalah”.
Ketika SMP saya baru menyadari sebabnya. Chusnil memang lebih tampan dibanding saya. Hidungnya mancung hidung saya ambles. Rambutnya ikal. Rambut saya dangkal dengan dahi yang lebar. Kulitnya putih bersih dan kulit saya sawo matang yang kematangan. Kami beda hampir dalam semuanya. Dia terdidik menjadi penurut. Saya pembangkang. Dia memilih menjadi anak yang baik bahkan saya samar antara yang baik dan buruk. Chusnil memang mendapat lebih dibanding saya.
(Malam itu benar-benar hanya ada rindu tetapi abu-abu. Dari seorang adik yang selama hidup hampir tidak pernah merasa punya kakak)
Selepas SMA dia ditawari kuliah oleh ibu-bapak. Sedang saya terancam cukup di SMP. Secara akademik saya memang kurang berkualitas. Rapor saya hampir tidak pernah lolos dari angka merah. Sedang rapor dia yang sudah pasti di perebutkan ibu-bapak nihil dari angka merah. Saya pernah tidak naik kelas. Itu tidak terlalu mengejutkan bagi ibu-bapak. Sebab bebarengan dengan itu rangking Chusnil merosot. Dari pertama menjadi juara ketiga. Kami berdua pun mendapat hukuman. Nitendo dinonaktifkan bapak. Pikir bapak mesin game itu sangat berpengaruh pada prestasi. Padahal saya jarang sekali bisa main nitendo. Sebab Chusnil dan teman-temannya lebih dulu memakainya. “Anak kecil bisa apa? Nonton saja. Tak ajari,” ujar dia dan mengambil alih paksa sticknya.  Kalau sudah seperti itu, saya harus mundur melihati dia dan teman-temannya main mortal combat dengan hati yang ciut.
Tetapi Chusnil masih bisa dapat hadiah. Sebuah komputer yang belum level pantium. Itu pun dari hasil kesepakatan antara bapak dengan dia sebelumnya. Jika juara pertama akan dibelikan motor KTM. Juara kedua diajak ke Bonbin Surabaya plus komputer. Dan jika juara ketiga hanya komputer itulah jadi miliknya. Saya, tidak perlu repot-repot bikin pemetaan macam begitu. Karena memang tidak perlu. Hanya buang-buang waktu untuk sebuah ketidakmungkinan menyabet gelar juara.
(Dua tahun berpisah malam itu kali awal kakak mengkhususkan menelponku. Kali pertama berbicara serius saat kami sudah sama-sama merasa dewasa. Kurang begitu laki-laki rasanya jika ada tangis)
Masa SD saya tandai masa paling kelabu. Saya kerap dibohongi oleh ibu dan bapak. Pada suatu malam saya diminta menjaga rumah. Sedang ibu dan bapak bilang mau pergi ke dokter mengantarkan Chusnil berobat mata. Setahu saya mata Chusnil memang bermasalah. Dia terkena gangguan penglihatan dengan minus 1,5 sejak SMP. Yang mencurigakan, sepulang dari dokter ibu membawa tahu petis, makanan kesukaan Chusnil. Dalam posisi kelas 3 SD, saya sudah tahu kalau tahu petis seperti itu hanya ada di pasar malam. Saya memang kurang suka tahu petis. Saya lebih suka martabak telur yang juga di jual di pasar malam. Saya hanya iri kenapa Chusnil diajak ke pasar malam sedangkan saya tidak. Saya cukup berperasangka baik waktu itu. Barangkali ini memang masih dalam rangka hukuman.
Dari segi ukuran tubuh kami berdua memang relatif sama. Oleh karena itu baju-baju kami pun sama. Tetapi lebih dari pada itu ada hal-hal yang disembunyikan ibu-bapak dari saya. Saya tidak pernah tahu kenapa Chusnil selalu punya jam tangan dan saya tidak. Dia punya sepeda BMX dan saya hanya diperkenankan  mbonceng dia walau itu sangat jarang terjadi. Saya juga tahu, setiap senin dan kamis, sebelum sekolah Chusnil mampir dulu ke pasar buat ngambil jajanan dari ibu. Dan pastilah Rudi tahu kalau setiap senin dan kamis saya harus mbonceng dia ke sekolah lantaran Chusnil ke pasar.
(Ia mengabarkan kepedihan. Kepedihan yang tidak mampu membuat pendendam tega menertawakan lawan. Tidak, ia bukan lawan. Ia kakaku. Saudara sekandungku yang menempati rahim ibuku sebelum aku)
Di tahun yang sama betapa saya baru menyadari ternyata Chusnil adalah anak yang dinantikan kehadirannya. Terlebih ibu saya. Bapak saya seorang duda dengan tiga anak. Dia mengawini ibu saya yang juga janda tetapi belum beranak. Kelahiran Chusnil begitu dinanti karena dianggap bisa menyatukan hubungan ibu dan bapak. Kendati ibu juga kepingin punya anak dari rahimnya sendiri. Sedangkan mungkin kelahiran saya sudahlah tidak diharap. Hanya memperbanyak anak. Dan itulah kenapa saya menjadi yang terakhir di keluarga. Bapak saya merasa, isi rumah sudah bebal dengan anak.
Selepas SMA, Chusnil menampik tawaran buat kuliah. Tentu ibu dan bapak semakin berbangga hati lantaran dia memutuskan untuk bekerja walau serabutan. Dia seperti patut menjadi contoh panutan bagi remaja seusianya, tetangga, dan juga sanak keluarga yang lain. Dan selama ini dia memang telah mendapatkannya. Menginjak saya SMA akhirnya dibolehkan melanjutkan sekolah Chusnil sudah setahun di Batam. Dia pun cepat peroleh pekerjaan. Ibu dan bapak tak ubahnya kehilangan sepuluh anak. Satu-satunya hal paling menggembirakan selama itu adalah saat Chusnil menelpon mereka. Itu jadi pemandangan paling membosankan selama saya SMA.
(Jauh disana, ia bilang bahwa pacarnya hamil dan minta dinikahi. Sedangkan disini ibu-bapak masih begitu mengharap jerih payah hasil keringatnya yang bisa dibanggakan. Kepada tetangga dan juga kerabat lainnya)
Dua tahun sudah Chusnil di Batam. Tidak ada angin tidak hujan tiba-tiba dia bilang mau menikah. Ibu menjadi orang yang paling tidak setuju. Dan saya hanya bisa mengkerutkan dahi saya yang makin lebar saja. Bapak hanya berusaha memberi pengertian kepada ibu. Sebulan setelah mengabari akan menikah, Chusnil pulang ke rumah bersama calon istri dan keluarganya. Pikir saya yang masih SMA, untuk laki-laki seganteng Chusnil mau menikahi perempuan tonggos begitu. Tidak. Rupa gadis itu memang tidak cantik. Pikir saya yang selalu tahu mantan-mantan pacar Chusnil dialah yang paling jelek. Chusnil akhirnya tetap menikah diantara kontroversi bapak dan ibu.
Walau saya tidak begitu dekat dengan ibu, tetapi saya tahu ibu sebenarnya tidak begitu setuju Chusnil menikah dulu. Ibu masih mengharap lebih pada masa depan anak tercintanya. Anak yang selama hidupnya tidak pernah membangkang. Tetapi ibu tetaplah ibu. Dia harus sadar bahwa Chusnil memang sudah dewasa dan berhak memilih jalan hidupnya. Tanggal dan tempat pernikahan sudah ditentukan. Semuanya akan berlangsung di Batam. Seorang ibu yang kecewa akan keputusan anaknya dan tidak pernah tahu mengapa anaknya membelot, ditambah seorang bapak yang tidak tahu harus berbuat apa, pasrah. Setahu saya keduanya tidak datang di hari pernikahan Chusnil di sana.
Selepas SMA, saya putuskan untuk merantau. Apapun yang terjadi saya harus keluar dari kampung ini. Diam-diam saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di berbagai perguruan negeri yang mau menerima. Tanpa menggubris ibu-bapak, saya diterima dan kuliah di Yogyakarta. Saya tidak begitu merasa berdosa pada mereka. Sejak dari kecil saya terbiasa membangkang. Saya kerap diperlihatkan kebohongan-kebohongan yang tersamar; dipercundangi. Saya memang tidak didik menjadi baik. Saya tidak diharapkan ketimbang Chusnil. Tetapi saya merasa menjadi lebih baik daripada Chusnil sekarang. Dia yang diharapkan akhirnya membangkang. Dan saya yang tidak pernah diharapkan rupanya tetap sama di mata ibu dan bapak. Buruk.
(Aku diminta merahasiakan. Ia bilang baru aku yang dikabari. Barangkali ini memang tugas dari adik untuk selalu merahasiakan kesalahan kakaknya. Juga pesan dari kakak untuk tidak meniru perbuatannya)
Selama merantau, setiap kali pulang perlakuan ibu tetaplah sama. Apalagi bapak. Buletin, majalah, buku, dan hasil karya saya, rupanya tidak mampu membuka mata ibu dan bapak saya yang selama ini memandang sebelah kepada saya. Tetangga dan kerabat pun masih sama. Setiap kali bertandang atau berjumpa ada saja yang  mengira saya adalah Chusnil. Saya sering merasa bahwa saya tidak pernah ada di keluarga ini. Atau jangan-jangan memang tidak pernah ada. Saya adalah ilusi. Pula, kalau kebetulan membantu ibu saya di pasar, masih saja ada pertanyaan. “Lhoh Bulek ini siapa? Yang dulu ke Batam itu ya?” Whatever, i do’nt care!
Sudah lima tahun saya di kota ini. Selama itu pula saya tidak pernah mendengar kabar Chusnil lagi. Kecuali dari ibu-bapak dan saat saya pulang. Anaknya sudah dua, katanya. Sedang Chusnil nampaknya mulai lupa saja dengan saya. Kendati tiba-tiba malam ini saya mengingatnya. Saya ingin menyapanya. Selamat malam. Selamat ulang tahun. Rahasiamu tetaplah aman. Kamu akan jadi baik selamanya di mata ibu juga bapak. Maaf telah mengecewakanmu. Serta menuduhmu yang bukan-bukan.
(Setua apapun saya nanti, rasanya saya akan tetap menjadi adik. Adik tidak akan pernah jadi kakak. Dan rahasia tetaplah rahasia. Meski yang meminta menjaganya terkadang sudah lupa)

Sangkalan atas Nisrina Muthahari

/ Jumat, 03 Agustus 2012 /

Cek Go, sebutanmu. Berasal dari kata eceng gondok. Tumbuhan yang hidup di air yang konon dikategorikan sebagai parasit. Julukan itu kamu dapat lantaran kamu mirip sekali dengn karkater eceng gondok yang suka ngikut kemana-mana, asal dapat traktiran. Itu terjadi di komunitas kecil di Ekspresi, khususnya pada divisi redaksi –yang menjadi pihak merugi-. Dan kamu pun nampaknya menikmati julukan itu. Cukup  menjadi sarat register bahasa kan? Yang arbriter (semena-semena) dan konvensional (disepakati bersama).
***
Kritikanmu tempo hari atas tulisan pada blog ini, “Blog isine gur curhatan” rupanya saya perlu menanggapi. Jika disemantikkan secara makro linguistik, dari baris kalimat yang kamu utarakan itu, muatannya cukup berpengaruh lho. Soal kebenaran anggapan, apakah blog saya yang memang isinya cuma curhat? Dan soal istilah “gur curhatan” yang seolah-olah memaknai curhatan itu tidak ada gunanya. Sampah.
Pertama. Terlepas dari ketidaktahuan saya, mengapa tulisan-tulisan itu sampai dibilang curhat? Sebenarnya metode apa yang telah kamu pakai buat menaganalisisnya? Semiotikkah, pendekatan ekspresif, resepsi pembaca, atau entah. Tetapi kemungkinan karena ini soal saya sebagai pengarangnya dan kamu sebagai pembacanya. Besar kemungkinan, teori kedua dan ketiga yang kamu pakai untuk menjustufikasi blog ini.
Saya coba-coba buka buku lama, soal kaji mengkaji sastra. Akhirnya pendapat yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1990) yang saya pungut untuk memungkasi yang soal pendekatan ekspresif tadi; studi kaji karya sastra ynag menitikberatkan pada pengarang sebagai pribadi yang berkaitan dengan proses kreatif. Mengkaji karya dengan pendekatan apapun, nampaknya memang tidak lepas sepenuhnya dari struktur karya tersebut. Memang, sebagian besar tulisan-tulisan disana memakai point of view “aku” (sudut pandang ke-aku-an). Namun bukan berarti, “aku” disana adalah sejati-jatinya pengarang. Ini hanya soal sudut pandang, sayang. 
Lantas dalam pengertian yang tersirat, bagaimana analisa psikologi pengarang dapat kamu gunakan untuk menginterprestasi dan menilai tulisan ini? Kendati memang dalam menciptakan karya sastra, terkadang ada teori psikologi tertentu yang dimuat pengarang secara sadar atau samar-samar. Jika teori tersebut ternyata cocok untuk menjelaskan tokoh-tokoh dan situasi dalam cerita, apa dasarmu? Karena kamu teman dekatku dan mengerti kebenaran serta latar belakang kemiripan cerita? Kok rasanya internal sekali, ya. Sifat-sifat manusia dalam karya sastra relatif imajiner, lho. Walau di dalam mengambarkan karakter dan jiwa pengarang harus menjadikan manusia hidup di alam nyata sebagai model di dalam penciptaannya.
Kedua. Mungkin saja pendekatan resepsi pembaca yang kamu pakai. Tetapi itupun belum cukup, kataku. Biar saya klasifikasikan dulu jenis resepsi ini agar tidak terkesan serampangan seorang pembaca dalam meresepsi. Pembaca yang merespsi secara aktif dan pembaca yang mersepsi secara pasif.  Secara aktif itu semisal kamu, yang memberi kritik, ulasan, komentar, resensi, atau interkstualitas. Lainnya resepsi pembaca pasif yang tidak bisa diketahui karena mengacu pada bagaimana seorang pembaca dapat memahami suatu karya dan menemukan hakikat estetika di dalamnya (Junus, 1986). Nah, kamu, sebagai pembaca aktif yang telah menilai pastinya punya dasar atas tanggapanmu kan?
Well. Anggap saja itu memang resepsi dari hasil bacaanmu. Pertanyaan berikutnya, jika itu curhatan, njuk ngopo? Seperti di awal, kata tugas yang kamu pakai adalah “gur” (hanya) yang menempatkan posisi tulisan curhat seolah-olah inferior. Begini, kira-kira. Kamu tahu seorang Fidel Castro kan?
Dalam buku berjudul Hari-hari Terakhir Che Guevara, Castro yang juga teman dekat Che, memungkasi sebuah pengantar yang apik. Buku ini, menurut saya terselamatkan kualitasnya lantaran ada secarik pengantar dari Fidel Castro. Di pengantar itu Castro sangatlah berterimakasih kepada Che Guevara atas kebiasaan Che, menuangkan segala kejadian dalam buku kecil. Segala apa yang menceritakan keadaan di tempat pembuangan dituliskan Che dengan sangat rinci. Castro memang tidak memakai istilah “curhatan” untuk memaknai kebiasaan Che tersebut.
Catatan ini bukan dengan tidak sengaja dituliskan oleh Che. Catatan-catatan ini dijadikannya sebagai sebuah panduan, evaluasi konstan terhadap segala kejadian, situasi, dan orang-orang yang terlibat. Catatan ini yang juga membuatnya lebih mampu mengekspresi semangatnya yang membaja, analisis namun diselipi humor-humor yang manis, dan kadang kala sisi kemanusian dari seseorang pemimpin detasemen gerilya juga ia tulis. Semuanya ditulis secara serius sehingga membantu suatu keterkaitan yang tidak terputus dari awal hingga akhir. 
Tetapi tahulah kamu dampaknya, dari tulisan-tulisan kecil seperti itu kita jadi mengerti siapa Che dan seperti apa kiprahnya. Barangkali soal teladan tergantung pembaca mau menirunya atau tidak, tetapi soal resepsi aktif, saya kira tidak ada yang menyangkal kebiasan Che menulis setiap hal yang terjadi semasa ia berjuang.
Tulisan-tulisan Che yang seperti itu sering kubayangkan di jaman sekarang sebagai bentuk ekspresi kebutuhan manusia untuk berbagi pengalaman pada sebuah tulisan. Andai saja ada situs sosial macam blogspot, twitter atau facebook yang bisa diakses waktu itu, tidak menutup kemungkinan Che juga akan update status atau nge-blog setiap hari, soal bulan-bulan terakhir hidupnya di Bolivia yang sungguh heroik itu, mungkin!
Adalagi R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Saya menilai ini juga bentuk semacam “curhatan” seorang perempuan agung lewat surat-menyurat kepada nona-nona Belanda. Tentulah “curhatan” disini bukan semata berisi keluhan yang mengharu-biru melainkan pemikiran-pemikiran Kartini perihal nasib wanita-wainta Indonesia pada masanya. Jadi apa kamu masih menganggap “gur curhatan”? sebaiknya mulai cari definisi kata “curhat” yang tepat, sayang.
***
Belakangan ini aku dengar istilah Cek Go kamu selewengkan menjadi Cek Gu. Sapaan khusus dalam serial kartun Upin dan Ipin yang ditujukan pada ibu guru. Seorang pengajar yang bijaksana dan rendah hati. Itu lantaran kamu menjadi PU Ekspresi. Dan anehnya anak-anak baru yang tidak mengerti terminologinya manggut-manggut saja. Dalam kasus ini, bukan saja itu nihil maksud. Penggeseran dari istilah Cek Go menjadi Cek Gu. Tentu kamu ingin memperbaiki citra kamu apalagi posisimu waktu itu sebagai pimpinan utama.

 

Memang tidak Berjudul

/ /
Tidur membuatmu tampak buruk. Bunyi dengkur dengan mulut menganga benar-benar melenyapkan ketampananmu. Orang bilang, kehidupan seseorang bisa dilihat dari cara tidurnya. Belum lagi liur yang kadang kali menderas yang buru-buru kau sesap dan lap saat tidurmu terusik. Seolah-olah kau orang yang sangat melarat. Aku benar-benar kurang menyukaimu saat tidur. Tetapi itu tidak elaknya kau lakukan sepanjang hari saat menyambangi kamarku. Aku memang teman tidurmu, katamu. Teman tidur yang sebenarnya cuma istilah. Nyatanya kita tidak pernah sekalipun tidur berdua. Kalaupun bersama, satu diantara kita, ada yang tidak tidur atau bahkan kita tidak tidur sama sekali sepanjang hari. Aku sebenarnya menikmati waktu saat kau tidak tidur. Aku bisa melihati senyummu yang manis dan lesung pipit yang samar-samar. Kau akan membaca dan menulis. Aku menonton tivi atau memetak-metak selular saja. Tentu di sela-sela itu ada kopi dan rokok yang mempertemukan detak kesibukan kita.
Aku suka saat mengetahuimu sudah bangun tidur. Biasanya aku menwarkan ciuman menyambut bangunmu. Namun pasti kau buru-buru menolak dan bilang bahwa mulutmu sedang bau. Lalu kau memilih menjerang air panas dalam gelas sembari memulai pembicaraan dengan nada yang serius. Mirip aktivis yang sedang berdiskusi. Untuk menikmati adegan itu, kutanggalkan selularku dan kupelankan volume tivi. Aku memang tidak pernah tahu soal apa bicaramu itu. Entah kutipan teori dari buku entah dari perbincanganmu dengan orang-orang di luar sana atau sekelibat fenomena dari tivi yang kau komentari panjang lebar. Hidupmu memang tidak pernah santai sepertinya.  Setiap hal kau analisis sampai-sampai setiap tindakan seolah punya motif yang negatif. Kau sinis, dan justru itu kau terlihat seksi bagiku.
Sepanjang hidupuku ada dua jenis laki-laki yang membuatku tertarik dan enggan menolak saat aku didekati. Jenis pertama itu sepertimu, serius, cerdas, pantang menyerah, dan tidak anggap perempuan itu cuma teman ranjang dan melulu soal perut. Atau tipe kedua walau akhirnya kerap bikin bosan. Penyayang, perhatian, pengertian, dan begitu mempermasalahkan resiko. Tetapi aku menikmatinya. Dan disitulah terkadang laki-laki tampak bodoh dipelukan perempuan sepertiku. Barangkali, memang terlalu merendahkan bila kusebut kau mendakatiku. Memang tidak, keadaan yang membuat kita tanpa sengaja mendekat. Kebetulan saja, aku orang yang tidak begitu mempermasalahkan hubungan laki-laki dan perempuan. Katamu, di dunia yang masih patriarki begini hubungan laki-laki perempuan begitu dipermasalahkan. Aku bisa saja menjelma sebagai ancaman yang memotong kesucian laki-laki. Layaknya Hawa yang menjerumuskan Adam lewat bujuk rayunya. Atau bahkan aku mahluk yang begitu lemah yang pantas dikasihani layaknya cerita Cinderalla dan segenrenya. Tidak, kau ataupun aku tidak permasalahkan itu.
Namun sudah berbulan-bulan kau tidak menyambangiku lagi. Terakhir kau menghubungiku saat hendak melayap ke ibu kota sana. Dari perkataanmu sepertinya kau sedang memperoleh pekerjaan.  Untuk kurun waktu satu sampai dua minggu saja buat mengisi liburan. Pikirku, kenapa harus kesana? Apa pekerjaan cuma ada di ibu kota? Seolah-olah kehidupan hanya ada di ibu kota sana. Padahal kau pernah bilang, orang yang bisa hidup disana itu cuma ada dua macam. Orang yang mengaku-ngaku paling paham republik dan orang yang tega memakan sesamanya. Tetapi itu tidak kau, jika keingnanmu  bisa dipangkas. Pergilah!
Sebenarnya aku tidak begitu merasa kehilanganmu. Ada banyak lelaki di sekitarku. Si Valin yang setia dan punya pekerti yang baik. Juga si Bayu yang akhir-akhir ini mendekatiku atau juga temanmu, Mas Tohari yang sesekali mengajakku keluar saat situasi begitu penat. Aku juga tidak terlalu merindukanmu. Yang kusesalkan sebenarnya kenapa kau begitu saja melupakanku? Padahal kau bilang yang paling menjijikkan dari sebuah hubungan bukanlah perpisahan melainkan jika keduanya saling melupakan. Sebenarnya ini sebuah surat maka saja tidak berjudul. Aku hanya ingin mengalir dan aku tidak ingin sebuah judul membatasi aliran ini. Kendati aku tidak tahu kemanakah harus kukirim surat ini. Sekian saja. Aku tidak mau dianggap sebagai manusia yang kalah. Manusia yang kesepian dan tidak bisa berdamai dengan kenyataan sehingga terus-menerus mengais kenangan. Selamat malam!
  

Variasi Kematian #3

/ Jumat, 20 Juli 2012 /

Aku sekarat. Akhirnya, setelah menunggu waktu kematian yang ternyata datang lebih cepat dari perkiraan. Mulutku berbusa dengan bau apple wine yang kutenggak lima belas menit lalu. Aku tidak menyangka alkohol tolol dan murahan itu yang akan membukakan pintu mautku. Tetapi aku belum mati. Aku hanya tidak bergerak. Terbaring dan nyaris tidak bernafas. Dadaku sangat sesak.
Aku masih limbung dan linglung. Antara aku akan mati dengan variasi kematian yang mana; pertama atau yang kedua? Sebuah cerita pendek soal variasi kematian yang habis kubaca dari Agus Noor begitu mempengaruhiku dalam kesekaratanku. Dia menuliskan hanya habis di bilangan kedua.
Dari ceritanya sebenarnya aku ingin pilih variasi kematian yang pertama. Mati dengan begitu tenang dan bisa direncanakan. Mempersiapkan segalanya sehingga aku bisa mati  dalam keadaan yang menyenangkan. Aku ingin jasadku nanti dalam keadaan tersenyum. Masih tetap tampan dan tidak kurang satu apapun dari anggota tubuhku.
Tidak ada sesal yang terbawa. Pun luka yang terbiarkan menganga. Kehormatan, cinta, dan kasih sayang kita tidak berubah. Berbalik lesat dalam satu penghinaan yang mengganas. Atau jerit tangis orang yang malah merajang duka. Aku bisa pilih dimana tempat aku akan mati. Mengubur jasadku nanti. Aku tinggal berbaring tanpa merasai sakit dicabik-cabik malaikat. Aku juga bisa memakai setelan baju yang sopan saat akan menghadap Tuhan. Dan setelah aku mati orang-orang tidak perlu menangisiku.
Aku pernah bilang padamu bukan? Suatu saat kita akan mengerti. Perih dan pedih ini, hanyalah mimpi masa lalu yang secepatanya akan kita lupakan. Berlalu seperti biasanya, dan Tuhan dengan kuasanya hanya akan menyebut itu sebagai sebuah sepi. Benar-benar variasi mati yang kuidam-idamkan. Aku tidak akan menyesal karena pernah hidup.
Sedangkan variasi kedua adalah pilihan jika variasi yang pertama tidak bisa aku gagahi. Anggap saja variasi yang kedua ini takdir dari sang empuNya kematian. Takdir mana kenal pilihan? Mati variasi kedua ini mati pada umumnya. Aku tidak perlu tahu kapan dan bagaimana aku akan mati. Biar Tuhan saja yang tahu. Semacam rahasia mungkin. Dan rahasia inilah yang seolah membuat hidup manusia ada batasnya. Sampai tiba waktunya nanti malaikat akan mendatangiku. Dengan wujud yang bagaimanapun dan dalam keadaan yang seperti apapun. Aku harus terima.
Aku bisa saja sekarat dan mati dalam keadaan menyesal. Aku menyesal kalau selama ini, waktu kita telah habis buat cari pembelaan sendiri-sendiri. Untuk sejuta alibi yang datang setiap hari. Argumenmu yang menyebabku jadi beranggapan bahwa hidup memang harus berpikir. Lantaran hidup itu rumit. Sedangkan mencari, menjadi sebuah teori yang kamu lupakan dari ingatan-ingatan yang terus dipaksa untuk tangguh. Sampai kita pada kahirnya saling tidak acuh.
Mati dalam variasi kedua ini bisa datang dari arah manapun. Bisa saja tubuhku hancur. Darah dan gumpalan daging tercecer di jalanan. Lalu orang-orang yang tidak pernah kukenal menutupi jasadku yang tidak utuh lagi, dengan dedaunan dan koran-koran bekas. Sementara lalat berkcibak di genangan darahku yang sudah bercampur tanah dan debu jalanan.
Aku tidak pernah lagi sempat bertanya padamu. Apakah setiap hubungan harus dinamai? Tidak cukupkah kita membuatnya bisu? Merangkai kesepakatan yang tidak perlu ditahu orang? Tidak cukupkah hanya kita berdua saja yang menikmati?
Kenapa tidak ada surat lagi? Tidak ada kabar? Tidak ada senyum luka? Tidak ada tatap yang sinis? Tidak ada sentuhan? Seharusnya tidak begini bukan? Atau memang seharusnya begini? Semestinya tidak seperti ini bukan? Atau memang semestinya seperti ini?
Tidak. Aku tidak tahu. Tidak akan ada jawaban karena aku tidak sempat bertanya. Dan orang-orang di jalanan begitu sibuk berbisik atas ketragisan matiku.
Atau bisa saja aku akan mati karena sakit yang berkepanjangan. Terbaring tidak berdaya, mati, dan sekarat di rumah sakit dengan tubuh yang digerogoti penyakit. Koyor, hanya sisa tulang dan kulit. Rambut yang meranggas dan rontok. Atau kulit yang lisut dan kasap seolah hidup yang selama ini terjalani begitu sia-sia. Dan aku akan bertanya kepadamu karena ternyata maut masih memberiku kesempatan.
Tidak bisakah kita mengulangnya lagi kehidupan kita yang kemarin? Memulai dari awal dan memeprbaiki laku kita? Maka aku akan bangkit dari sekarat ini. Kita tinggalkan rumah orang sakit ini. Aku akan lawan yang namanya maut. Aku usir jauh-jauh malaikat maut yang menjelma bangis itu. Baiklah kalau memang itu maumu. Aku akan turuti. Mari kita maknai saja hubungan ini. Tetapi  dengan yang sederhana saja. Dengan senyum saja. Cukup dalam tiap lekuk kening, bibir, dan leher kita tanpa merambah ke yang lain. Bagiamana?
Kenapa kamu masih diam disana? Oh lihatlah aku yang sedang sekarat begini. Dengan lengan yang tertusuk jarum dan selang mengalir dari botol plastik. Beginilah caraku makan selama ini. Aku bahkan sudah lupa seperti apa rasa manis, asam, dan asin. Menyedihkan bukan? Aku tidak mampu melakukan apapun. Sepanjang hari hanya mengingatmu dengan sisa-sisa yang tertinggal. Bau tubuhmu, hingar suaramu, dan degup nafasmu. Jawabanmu masihlah tidak? Sama halnya. Sia-sia. Aku mati dengan harapan yang menggantung.
Lalu orang-orang dekat dengan gampangnya bersedih. Menangis meraung-raung seoalah mereka kehilangan. Belum lagi, namaku akan dibicarakan banyak orang. Yang dekat akan bilang semasa hidupku katanya aku orang baik. Padahal aku telah dipercundangi. Hartaku diperebutkan. Belum lagi berbagai media menyebutkan. Telah meniggal dunia dengan tenang... Anjing, bagaimana ia tahu kalau aku mati dengan tenang? Sungguh aku tidak ingin mati yang begini.
Tetapi, bagaimana kalau aku menciptakan sendiri variasi kematian yang ketiga. Kendati tidak bisa memilih yang pertama dan enggan sepenuhnya merasai yang kedua? Mati dengan variasi ketiga ini barangkali percampuran dari pertama dan kedua. Aku rasai sendiri saat sekarat macam begini. Rasa sakit yang masih bisa kusetir hingga perlahan menjadi nikmat lantaran mengenangmu. Ketika selusur urat leherku seolah terjerat tambang yang kuat tiba-tiba ringan dan terjuntai dengan tenang dan tubuhku melayang akhirnya.
Aku masih sempat berkaca. Tersadar kalau ternyata malam begitu kerap mengumpan janji. Sampai-sampai malam itu kita berciuman begitu lama dan hangat. Kita tergetar kiendati lupa menyebut siapa dan apa kita. Kamu begitu saja terpikat dan aku terjerat.
Maka sudah sepantasnya aku meminta maaf atas keterasingan-keterasingan yang kita perbuat. Memohon ampun untuk kealpaan janji-janji dan aku akan siap buat mencumbui malam dengan impian-impian yang mengabur. Bersama sesak nafas yang sebentar lagi amblas. Aku tidak perlu menghabiskan pikir. Kenapa penyesalan selau di taruh di akhir.
Bisakah kamu agak mendekat? Ayolah, aku ingin begitu lelap detik ini. Tidak kurang tidak lebih. Bolehkah? Aku ingin lelap yang sempurna. Biar kawin denganmu jadi mimpi saja. Terimaksih telah mencitaiku dengan keadaan. Walau itu pahit tapi setidaknya kamu jujur dan tidak mempercundangki habis-habisan.
Aku lebih benci pada orang yang bilang cinta karena ketiadaan. Apanya yang mau dicintai? Sedang tidak ada apa-apa. Tidak ada ketampanan, kekayaan, kepandaian. Ah sudahlah. Sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal, soal variasi kematian yang ketiga ini. Variasi kematian yang paling aku suka. Tapi apa lacur, aku sudah mau mati. Aku mati dulu ya. Selamat pagi. Aku mati setelah mengucapkan selamat ulang tahun pada diriku sendiri.

Wahai maut. Bersediakah kau mengambil sunyiku sekarang? Silakan.

Sepasang Mata yang Lentik

/ Sabtu, 14 Juli 2012 /
Sepasang mata yang lentik itu seolah masih tinggal di sudut kamarku. Terkadang aku mendapatinya saat pagi masih begitu buta, saat mengaduk kopi, mencari korek api atau terkadang sepasang mata yang lentik itu mengintip di balik kepulan asap rokok yang meyembul dari mulutku. Sepasang mata itu juga ada di saat aku memutar lagu-lagu sendu, membaca buku-buku tertentu, menulis, dan saat menggaruk senar-senar gitarku.
Sepasang mata itu kudapati beberapa bulan lalu. Dari tumpukan sampah yang membusuk dan di tepian jalan yang lengang; sepasang mata yang sengaja dibuang pemiliknya. Aku suka pada sepasang mata itu bukan lantaran keindahannya. Aku seperti menemukan gambaran hidup yang senyata-nyatanya hidup saat melihat sepasang mata itu. Kesenduan, keberanian, kasih sayang, keegoisan ada disana. Sepasang mata yang cukup membuat bibirku ketam dan gagu saat mencumbunya. Tapi sepasang mata itulah yang lanjur membuatku jatuh cinta.
Aku tidak tahu mengapa bisa begitu buru-buru jatuh cinta pada sepasang mata itu. Mungkin benar katanya, aku telah mengidap sakit jiwa. Sakit jiwa yang penderitanya mudah sekali melebuhkan cinta. 
"Sepertinya kamu harus segera menikah deh?"
"Kenapa?"
"Kamu kayaknya sudah tidak bisa hidup sendiri," katanya.
"Hemm..."
Aku kecanduan dengan sepasang mata itu bukan lantaran aku tidak bisa hidup sendirian. Menikmati kopi sendirian, merokok sendirian, mendengarkan lagu-lagu sendirian atau bahkan tidur sendirian. Ini semata-mata bukan soal kecamuk ranjang, berkucindan, berdialog dengan bahasa-bahasa yang aneh, menirukan karakter-karakter tokoh terkenal, dan bercinta. Semata kugandrungi sepasang mata itu lantaran aku seolah menemukan sesuatu yang pernah terenggut oleh waktu. Sepasang mata yang saat kutatap, begitu hangat. Rasa rindu masa kanak-kanak nan menentramkan kembali kurasai. 

Hai sepasang mata, apa kabarmu?


Tiga Hari yang Enggan Lupa

/ Senin, 09 Juli 2012 /
Kamu tahu film, The Wedding Date? DIbintangi oleh aktor ganteng Dermot Mulroney dan aktris menggemaskan Debra Messing? Hahaha kurang lazim nampaknya jika aku bilang merasai persis peran Dermot Mulroney disana. Tapi tiada apalah, setidaknya aku ingin bilang padamu seperti itu posisiku tiga hari itu. Jika nanti tulisanku kurang begitu mengabarkan. Barangkali lebih guna kamu simaklah saja film itu. Kendati alur dan ceritanya memang lain dan tidak sama.  
Baik kumulai di hari pertama. Hari dimana aku mulai melibatkan diri kembali pada kehidupanmu; keluargamu. Sebenarnya berat, untuk mengiyakan ajakanmu sebelumnya. Kamu tahu, aku orang yang sulit berdamai dengan masa lalu. Empirisku kerap benar merasai soal masa lalu. Masa lalu bagiku barang usang yang lantak. Sebaik-baiknya orang di masa lalu tidak lebih dari basa-basi di muka saja. Bukankah di awal perpisahan kamu juga seperti itu? Usai putus dengan sisa-sisa perasaan yang terkais masih memberi kabar. Mengobrol luwes, bercerita soal awal berjumpa. Mengajak ngopi, mengorek-ngorek lembar peristiwa dan kenangan, menyenggol-nyenggol kebiasaan yang kerap dilakukan bersama dan sebagainya dan sebagainya. Tapi galib sudah, usai itu yang barang tidak ada sebulan hilang kabar, melenyap dan menggondol berjuta-juta pengharap. Sama seperti yang lainnya. Lusuh dan rombeng.
Dua bulan lebih kita berpisah. Rata-rata saja seminggu  di bulan pertama kamu masih sering tanya kabar. Lalu selebihnya kamu menghilang dari peredaran dan kita saling diam. Lalu berikutnya, di bulan ketiga yang sedang melangkah kamu kembali memberi sinyal. Entahlah, apa yang terjadi padamu. Barangkali kamu begitu terluka, atau barangkali kamu masih memelihara rasa. Aku masih ingat betul suaramu di sebarang sana waktu mengiyakan keputusan itu via telepon. "Tapi dengan satu sarat ya, kita harus tetap menjaga hubungan baik. Kendati bukan yang spesial lagi." Itu malam yang sendu. Sampai-sampai kukunci kamar dan menangis semalaman usai menutup teleponmu. Sejak itu kamu satu-satunya masa lalu yang kuharap akan baik ke depannya.
Itu artinya sudah lama pula aku tidak bertemu keluargamu. Bisa saja mereka menganggapku sudah mati atau sudah lulus sebab tak sekalipun menampakkan batang hidungku, main ke rumahmu. Tidak pernah lagi ikut mancing sama kerabat-kerabatmu atau sekadar nyangkruk dang ngeteh di pinggiran gang rumah pamanmu. Atau memang barangkali hanya wasangkaku saja. Maafkan. 
Begitu ibumu menyapaku air mukaku berubah. Panik. Mengusek-usek rambutku yang sebelumnya sudah kurapikan. Bahkan aku merasa seperti maling ayam yang ketangkap basah dan menunggu digebukin massa. Tapi aneh, raut muka ibumu tetap sama. Menyapa dengan perlakuan yang sama laiknya kita pacaran dulu. Menanya kabar kok sampai lama tidak kelihatan. Diksi dan aksen tutur yang digunakan ibumu juga tidak kasar atawa berlumur benci. Pada akhirnya baru aku tahu ternyata kamu belum bilang apa-apa pada ibumu dan keluargamu soal hubungan kita yang sekarang. 
Baik, aku duduk dijamu ibumu. Kamu belum sampai, masih di dalam taxi menuju rumah. Dari SMS mu menyuruhku untuk berlaku biasa dan jawab saja jika kemarin-kemarin sibuk kerja. Kalau perlu sampai ke luar kota. Fuck, pikirku. Soal bohong pada orang tua sendiri memang kerap. Itupun buat menutupi identitas diri dan buat jaga kesehatan mereka. Tetapi ini orang tuamu, orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kerahasiaan identitasku. Ah sudahlah, semoga Tuhan mencatatnya sebagai bohong yang berkategori baik.Ibumu dan aku bicara banyak hal, termasuk sekenario yang musti kukembangkan sendiri. Aku memllih sekenario yang ke luar kota. Tidak ada tanda-tanda ibumu curiga dan masih percaya kalau hubungan kita tetap bak-baik saja; sebagai pacar. Ibumu lalu mengundangku untuk hadir di pesta pernikahan kakak perempuanmu. Bukan sebagai tamu undangan tetapi tukang rewang. Itu artinya aku musti terlibat selama prosesi pernikahan berlangsung. Dua hari. Oh ya terimkasih juga ajakan nonton bareng final Euro-nya malam itu. Aku menang Bu, aku menaaang...!
 Hari yang kedua. Aku penuhi undangan ibumu. Aku datang dengan kegusaran yang kepalang. Aku berbaur di antara puluhan sanak saudaramu. Yang ini yang itu, tidak  semuanya kukenal. Waktu itu masih upacara seserahan. Penyerahan barang-barang (termasuk mahar) dari pihak lelaki ke pihak perempuan. Kamu tunjuk aku sebagai salah satu pembawa barang bersama keluargamu yang lain. Herannya tidak ada yang memandang penuh tanya siapa aku disana, atau barangkali belum? Bagaimana bisa orang asing terlibat begitu jauh pada ritual sakral keluargamu. Aku tidak tahu, aku menurut saja. Aku bawa barang itu dan melakukan segala tindak-tanduk yang telah diadatkan. Termasuk berbaris rapi dan berjalan menuju ruangan yang penuh sesak dengan orang-orang yang tidak kukenal. Katamu, aku sebagai wakil dari pihak keluarga laki-laki.Ini murni kepura-puraan. Bagaimana bisa ritual sakral begini...? "Diem, namanya juga kepaksa," tandasmu. Pikirku kalau memang tidak mencukupi sarat kenapa musti memilih adat yang begini. Oh dasar adat. Seprangkat norma yang ketat dan mengikat. Baiklah ritual selesai, pihak lelaki sudah menyatakan diri buat melamar pihak perempuan dan pihak perempuan juga menerima lamaran si laki-laki. Lalu apalagi? "Selanjutnya, sesi pengenalan anggota keluarga masing-masing."
Mampus, kata-kata dari  master of ceremony itu bak petir mengganjur kepalaku. Perasaanku kebat. Salah satu pamanmu maju dan muai memperkenalkan satu persatu keluargamu yang hadir. Mulai dari barisan paling ujung ke hilir. Dan aku yang begitu kalang berada di barisan tengah. Nama-nama yang disebutkan berdiri agar keluarga dari pihak laki-laki yang hanya beranggotakan bapak, ibu, dan calon pengantinnya itu sendiri lebih mengenal. Oke, semuanya akan baik-baik saja. Dan memang. Malam itu tidak semua orang yang hadir disana mengerti siapa aku. Sebab aku tidak pernah berdiri dan tidak ada alasan buat brdiri. Barangkali aku hanya menjadi pusat perhatian karena satu-satunya yang duduk.
Hari ketiga. Hari yang paling sibuk. Puncak dari acara pernikahan kakak perempuanmu. Aku datang lebih awal. Aku datang dengan segenap kesiapan untuk asah-asah piring dan gelas. Aku bahkan tidak berjumpa denganmu waktu itu. Aku melihatmu sedang dirias di kamar pengantin. Oh ya, sanggul rambut yang kamu kenakan waktu itu amat padu dengan raut mukamu yang njawani.  Yang nikah siapa yang sibuk dirias siapa. Batinku sambil menyodorkan  traktasi ke kenap tamu-tamu. 
Menjelang sore ibumu menghamipriku. Ternyata ibumu juga dirias, cantik sekali. Hahahahaha. Ibumu memintaku makan. Aku sudah makan tadi. Bareng kru-kru yang lain. Kru listrik, sound sistem, dan kru dekorasi.  Tidak hanya itu, ibumu memintaku untuk jadi pager bagus. Oh shit.. apa lagi ini? Setelah dijelaskan, aku mengerti apa itu pager bagus. Orang yang bertugas mengawal manten menuju pelaminan. Harus berdandan dong? Tentu. Seprangkat sorjan, jarit, blangkon dan pernak-perniknya disodorkan padaku. Sejam lamanya aku berdandan. Bersama anggota keluargamu sebayaku dengan kostum serupa. Mereka juga para pager bagus? Iya, setelah kira-kira delapan orang siap dengan pakaian ala keraton, pesta segera dilangsungkan. Sukurlah ternyata tugas menjadi pager bagus tidak terlalu sulit. Hahaha. Pesta pernikahan dinyatakan usai. Aku dan beberapa keluargamu yang menjadi pager bagus tadi telah beralihfungsi menjadi penjaga buku tamu sebelumnya oh ya kamu juga.
Master of cereomny bikin ulah lagi. "Yang terakhir sesi foto bersama pengantin." Entah kenapa MC itu seperti orang yang paling berkehendak. Apa karena ia satu-satunya yang memegang mic? Ah tidak penting, lupakan. Ia memanggil seluruh anggota keluarga untuk berfoto brsama pengantin. Sebenarnya bukan salah si MC. Melainkan kamu yang buru-buru menggandengku masuk ke ruang pelaminan yang sudah berjejal keluargamu mengantre untuk berfoto. Lagi-lagi setelah MC memetakan giliran keluarga mana yang akan berfoto dengan manten. Dan lagi-lagi aku kebat dengan keluarga yang mana aku harus berfoto. Sedang aku sudah lanjur disana dengan kostum yang seragam. Barangkali akan terulang lagi, aku menjadi satu-satunya orang yang tidak akan berfoto dengan manten.  Tapi kamu menjadi orang paling tahu. Kamu menggandengku maju dan bilang pada MC untuk foto sejoli bareng manten. Kamu bilang pada keluargamu kalau aku calonmu. Dan kita perlu berfoto soal itu. Tidak ada waktu buatku protes. Bahkan kamu tidak meberiku waktu untuk merasakan malu. Buru-buru fotografer mengambil gambar setelah menata formasi yang apik bareng manten. Disinilah yang kumaksud aku merasa menjadi seperti Nick Mercer, yang diperankan Dermot Mulroney dalam The Wedding Date. Entah berapa mata dari keluargamu yang meliahatiku aneh, melihati kita berfoto bersama di depan mereka. Aku dengan sorjan merahku dan kamu dengan kebaya merahmu. Oh ya satu hal yang belum kumengerti, mengapa mereka bertepuk tangan usai kita foto? Hahahaha. 
Langsai sudah, termasuk cibiran dari keluargamu, "cepat nyusul-cepat nyusul" Aku pamit dan kamu meangatarku sampai ujung gang keluar rumahmu. Selain purnama yang mulai tua yang mencacak indah di atas sana ada juga tutur katamu yang merentak pilu. Seakan menghardik ulu hati untuk menjerit."Jadi apa kita pacaran lagi?" tanyamu.

Berdua (saja) dengan Jam Tangan

/ Senin, 18 Juni 2012 /
Jam tangan ini masih kupakai. Jam tangan darimu waktu usiaku bertambah. Kamu berikan dengan malu dan aku terima dengan sipu. Terimaksih. 
"Apa ini?" tanyaku pilon sekali. 
"Buka saja," pintamu genit.
"Jam tangan? Kamu tahu aku tidak suka jam tangan."
"Tapi aku tahu kamu butuh itu," timpalmu.
"Enggak juga, lagian sudah ada jam digital di ponsel."
"Belajarlah menyukai apa yang kamu butuhkan walau itu sedang kamu benci," wejangmu.


Aku terima. Aku pakai di depanmu. Geli rasa tanganku. Aku jarang memakai aksesoris di anggota tubuhku. Risih terkadang. Tapi sudahlah, barangkali aku memang membutuhkan ini. Sampai sekarang masih kupakai jam tangan ini di bagian kanan. 
"Kenapa di tangan kanan?" tanyamu mengheran.
"Memangnya kenapa?" tanyaku balik.
"Kebiasaan, kalau di tanya pasti tanya balik."
"Ya, aku ingin tahu kenapa kamu bertanya begitu?"
"Ingin tahu saja, biasanya kan di tangan kiri," katamu sambil melirik jam tanganmu yang bertengger di tangan kiri.
"Kamu tahu, kenapa orang biasanya memakai di tangan kiri?" tanyaku.
"Kok jadi kamu yang mengintrogasi? Nggak tahu, mungkin lebih nyaman," tukasmu sebal.
"Dulu Ibuku pernah bilang, agama menyarankan manusia agar memakai perhiasan di tangan yang kiri. Banyak alasan memang. Tapi, ada satu gagasan yang menarik menurutku."
"Apa?" tanyamu tidak sabar.
"Sebagai penghormatan tangan kanan kepada tangan kiri. Kita makan pakai tangan kanan, agama menganjurkan itu dan ketika kita beristinja memakai tangan kiri. Biar tidak terkesan tangan kiri itu untuk hal-hal yang menjijikkan  maka sudah sepantasnya diberi perhiasan termasuk jam tangan."
"Gila, rumit sekali. Terus kenapa kamu malah pakai di tangan kanan?"
"Karena aku kidal. Tangan kiriku yang justru merasa harus menghargai yang kanan."
"Kamu kidal? Enggak begitu ah."
"Iya, aku mulai membiasakan hal itu. Misal makan dengan tangan kanan. Ibuku yang meminta. Kidal itu perihal kebiasaan. Entahlah mungkin agama tidak mengenal kidal." 
"Kamu memang rumit. Terserah pakai dimana saja, sesukamu."


Hampir setahun jam itu membersamai tanganku. Seolah bukan lagi aksesoris. Melainkan anggota tubuh. Entah kenpa sampai begitu lekat dengan jam itu. Bentuknya juga biasa. Harganya, katamu juga tidak sampai menguras dompet. Aku juga tidak tahu jam tangan yang bermerk.
"Yang ini bagus nggak"? tanyamu di toko jam tangan waktu itu.
"Bagus. Kamu mau pekek itu?" tanyaku.
"Iya, aku ingin membelinya."
"Kok kayak cowok gitu ya?"
"Memangnya ada jenis kelaminnya?" godamu.
"Terserah deh," responsku kesal.


Baru aku tahu ternyata jam tangan itu buatku. Kamu memang terkadang menyembunyikan hal-hal kecil untuk membuat kejutan. Walau terkadang aku tidak terkejut. Kamu pandai membuatku kesal tapi lebih pandai lagi membuatku girang.
"Hahaha sial, ini jam tangan yang waktu itu."
"Yang mana, yang berjenis kelamin?" godamu.
"Grrrrr....."


Belakangan ini aku suka menyendiri. Menyendiri bagiku adalah kebutuhan. Walau manusia telah ditashih sebagai mahluk sosial, sesosial apapun ia, kukira tetap butuh menyendiri. Merenung, menyesal, mengutuk diri, mengumpat, membatin, dan bahkan bermonolog. Ya aku terkadang bermonolog dengan jam tangan ini. Jam tangan darimu waktu itu.
Di keremangan alun-alun Magelang, gelap malam menyergapku. Remah-remah gerimis membuyarkan ingatanku silam. Tidak kusangka jam tangan itu begitu jelas dan tegas mengukir senyummu yang telah hilang. Senyum yang sudah berminggu-minggu ini melenyap bersama kejutan-kejutan kecil yang membahagiakan. Pergerakan menuju detik mengupas kenangan demi kenangan yang sublim. Lajuan ke menit memantapkan langkah kita yang begitu kokoh ke depan. Indah sekali rasanya.
"Ah.. Oh. Lhoh.." Jam tangan itu meredup.


Segera kuputar satu-satunya tombol di jam itu. Ke arah yang berlawanan. Menuju masa lalu. Barangkali waktu telah melaju begitu cepat. Dan kamu tertinggal disana. Kedua jarum yang lebih panjang berputar balik begitu cepat. Tidak kudapati kamu di angka manapun. Kamu dimana? Kamu dimana? Kamu dimanaaa?
Aku lunglai. Tertampar teriakanku sendiri. Aku pandangi jam itu lagi. Sosok wajah sinis menyapa bengis. Bukan, itu bukan kamu. 
Pukul 21.00. Oh aku ada janji dengannya. Perempuan sinis yang dengannya selanjutnya aku akan berharap manis.



Kala Meradang

/ Sabtu, 09 Juni 2012 /
di pagi yang masih muda keputusan besar telah dibuat
disetempel merah dengan tinta darah merekat
merah, merah, dan begitu merah...
darah dari gumpalan kecewa yang mengeras
dari kemarahan yang menggunung
dari keputusasaan yang nyeri
dari kegairahan yang akhirnya mati
bertubi-tubi
yang dicinta tidak mau mengerti
yang dirindu begitu kaku
yang dinginkan kelewat lalu
padanya kutukan tertuju
berkali-kali
di hidup yang lebih dari dialektika ini
ribuan paradoks berhulu
ada rindu tapi terselip muak
membenci tapi mencintai
mendamba sekaligus ditabukan
ia hidup namun segera mati
terus-menerus
sampai datang suatu pagi
di tepian fajar yang ojok
dengan kilatan murka melecit
bak lecut Mikail
tak ada lagi ragu di persimpangan
tak ada harap yang tersemat
atau pungguk yang merindu bulan
tak ada, tak akan, lagi






Perempuan Tua dan Dua Belas Kucingnya

/ Selasa, 05 Juni 2012 /
Tiba-tiba saya kepikiran untuk menulis tentang ibu saya dan kucing-kucingnya. Pikir saya, barangkali mumpung di rumah. Padahal biasanya saya hanya akan menulis sesuatu ─yang di luar kerjaan saya─ jika sedang galau saja. Buntutnya, tulisan saya akan seperti apa sudah jelas. Perihal perasaan-perasaan yang nyaris semuanya tragis, mengenaskan, dan itu membosankan. Tentang kehilangan, perpisahan, dicampakkan, atau soal air mata rasanya sudah lekat sekali. Sayangnya, jika sedang di rumah kegalauan macam demikian rupanya tidak mampu menembus genteng dan dinding pertahanan rumah saya. Bisa dijamin, saya anti galau jika di rumah. Entah itu soal wanita, perihal finansial, tentang perkerjaan, apalagi skripsi.
Bukan cuma itu, saya perrnah menulis soal ibu saya dan kucing-kucingnya pada waktu sebelumnya. Barangkali karena ketidakmampuan saya merampungkan dan sampai sekarang masih nangkring di folder pribadi komputer lipat saya dengan label cerpen. Alur yang tidak terbentuk, konflik yang kurang memantik suspense apalagi surprise, hina sekali untuk disebut cerpen. Selepas dua halaman saya keteteran buat melanjutkannya. Ibu saya ternyata tidak cukup menginspirasi untuk jadi protagonis yang intens terlibat banyak hal dengan kucing-kucingnya. Sebab ibu saya orang pasar. Orang yang paruh waktunya habis di pasar. Pun bapak saya yang dikenal membenci kucing tampaknya kurang adil jika saya sematkan tokoh berwatak antagonis. Bapak saya memang membenci kucing. Saking bencinya saya pernah usul kepada bapak untuk memasang gambar kucing yang dilingkari dan disilang. “Cat, Don’t Enter” pada pintu kamarnya. Tetapi tidak berlebihan adanya. Saya pernah melihat sendiri bapak saya memberi makan kucing sewaktu ibu saya sakit.
Kendati demikan kedua belas kucing yang ada di rumah tidak satupun lolos dari gajulan kaki bapak kala muntab. Saya yakin semuanya pernah merasai. Yang kuning, yang hitam, yang putih, yang hitam putih, yang kuning putih juga yang bolang tiga. Tapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sebenarnya bapak menyayangi kucing-kucing itu.
Begitulah kondisi keluarga saya. Penghuninya hanya bapak saya, ibu saya, dan saya sendiri. Tetapi saya tidak masuk dalam hitungan penghuni tetap. Sebab seluruh waktu saya habis buat bermalas-malasan dan jadi pecundang di Jogja. Pulang ke rumah rata-rata sebulan sekali dengan menghirup udara di rumah paling banter seminggu. Hampir lima tahun saya berstatus penghuni tidak tetap di rumah saya sendiri. Itu artinya hanya ada bapak, ibu dan dua belas kucingnya yang memenuhi rumah tiap harinya.
Selama saya hidup. Mulai masih nangisan, ngompolan, ingusan sampai kumisan saya selalu hidup seatap dengan kucing. Perihal kenangan beserta mitos-mitos yang berseliweran soal kucing tentu ada. Waktu masih ingusan ibu saya sudah mengasuh kucing. Saya lupa jumlahnya tetapi saya mulai bisa mengidentifikasi kalau mahluk hidup yang begituan disebut kucing. Lantaran, kucing adalah mahluk kesayangan seorang nabi akahir zaman. Entah ibu saya dengar dari mana, kebetulan ia yang mengidola berat si nabi itu kurang total nampaknya jika ibu tidak ikut menyukai apa yang jadi kesukaan idolanya itu.
Tidak cuma itu, kucing katanya pembawa rejeki. Bukan, bukan seperti tuyul. Maksud ibu, kucing mendoakan siapa saja yang berbelas kasih kepadanya biar rejekinya lancar dan penolak balak. Entahlah sudah kubilang ini segenre dengan mitos tapi apa lacur ibu saya kadung mencintainya. Tidak maslah bagi saya toh tidak merugikan orang lain, itu saja. Jadi sampai sekarang saya tidak pernah sudi mendebatnya.
Ada lagi, ibu saya mengembangbiakkan kucingnya lantaran ia terkadang kesepian di rumah sendiri. Ini juga baru saya tahu dari pengakuan ibu sendiri akhir-akhir ini. Katanya, jika sedang tidak ada orang di rumah (saya kira memang sering tidak ada) ibu selalu mengajak ngobrol kucing. Entah seperti apa bahasanya tidak perlu dibayangkan. Saya mengartikannya ibu sangat kesepian. Satu-satunya mahluk hidup yang ada hanya kucing. Pikir saya ketimbang mengajak bicara kursi atau meja, agak komunikatif dengan kucing.
Kucing-kucing yang ada di rumah memang lebih dekat dengan ibu saya ketimbang yang lainnya maupun sesamanya. Buktinya dimanapun ibu saya berada, selama di lingkungan rumah sudah pasti ada beberapa ekor kucing yang membuntutinya. Bahkan dari cerita ibu, jika kebetulan ada salah satu kucing asuhannya sedang di luar dan melihat ibu saya entah dari pasar entah dari toko sebelah rumah, sudah pasti kucing itu akan mengekor di belakang ibu saya sampai tiba di rumah layaknya ajudan. Bedanya kucing ini mungkin hanya menagih makan.
Soal hubungan bapak saya dengan kucing nampaknya tidak perlu saya tulis detil. Selain mengingkari judul, kucing-kucing di rumah sudah pasti tidak suka dengan bapak. Dan bapak mungkin saja suka, tetapi dasar kucing yang mungkin tidak mampu merasakannya. Buktinya, bapak saya kerap ngepel lantai, nyuci karpet saat ada kotoran kucing. Walau memang serapahnya terkadang membuat bulu kuduk kucing bergidik. Selabihnya bapak saya hanya mungkin memberi makan saat tertentu saja, selebihnya lagi abai, tidak peduli berapa jumlahnya, tidak acuh berapa yang ikut makan hari ini, atau kucing mana yang kerap mengeluarkan tahi sembarangan, dan sebagainya dan sebagainya. Itu bapak saya.
Sedangkan saya, posisinya hanya penikmat. Saya suka menyentuh bulu-bulunya, memebelai lehernya, mengelus ujung hidungnya yang basah, dan nikmat sekali jika si kucing berkenan menjilati. Lidahnya keset, hangat, dan menggelikan. Sekalipun saya tidak pernah memberi makan kucing-kucing itu saya menyayangi kucing-kucing di rumah. Saya jijik jika harus meremas-meremas ikan campur nasi. Belum lagi resiko digigit, dicakar, dikoyak lantaran pada berebut sampai-sampai kalap membedakan mana jari manusia mana ikan. Itulah kucing, musti ribut dulu saat mau makan juga saat mau kawin.
Saya mulai mencintai kucing juga terhitung baru. Barangkali setelah ada kejadian-kejadian yang menurut saya berarti. Dan kebetulan kucing terlibat dalam kejadian itu. Dulu sebelum saya mengenal mana yang baik mana yang tidak baik, saya termasuk bocah yang membenci kucing. Lebih dari membenci mungkin. Saya pernah membunuh kucing dua kali. Tidak, tidak sampai pembunuhan berantai. Itu terjadi karena tidak ada perencanaan sebelumnya.
Pembunuhan pertama sewaktu saya bangun tidur. Seingat saya di dapur ada jobong, kompor tradisonal berbahan bakar kayu dan saya kerap berapi-api di depannya. Mencari kehangatan sambil melihati api yang melahapi kayu-kayu dalam jobong. Tiba-tiba ada anak kucing dengan santainya duduk membelakangi saya di depan jobong mungkin berapi-api dan mencari kehangatan. Tanpa pikir panjang anak kucing itu saya raih lehernya dan saya lempar ke dalam jobong. Ibu saya yang tengah memasak lantas berteriak dan meraih si anak kucing dengan kayu. Alhasil anak kucing itu terselamatkan dengan luka bakar yang sangat serius. Namun nampaknya sebuah pasta gigi yang dileletkan ibu ke tubuh naas kucing itu tidak begitu membantu dan akhirnya tewas. Sumpah saya masih bocah waktu itu.
Pembunuhan kedua sewaktu saya pulang sekolah. Saat itu saya dan beberapa teman saya melihat seokor anak kucing yang sumpah mati, parasnya jelek sekali. Mukanya rembes, matanya penuh sethel baik yang sudah mengering ataupun masih basah. Kegilaan kami yang waktu itu masih bocah tak kenal kompromi apalagi pengampunan. Tiba-tiba salah seorang teman saya menendang kucing itu sampai terpental beberapa meter. Entah teman saya sedang berhalusinasi mempraktekkan gaya tendangan Kojiro Hyuga, tokoh kartun anak serial Tsubasta yang terkenal dengan tendangan macannya atau entah saking bencinya. Kucing yang tidak berdaya sebelumnya itu tambah semaikn tidak berdaya lagi, terkapar dan mungkin sekarat.
Saya yang tidak mau ketinggalan menghampiri kucing itu. Mengambil satu batang sapu lidi. Sumpah bagian ini perlu disensor. Intinya kami bertiga meninggalkan anak kucing malang itu dalam keadaan mulut menganga dan sapu lidi tembus sampai anusnya. Innalillahi.
Menginjak remaja, saya baru menyukai kucing. Ceritanya, sewaktu bulan puasa, selepas sahur saya menonton tivi di ruang tamu. Tertidur, di atas kasur lantai dan beberapa kucing di samping saya. Bahkan salah seekor diaantranya tidur di atas perut saya. Kucing memang senang tidur di atas perut manusia, mungkin karena berdenyut-denyut naik turun, empuk dan hangat tentunya. Dan seekor satunya tidur di bagian bawah selangkangan saya yang terbalut sarung. Tiba-tiba kucing yang tidur di selangkangan saya itu meraung-meraung dan mencakar pangkal paha saya. Rasanya geli dan lama-lama menyakitkan. Saya terbangun dan melihati kasur lantai dekat kaki saya sudah terbakar dan berasap. Saya lantas bangun dan memanggil ibu saya. Kasur lantai itu hampir separohnya terbakar. Penyebabnya mungkin obat nyamuk sisa semalam yang menyelet kasur.
Sumpah saya tidak bisa melupakan kejadian itu. Apalagi ibu saya mengaimini teorinya seolah kucing memang mampu mencegah kesialan. Sejak saat itu saya mulai peduli kucing dan bahkan tidak bisa tidur jika tidak ada kucing di samping saya. Mungkin karena perasaan cemas. Saat tidur akan lebih nyaman jika ada yang menjaga, pikir saya walaupun (cuma) kucing.
Untuk mengapresiasi lebih lanjut apa yang telah dilakukan kucing-kucing saya di rumah, saya memutuskan untuk memotretnya dan menguploadnya. Sekenanya karena dari dua belas kucing itu tidak semuanya bersedia di potret. Dan satu lagi saya baru menyadari betapa kami sekeluarga tidak pernah sekalipun memberi nama yang pasti. Yang melekat pada personal masing-masing kucing. Terlalu banyak mungkin atau bentuknya sama. Dari kedua belas kucing cuma ada warna-warna dominan, diantaranya; kuning, putih, hitam, dan bolang telon atau perpaduan dari tiga warna. Hitam putih dan kuning.
Berikut mereka-mereka itu kendati jumlahnya tidak dua belas paling tidak mewakili komunitas kucing yang pernah hidup dan sekarang masih hidup di rumah saya beserta nama-nama yang kesemuanya belum disepakati secara masif oleh keluarga saya pun kucingnya.





Yang ini namanya Entis, bolang tiga namun dominan hitam. Betina, muda, gesit, lincah, dan agak jaim dengan orang. Ibu saya terbiasa memanggilnya, Tis tis tis...




Ini Momot, cadas, ketus, jutek. Pejantan yang kurang tangguh. Jarang pulang namanya atas usulan saya bebeapa hari lalu lantaran mirip kucing yang pernah saya pelihara waktu semester dua. Pernah mencoba dipanggil Mot, dan tidak ada respons yang berarti. Kendati ibu saya mengeneralisir semua kucing dengan panggilan Pus.


Sementara kucing ini paling tua. Pejantan tangguh, besar, sering terlibat pertarungan, penakluk betina (nampaknya). Jarang pulang, sekali pulang (cuma) buat makan dan sekali makan tidak senang diganggu. Namanya Basir, inspirasi dari tokoh tritagonis dalam film Misteri Gunung Merapi.


Sekilas kucing ini menyeramkan. Diantara beberapa kucing yang ada ini satu-satunya yang saya suka. Bulunya halus, bola matanya bening. Soal makanan kucing cenderung qona'ah. Sampai sekarang belum menemukan nama. Sementara ada ide untuk memanggilnya Temi, variasi bahasa dari item atau hitam.


Ini si nyonya besar. Rutin bikin anak. Beberapa kucing yang tersisa adalah keturunannya kecuali Basir. Tukang tidur. Ranjangnya  di sofa dan di kasur lantai. Tidak bernama.


Ini juga tidak bernama. Kelirnya mirip Momot. Tidak akan protes seandainya kucing ini dipanggil Momot. Penunggu rumah. Jarang keluar, teman menonton teve yang nyaman.

Kucing ini kesukaan ibu saya. Diberi nama Cipluk. Kucing ini yang pertama kali punya nama mungkin. Diambil dari nama penyiar radio FM R2B. Saluran radio yang mempunyai acara Asbak (Asal Tebak) dengan pembawa acara bernama Cipluk. Kucing ini betina yang cantik. Daerah kekuasaanya adalah kamar ibu saya.



Yang kuning ini anak-anak. Tidak bernama. Crewet. Kurang akrab dengan manusia. Lebih sering tidur dengan ibunya. Seperti yang saya bilang si nyonya besar itu gemar tidur. Kalau kebetulan dengan anaknya si nyonya besar akan tidur di kasur lantai.



Ini juga anaknya si nyonya besar. Tidak bernama.


Kucing-kucing ini memilih bermalas-malasan. Cukup jadi pemcitraan dari keluarga kucing yang harmonis.






Keturunan dari si nyonya besar. Awal kelahiran ada tiga. Warnanya hitam. Saat usianya beberapa hari ditemukan meninggal dengan luka gigitan di leher. Konon si Basir yang membunuhnya. Kebiasaan kucing paling bar-bar setahu saya ya semacam ini. Pejantan biasanya menerkam anaknya sendiri hingga tewas. 


 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger