Tiga Hari yang Enggan Lupa

/ Senin, 09 Juli 2012 /
Kamu tahu film, The Wedding Date? DIbintangi oleh aktor ganteng Dermot Mulroney dan aktris menggemaskan Debra Messing? Hahaha kurang lazim nampaknya jika aku bilang merasai persis peran Dermot Mulroney disana. Tapi tiada apalah, setidaknya aku ingin bilang padamu seperti itu posisiku tiga hari itu. Jika nanti tulisanku kurang begitu mengabarkan. Barangkali lebih guna kamu simaklah saja film itu. Kendati alur dan ceritanya memang lain dan tidak sama.  
Baik kumulai di hari pertama. Hari dimana aku mulai melibatkan diri kembali pada kehidupanmu; keluargamu. Sebenarnya berat, untuk mengiyakan ajakanmu sebelumnya. Kamu tahu, aku orang yang sulit berdamai dengan masa lalu. Empirisku kerap benar merasai soal masa lalu. Masa lalu bagiku barang usang yang lantak. Sebaik-baiknya orang di masa lalu tidak lebih dari basa-basi di muka saja. Bukankah di awal perpisahan kamu juga seperti itu? Usai putus dengan sisa-sisa perasaan yang terkais masih memberi kabar. Mengobrol luwes, bercerita soal awal berjumpa. Mengajak ngopi, mengorek-ngorek lembar peristiwa dan kenangan, menyenggol-nyenggol kebiasaan yang kerap dilakukan bersama dan sebagainya dan sebagainya. Tapi galib sudah, usai itu yang barang tidak ada sebulan hilang kabar, melenyap dan menggondol berjuta-juta pengharap. Sama seperti yang lainnya. Lusuh dan rombeng.
Dua bulan lebih kita berpisah. Rata-rata saja seminggu  di bulan pertama kamu masih sering tanya kabar. Lalu selebihnya kamu menghilang dari peredaran dan kita saling diam. Lalu berikutnya, di bulan ketiga yang sedang melangkah kamu kembali memberi sinyal. Entahlah, apa yang terjadi padamu. Barangkali kamu begitu terluka, atau barangkali kamu masih memelihara rasa. Aku masih ingat betul suaramu di sebarang sana waktu mengiyakan keputusan itu via telepon. "Tapi dengan satu sarat ya, kita harus tetap menjaga hubungan baik. Kendati bukan yang spesial lagi." Itu malam yang sendu. Sampai-sampai kukunci kamar dan menangis semalaman usai menutup teleponmu. Sejak itu kamu satu-satunya masa lalu yang kuharap akan baik ke depannya.
Itu artinya sudah lama pula aku tidak bertemu keluargamu. Bisa saja mereka menganggapku sudah mati atau sudah lulus sebab tak sekalipun menampakkan batang hidungku, main ke rumahmu. Tidak pernah lagi ikut mancing sama kerabat-kerabatmu atau sekadar nyangkruk dang ngeteh di pinggiran gang rumah pamanmu. Atau memang barangkali hanya wasangkaku saja. Maafkan. 
Begitu ibumu menyapaku air mukaku berubah. Panik. Mengusek-usek rambutku yang sebelumnya sudah kurapikan. Bahkan aku merasa seperti maling ayam yang ketangkap basah dan menunggu digebukin massa. Tapi aneh, raut muka ibumu tetap sama. Menyapa dengan perlakuan yang sama laiknya kita pacaran dulu. Menanya kabar kok sampai lama tidak kelihatan. Diksi dan aksen tutur yang digunakan ibumu juga tidak kasar atawa berlumur benci. Pada akhirnya baru aku tahu ternyata kamu belum bilang apa-apa pada ibumu dan keluargamu soal hubungan kita yang sekarang. 
Baik, aku duduk dijamu ibumu. Kamu belum sampai, masih di dalam taxi menuju rumah. Dari SMS mu menyuruhku untuk berlaku biasa dan jawab saja jika kemarin-kemarin sibuk kerja. Kalau perlu sampai ke luar kota. Fuck, pikirku. Soal bohong pada orang tua sendiri memang kerap. Itupun buat menutupi identitas diri dan buat jaga kesehatan mereka. Tetapi ini orang tuamu, orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kerahasiaan identitasku. Ah sudahlah, semoga Tuhan mencatatnya sebagai bohong yang berkategori baik.Ibumu dan aku bicara banyak hal, termasuk sekenario yang musti kukembangkan sendiri. Aku memllih sekenario yang ke luar kota. Tidak ada tanda-tanda ibumu curiga dan masih percaya kalau hubungan kita tetap bak-baik saja; sebagai pacar. Ibumu lalu mengundangku untuk hadir di pesta pernikahan kakak perempuanmu. Bukan sebagai tamu undangan tetapi tukang rewang. Itu artinya aku musti terlibat selama prosesi pernikahan berlangsung. Dua hari. Oh ya terimkasih juga ajakan nonton bareng final Euro-nya malam itu. Aku menang Bu, aku menaaang...!
 Hari yang kedua. Aku penuhi undangan ibumu. Aku datang dengan kegusaran yang kepalang. Aku berbaur di antara puluhan sanak saudaramu. Yang ini yang itu, tidak  semuanya kukenal. Waktu itu masih upacara seserahan. Penyerahan barang-barang (termasuk mahar) dari pihak lelaki ke pihak perempuan. Kamu tunjuk aku sebagai salah satu pembawa barang bersama keluargamu yang lain. Herannya tidak ada yang memandang penuh tanya siapa aku disana, atau barangkali belum? Bagaimana bisa orang asing terlibat begitu jauh pada ritual sakral keluargamu. Aku tidak tahu, aku menurut saja. Aku bawa barang itu dan melakukan segala tindak-tanduk yang telah diadatkan. Termasuk berbaris rapi dan berjalan menuju ruangan yang penuh sesak dengan orang-orang yang tidak kukenal. Katamu, aku sebagai wakil dari pihak keluarga laki-laki.Ini murni kepura-puraan. Bagaimana bisa ritual sakral begini...? "Diem, namanya juga kepaksa," tandasmu. Pikirku kalau memang tidak mencukupi sarat kenapa musti memilih adat yang begini. Oh dasar adat. Seprangkat norma yang ketat dan mengikat. Baiklah ritual selesai, pihak lelaki sudah menyatakan diri buat melamar pihak perempuan dan pihak perempuan juga menerima lamaran si laki-laki. Lalu apalagi? "Selanjutnya, sesi pengenalan anggota keluarga masing-masing."
Mampus, kata-kata dari  master of ceremony itu bak petir mengganjur kepalaku. Perasaanku kebat. Salah satu pamanmu maju dan muai memperkenalkan satu persatu keluargamu yang hadir. Mulai dari barisan paling ujung ke hilir. Dan aku yang begitu kalang berada di barisan tengah. Nama-nama yang disebutkan berdiri agar keluarga dari pihak laki-laki yang hanya beranggotakan bapak, ibu, dan calon pengantinnya itu sendiri lebih mengenal. Oke, semuanya akan baik-baik saja. Dan memang. Malam itu tidak semua orang yang hadir disana mengerti siapa aku. Sebab aku tidak pernah berdiri dan tidak ada alasan buat brdiri. Barangkali aku hanya menjadi pusat perhatian karena satu-satunya yang duduk.
Hari ketiga. Hari yang paling sibuk. Puncak dari acara pernikahan kakak perempuanmu. Aku datang lebih awal. Aku datang dengan segenap kesiapan untuk asah-asah piring dan gelas. Aku bahkan tidak berjumpa denganmu waktu itu. Aku melihatmu sedang dirias di kamar pengantin. Oh ya, sanggul rambut yang kamu kenakan waktu itu amat padu dengan raut mukamu yang njawani.  Yang nikah siapa yang sibuk dirias siapa. Batinku sambil menyodorkan  traktasi ke kenap tamu-tamu. 
Menjelang sore ibumu menghamipriku. Ternyata ibumu juga dirias, cantik sekali. Hahahahaha. Ibumu memintaku makan. Aku sudah makan tadi. Bareng kru-kru yang lain. Kru listrik, sound sistem, dan kru dekorasi.  Tidak hanya itu, ibumu memintaku untuk jadi pager bagus. Oh shit.. apa lagi ini? Setelah dijelaskan, aku mengerti apa itu pager bagus. Orang yang bertugas mengawal manten menuju pelaminan. Harus berdandan dong? Tentu. Seprangkat sorjan, jarit, blangkon dan pernak-perniknya disodorkan padaku. Sejam lamanya aku berdandan. Bersama anggota keluargamu sebayaku dengan kostum serupa. Mereka juga para pager bagus? Iya, setelah kira-kira delapan orang siap dengan pakaian ala keraton, pesta segera dilangsungkan. Sukurlah ternyata tugas menjadi pager bagus tidak terlalu sulit. Hahaha. Pesta pernikahan dinyatakan usai. Aku dan beberapa keluargamu yang menjadi pager bagus tadi telah beralihfungsi menjadi penjaga buku tamu sebelumnya oh ya kamu juga.
Master of cereomny bikin ulah lagi. "Yang terakhir sesi foto bersama pengantin." Entah kenapa MC itu seperti orang yang paling berkehendak. Apa karena ia satu-satunya yang memegang mic? Ah tidak penting, lupakan. Ia memanggil seluruh anggota keluarga untuk berfoto brsama pengantin. Sebenarnya bukan salah si MC. Melainkan kamu yang buru-buru menggandengku masuk ke ruang pelaminan yang sudah berjejal keluargamu mengantre untuk berfoto. Lagi-lagi setelah MC memetakan giliran keluarga mana yang akan berfoto dengan manten. Dan lagi-lagi aku kebat dengan keluarga yang mana aku harus berfoto. Sedang aku sudah lanjur disana dengan kostum yang seragam. Barangkali akan terulang lagi, aku menjadi satu-satunya orang yang tidak akan berfoto dengan manten.  Tapi kamu menjadi orang paling tahu. Kamu menggandengku maju dan bilang pada MC untuk foto sejoli bareng manten. Kamu bilang pada keluargamu kalau aku calonmu. Dan kita perlu berfoto soal itu. Tidak ada waktu buatku protes. Bahkan kamu tidak meberiku waktu untuk merasakan malu. Buru-buru fotografer mengambil gambar setelah menata formasi yang apik bareng manten. Disinilah yang kumaksud aku merasa menjadi seperti Nick Mercer, yang diperankan Dermot Mulroney dalam The Wedding Date. Entah berapa mata dari keluargamu yang meliahatiku aneh, melihati kita berfoto bersama di depan mereka. Aku dengan sorjan merahku dan kamu dengan kebaya merahmu. Oh ya satu hal yang belum kumengerti, mengapa mereka bertepuk tangan usai kita foto? Hahahaha. 
Langsai sudah, termasuk cibiran dari keluargamu, "cepat nyusul-cepat nyusul" Aku pamit dan kamu meangatarku sampai ujung gang keluar rumahmu. Selain purnama yang mulai tua yang mencacak indah di atas sana ada juga tutur katamu yang merentak pilu. Seakan menghardik ulu hati untuk menjerit."Jadi apa kita pacaran lagi?" tanyamu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger