Saya Memaklumi Perasaan Sersan

/ Selasa, 23 Juli 2013 /
JOGJA- Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi sidang di Pengadilan Militer di Banguntapan. Agendanya mendengarkan keterangan anggota kopassus yang terlibat penembakan empat titipan tahanan di LP Cebongan beberapa bulan lalu. Sejak kasus itu bergulir orang-orang Jogja bahkan Indonesia, disekat pada dua kontradiksi hingga sekarang. Ada yang mendukung aksi satuan kopassus, ada yang mengecam tindakan tersebut. Namun propaganda yang nampak nyaris semuanya berbau dukungan.
Selama hidup, saya baru pertama kali mngunjungi pelaksanaan sidang militer. Jaksa penuntut umum atau kalau di sana disebut oditur sangat berbeda dengan di pengadilan negeri sipil lainnya. Bedanya, oditur ini sangat tegas, formal, teliti, dan introgatif. Tingkat kedisiplinannya pun jauh berbeda dengan kasus persidangan di pengadilan sipil yang pernah saya ikuti. Agenda jam 09.00 ya jam 09.00 tidak ada istilah jam karet, adanya jam besi.
Ketika saya sampai di sana pukul 09.15., ruangan sidang sudah penuh sesak. Saya tidak mengerti dari elemen mana saja. Ormas-ormas yang ada, beratribut beda yang katanya ingin turut mengawal jalannya sidang. Separuh dari ormas-ormas itu berjaga-jaga di luar pengadilan  dan beberapa lainnya turut menyaksiakan sidang. Walau sebelumnya sempat diperdebatkan, tak boleh ada ormas yang mengawal, “Nanti malah bikin rusuh,” kata salah satu angggota DPRD DIJ. Tapi Ormas yang suka teriak “Allahu Akbar-Allahu Akbar” tak ada, atau saya yang tak melihat.
Well tidak masalah. Berbekal kartu pers dan sedikit ubet akhirnya saya bisa masuk dan mengikuti sidang dengan khidmat. Bahkan saya dapat dengan jelas melihat wajah-wajah kopassus yang sebelumnya sempat terbayangkan seperti Sylvester Stallone aktor ‘Rambo’ dan Steven Seagal saat membintangi ‘Hard to Kill’ yang sangat bengis.
Bayangan itu muncul ketika pada suatu pagi empat tahanan titipan di Lapas Cebongan ditemukan tak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Foto-fotonya menyebar di media sosial. Tampak puluhan selongsong peluru yang kalibernya tanggung berserakan menghiasi frame foto. Jasad si mayat rusak parah. Asumsi general pagi itu, Jogja tak aman lagi. Pelakunya pasti bukan orang biasa.
Media panen besar dan sibuk benar. Kasus berdarah itu bak petani memanen padi atau melon segar. Duga-menduga sebagai ciri khas manusia Indonesia pun menyebar. Kabar beredar seperti udara. Di mana-mana orang membicarakan kasus itu. Semakin mengenaskan semakin seru. Orang yang kritis menyalahkan media yang katanya membesar-besarkan. Sedangkan orang yang logis memaklumi bahwa imjanisasi orang Indonesia memang sangat tinggi. Terutama dalam hal bertutur.
Usut punya usut sang pembantai itu pun akhirnya terdeteksi. Kopassus dari satuan Kandangmenjangan Solo pelakunya. Jumlahnya kurang lebih 12. Namun yang hadir di persidangan yang saya saksikan waktu itu, 3 orang. Konon katanya, 12 terdakwa ini memang di sidang di tempat yang berbeda, entahlah. Oh ya, pakainnya hijau tua ketat. Berseragam dan beratribut lengkap kecuali senjata dengan baret merah yang terlipat di pundak. Gagah sekali.
Satu persatu, ketiga tersangka yang hadir saya amati dengan detil. Satu persatu saya pandangi sambil membayangkan sosok Sylvester Stallone tadi. Tiada yang mirip. Wajah-wajah bengis yang saya harap justru tampak karismatik. Mungkin pribadi saya tergolong yang mendukung waktu itu. Macam bocah yang condong ke aktor utama protagonis usai menonton sekuel Rambo 4. Atau para penggila boyband yang menangis histeris pingin ketemu sang idola. Seperti itu, ya hampir seperti itu.
Serda Ucok Tigor Simbolong,
 ada yang bilang dia mirip Ariel,
 hanya saja tidak perawatan
“Serda Ucok Tigor Simbolong,” panggil sang oditur waktu itu. Yang disebut pun menjawab dengan tegas, dengan tenang, dan masih saja karismatik. Dari informasi yang saya ikuti, Sersan Ucok ini disebut-sebut sebagai eksekutor. Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak mendalami kasus ini dari awal. Sebab bukan ranah saya meliput kriminal. Saya hanya mendampingi Mas D., dan bertugas mencarikan foto saja, selain memenuhi hasrat penasaran, dan ingin ketemu sang idola.
Perkembangan kasus itu hanya saya dapat dari Mas D., wartawan spesialis kriminal yang sudah 8 tahun bekerja di surat kabar yang sama dengan saya. Bedanya, saya baru 4 bulan. Kata Mas D., Serda Ucok ini yang mengeksekusi mati empat tahanan dengan senjata laras panjang.
Naluri wartawan untuk menulis apapun yang terasa menarik saya lakukan. Saya kira tak hanya saya yang menulis karena saya bukan satu-satunya wartawan di sana. Saya menulis semua yang dikatakan Serda Ucok, di persidangan waktu itu. Walau tak komplit, inti ceriteranya saya garis bawahi.
Dari kabar yang mas D., ceritakan sebelumnya, kopassus itu membantai empat tahanan dengan sadis. Kabar-kabar seputar penyiksaan sebelum dihabisi nyawanya juga menggetarkan. Ada media yang menulis, beberapa tahanan yang lain disuruh bertepuk tangan saat eksekusi berlangsung. Para penjaga lapas juga diserang, dipopor pakai senjata laras panjang hingga pingsan, dan sebagian lainnya diintimadasi. Bahasa mereka, dilumpuhkan.
Motif pembantaian pun diduga sebagai pembalasan dendam atas penganiayaan anggota kopassus yang dilakukan keempat korban sebelumnya yang berujung maut. Apalagi, sempat dilansir media salah seorang korban, merasa puas bisa membunuh seorang kopassus. Macam anak SMA di Jakarta yang merasa puas usai membunuh. Dan bodohnya kenapa M. Nuh bertanya demikian?
Satuan kopassus yang mendengar sejawatnya dihabisi tak tinggal diam. Dari Solo akhirnya ke Jogja dengan mengantongi jiwa korsa, tak lupa senjata. Kesamaan rasa atas apa yang dialami sejawat dalam sebuah satuan atau organisasi menjadi pemanis tragedi ini. Setidaknya jiwa korsa yang sering diucapkan bocah-bocah pramuka kini diteriakkan oleh orang-orang dewasa.
Mas D., yang biasanya tak banyak bicara menilai, kalau satuan kopassus pasukan elit TNI AD itu sangat berbeda dengan satuan Brimob milik POLRI. Bedanya, jika anggota satuan kopassus terlibat sebuah kasus maka anggota satuan yang lainnya saling membantu dan melindungi. Sedangkan Brimob, kata Mas D., jika anggota satuannya terlibat kasus justru ditinggalkan dan diasingkan. Antarpersonil justru saling pergi dan meninggalkan. “Malah kadang do makakke,” tambah Mas D., yang saya rasa sangat subyektif. Yang POLRI tak perlu tersinggung daripada tak bilang ACAB.
Diam-diam saya mengagumi Sersan Ucok. Entah kenapa saya tiba-tiba melihat seorang pembunuh yang sangat cool dan laki banget. Ah mungkin saya terlalu muda untuk mencicipi kasus ini sehingga yang muncul di pikiran saya, siapa yang pahlawan siapa yang musuh. Seharusnya tidak begitu, biar hukum yang berbicara.
Tetapi mari simak dulu Sersan idola saya itu berbicara.
Sepatah dua patah ucap, ketenangan Sersan Nampak terganggu. Terlebih saat Sersan mengaku tak bermaksud membunuh keempat korban. Saya menangkap kok pengakuan Sersan berbeda dari yang saya harap sebelumnya. Sersan mengaku diserang terlebih dahulu. Sersan panik dan langsung memberondong 2 tahanan yang melawan. “Saya tak bermaksud membunuh saya hanya ingin memberi pelajaran,” ujar Sersan yang membuat saya menelan ludah.
Sersan mengaku diserang dengan kruk (alat bantu berjalan) salah seorang tahanan. Hal itu tentu menepis pemberitaan sebelumnya soal perintah tepuk tangan dan penganiayaan. Sersan membunuh dengan cepat dan tak terencanakan, bahkan. Semakin lama Sersan bercerita semakin hilang pesonanya, setidaknya bagi saya. Logika-logika yang tak sampai menggerogoti simpati saya terhadap Sersan. Ah sial, tulis sajalah.
Usai persidangan keinginan untuk foto bersama Serda Ucok, sirna. Saya kecewa namun paham kondisi sersan. Saya menunduk malu sampai melihat sepatu. Tetiba salah seorang menghentak, “Salam Komando.” Massa yang hadir, hampir seluruhnya menjawab serupa. Nyaris serentak, keras, bertenaga seperti bukan tenaga orang yang sedang puasa. Ruangan menggema. Lagi, disusul kemudian, “Hidup rakyat Jogja” sahutan yang muncul tak seriuh yang pertama. Bahkan banyak yang tidak merespons. Ketiga tersangka sudah masuk mobil tahanan termasuk Sersan.
Barangkali memang massa yang hadir tak seluruhnya orang Jogja. Atau barangkali ada kekecewaan yang mengikis simpati. Ah mungkin perasaan saya saja yang terlalu labil. Saya kembali melihati sepatu, menunduk dan keluar ruangan.
Tetapi seandainya saya bisa mensekenario, saya ingin Sersan tak berbicara seperti itu. Entah mana yang benar. Saya rasa jawaban Sersan tak logis bahkan saya yang masih bocah mengira-ngira. Mana mungkin tahanan itu menyerang terlebih dahulu? Seharusnya yang panik bukan Sersan tapi si korban? Sersan bersenjata, sementara korban hanya pesakitan yang menunggu diproses esok harinya.
Saya terus meraba-raba sampai di balik tujuan omongan Sersan. Mengapa, mengapa Sersan berbohong? Apakah Sersan melakukan itu untuk keringanan hukum? Apakah dia juga disetting? Apakah itu caranya untuk melindungi kesatuannya? Tanda tanya itu melayang, mengabur pada sebuah seminar beberapa hari silam.
Sebelum saya datang ke sini, Ketua Komisi Yudisial dalam seminar yang digawangi JPIP dan USAID pernah mengatakan, untuk membentuk satu orang kopassus, pemerintah menghabiskan dana kurang lebih 6 milyar. OMG, entah benar entah salah, wallahua’lam bisshawab.
Waktu itu saya langsung mentotal, 6 x 12 sama dengan 72 Milyar. Jika sampai 12 anggota kopassus itu terbukti bersalah sama saja pemerintah merugi 72 milyar. Pahitnya, 72 milyar hanya diganti dengan tewasnya 4 preman. Jadi satu preman dihargai 18 milyar. Hey kenapa jadi itung-itungan begini. Kembali melihati sepatu.
Mas D., bertanya, “Dapat fotonya?” saya menggeleng. Anehnya, sebegitu mas D., memaklumi gelengan saya. Mas D., tak kecewa. Bilangnya, “Ya sudah, saya sudah titip teman saya dari Kompas.com kok tadi.”
Saya kembali melihati sepatu.
Di ujung sepatu yang talinya lepas itu muncul bayangan Ketua Tim Penasehat Hukum yang dalam sidang tadi menyatakan, jika tindakan perbuatan kejahatan mendapat tanggapan positif dari masyarakat, pelaku bisa lepas dari tuntutan hukum selama termaafkan.
Artinya kenapa Sersan tak bicara jujur saja, menghabisi dengan berani yang barangkali stigma masyrakat waktu itu mengarah pada anti premanisme. Dukungan jelas mengalir padanya, bahkan sempat digadang-gadang 12 kopassus termasuk Sersan adalah pahlawan dalam memberantas preman.
Pakar Psikolog Forenssik yang juga dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi ahli psikologi atas tiga terdakwa yang berada dalam berkas pertama tersebut malah berasumsi, saat mengeksekusi Sersan sedang mengalami stres disorder.
Kondisi itu bisa saja muncul setiap saat. Satu penyebabnya karena ketiadaan latihan managemen stres. "Sumber-sumbes stres dissorder di militer sangat banyak, misalnya ada tekanan berat, pelatihan fisik yang luar biasa serta masih bayak lainnya," katanya.
Seorang yang melakukan tindakan nekat bisa dikategorikan dalam kondisi stres dissorder. "Melakukan tindakan, tanpa  berfikir jangka panjang, sudah masuk pada sindrom krisis akut, atau berbuat nekat. Setiap orang bisa terjangkit sindrom krisis akut, hanya takarannya berbeda-beda dalam mengendalikannya," tambahnya.
Selain menganggap Sersan stres, pakar Psikolog Forensik itu juga bilang ada kemungkinan kondisi korban juga sedang stres sehingga membahayakan dirinya sendiri. Bahkan Psikolog Forensik itu menganalogikan, ada pria hanya menakut-nakuti seorang wanita yang berada di lantai dua. Pria ini tidak menyentuh sama sekali kepada si wanita tadi. Namun, karena kondisi stres, wanita itu meloncat dari lantai dua dan terluka parah bahkan mati.
Intinya, pakar Forensik itu ingin bilang, situasi krisis akut karena kondisi sesuatu yang tidak terduga atau diperkirakan sebelumnya dapat menyebabkan hal yang tak terduga sehingga berakhir tidak sesuai target.
"Orang seperti itu kalau menjalani perkara hukum harus mendapat keringan karena tidak bermaksud melukai atau membunuh," pungkasnya.
Sesampainya di kantor, saya tidak tahu apa yang harus saya tulis sedang foto pun tak saya dapat. Mungkin saya juga sedang stres sehingga apa yang saya rencanakan berakhir dengan hal yang tak saya duga. Tapi ternyata mas D., tidak stres mungkin karena mas D., sudah terbiasa menyaksikan sidang semcam itu.
Dalam keadaan stres waktu itu saya tetap bisa menangkap apa yang Sersan katakan. Saya cuma ingin bilang, saya paham perasaan Sersan. Anda stres? Saya juga stres. Semua orang stres.




Untung Saja Ponselku Gak Low-Batt

/ Senin, 18 Maret 2013 /

Lebih kurang 235 Km jarak tempuh untuk pulang kampung, sekadar bertemu mamak bapak, dan 12 kucing di rumah.

Ini ke dua puluh tiga kalinya aku pulang kampung, terhitung sejak merantau di Jogjakarta. Sebanyak tiga belas kali naik bus dan sepuluh kali mengendarai sepeda motor. Di antara sepuluh kali mengendarai sepeda motor itu, lima di antaranya aku mengalami kecelakaan. Empat untuk kecelakaan kecil dan satu untuk kecelakaan besar. Sisanya, aku selamat? Tidak juga, jangan girang dulu. Bagiku musibah yang terjadi di jalanan selain lakalantas adalah ketilang polisi. Ya, sisa selamatku dari kecelakaan lalu lintas, empat kalinya aku ditilang polisi. Ironisnya, di tempat yang sama; simpang lima Purwodadi. Benar-benar tupai yang jatuh di lubang yang sama.

Oh ya, soal yang naik bus, alhamdulillah, kata orang Arab, tidak ada insiden yang berarti untuk diceritakan karena aku lebih sering tidur.

Entah kenapa tiba-tiba aku memilih menulis ini untuk duel dengan Ade Rahma bla bla bla. Bukan, bukan soal mudik pakai motor itu membahayakan. Melainkan soal kematian. Aneh, apa hubungannya mudik dengan kematian? Aku yakin tulisan ini  akan tidak bermutu. Pikirku sih, ketimbang menceritakan akitvitas di rumah, akan sangat membosankan. Pun untuk ukuran mahasiswa seakut aku ini, pulang kampung dan menghuni rumah bukan lagi aktivitas yang berharga justru kadang menjadi beban, “Kok ra lulus-lulus Le?” bisik mamak pelan, namun seperti petir yang mengganjur kepala.

Well kita mulai!

Seseorang tentu bisa mati kapan saja, termasuk aku. Di mana saja dan itu seperti rahasia yang bisa datang dengan tiba-tiba. Akhir-akhir ini, aku selalu kepikiran soal kematian. Teman yang mati, tetangga mati, saudara mati, dan bahkan aku. Aku yang akan mati. Bagaimana kalau tiba-tiba aku mati? Sekarang, besok, lusa, tulat, tubin, seminggu lagi, sebulan lagi atau berikutnya? Bagiku tidak masalah dan tidak cukup membuatku resah karena cepat atau lambat setiap yang bernyawa akan mati. Tetapi aku resah dengan apa atau bagaimana aku akan mati? Ditusuk, ditembak, diracun, dicekik, digantung atau dengan apa? Pula bukan soal betapa sakitnya saat sekarat karena menurutku akan sama rasanya.

Lalu kenapa tiba-tiba memikirkan mati? Mungkin karena sebentar lagi aku pulang kampung. Apa hubungannya mati dengan pulang kampung? JALAN RAYA, man! Kamu musti tahu betapa malaikat maut itu banyak yang bertugas di jalan raya. Maut seolah mengintai di balik pepohonan yang ada pinggir jalan, di aspal-aspal berlubang, dan di antara kantuk serta keteledoran para pengguna jalan.

Di tahun ini usiaku dua puluh tiga, man! Usia yang masih muda untuk rata-rata normal hidup seorang manusia. Njuk ngopo? Bukan apa-apa, hanya saja, rasanya kematian sedang memata-mataiku, di saat aku hendak pulang kampung. Mungkin ada baiknya aku menyalahkan berita, terutama televisi. Mengekspose, betapa kecelakaan terjadi bertubi-tubi dan ngeri. Ada yang diseruduk truk dari belakang, di saat asyik menunggu traffic light menghijau untuk giliran jalan. Ada yang karena salah perhitungan menyalip, oleng, terlindas truk, dan sebagainya. Angka kecelakaan begitu tinggi.

Rupa-rupanya ini yang merasuki bawah sadarku untuk memikir soal kematian. Jalan raya kerap menjadi arenanya walau kadang rumah sakit kerap dijadikan pelampiasan. Dan yang lebih astaga, aku pulang kampung dengan kondisi yang kepalang di kepala.

***
Pagi itu, aku mengendarai sepeda motor tua bikinan Suzuki. Motor yang sudah tiga tahun menemaniku ke mana saja, termasuk saat pulang kampung. Kondisi motor, menurut bengkel, sudah layak jalan. Rem masih cakram, rantai bagus, tekanan ban memenuhi standar, dan suspensi motor juga stabil. Jika sedang kebetulan ingin bersepeda, aku cabut dari Jogja pukul 03.00 dini hari. Pukul lima agar aku bisa menikmati nasi liwet khas Kartasura. Pukul 07.00 sampai Purwodadi dan melahap nasi pecelnya yang lezat buat sarapan. Pukul 10.00, jika perjalanan lancar aku mampir Blora, tahu kupatnya sayang sekali untuk dilewatkan. Pukul 11.00, akhirnya sampailah rumah tercinta. Itu artinya, delapan jam, waktu normal untuk sampai rumah, sudah termasuk istirahat dan makan. Rutenya melewati kurang lebih delapan kota, Klaten, Solo, Sukoharjo, Boyolali, Sragen, Purwodadi, Gerobogan, Blora, dan kota tujuan, Rembang.

Pagi itu, rasanya ada yang aneh, delapan jam dan delapan kota jadi tampak mengerikan. Aku men-stater motor dengan berat hati dan ogah-ogahan, tetapi mengingat SMS yang kukirm sebelumnya ke mamak bahwa aku akan pulang hari ini, menuntutku untuk segera meremas gas dan menginjak perseneling gigi. Sebab, selama menjadi pengurus UKM Ekspresi, bisa merencanakan pulang kampung itu ialah hal yang hampir mustahil. Bahkan terkadang rencana pulang hanya jadi ilusi. Alhasil, janji kepada mamak pun kerap teringkari. Maka tersebutlah manifestasi, jika hanya masalah kekhawatiran yang tidak karuan kepalang itu saja, musti kulawan.

Pagi itu, nasi liwet Kartasura jadi kurang menggoda dan terlewati begitu saja. Teh angetnya tidak lagi terbayangkan seperti oli yang melumasi mesin kepanasan, justru malah terbayangkan seperti darah segar yang terkucur, buket, dan anyir. Sebab sewaktu di Klaten tadi, aku sempat melihat kecelakaan. Lebih tepatnya pascakecelakaan, antara vespa dan entah dengan apa. Aku hanya meilhat kondisi vespa reot di tepi jalan yang remang-remang, di antara kerumunan orang yang mulai menyepi. Aku tidak tahu betul bagaimana nasib pengendara. Namun, pemandangan itu cukup membuatku bergidik, merinding, dan memelankan laju motor.

Pagi itu, aku terus mencoba melawan keadaan yang makin tidak kepalang. Pikiran-pikiran soal mati kerap merajai pikiran. Di Sukoharjo, konsentrasi benar-benar buyar. Antara setir, getaran ban, dan jalan bergelombang, kadang tidak terasai lagi. Aku seperti sedang berada di entah, sampai plang bertuliskan menuju Purwodadi kelihatan, dan sontak membuyarkan lamunan. Satu hal yang terpikirkan, memacu laju motor lebih cepat lagi, karena lebih cepat sampai, lebih baik, pikirku.

Setiba di Gemolong (daerah antara Sragen dan Purwodadi) mentari mulai bangun. Sinarnya menembus kaca helm dan mengenai mukaku yang pucat. Kusingkap kaca helm, angin pagi yang segar membelai licik. Sempat terpikir untuk menepi sebentar, di pingiran areal persawahan, membakar rokok, dan menunggu kereta barang, yang aku yakin akan segera melintas. Bayangan akan lanskap desa yang indah sempat menggiurkan. Tetapi, hasrat ingin segera sampai rumah dan pikiran gelap kadung merajai kepala. Membelenggu otak dan hati sehingga aku menjadi manusia yang kesusu.  Manusia yang kata Puthut EA, termasuk Orang-orang yang Bergegas. Orang-orang yang menjalani hidupnya hanya diperbudak waktu, grusa-grusu. Sampai keindahan yang ditampilkan dunia ini jadi tidak penting.

Begitulah, motor kulaju dengan cepat, 100 Km/jam. Setidaknya lebih cepat dari sebelumnya dan parahnya masih dengan pikiran yang sama. Kepalang, ruet, mblundet, dan bau-bau kematian semakin menyengat. Aku bahkan membayangkan sedang mengirim SMS ke rumah, meminta maaf pada mamak karena masih enggan lulus, meminta maaf pada mantan-mantan pacar lantaran pernah menjadi manusia yang tidak baik dalam hidupnya, kepada pemimpin-pemimpin Eksrpresi waktu itu, Anna, Rhea, Habib, Hasti karena tidak dapat lagi memipin Ekspresi. Membayangkan orang-orang yang akan menangis saat pemakamanku. Ah memikir kematian malah membuatku menjadi sepiritualis.

Tet…teet…teeet………
Bbrrruuakkk…

Sebuah bus pariwisata menyerudukku dari belakang. Setelah aku mendadak rem depan rem belakang, guna menghindari aspal yang berlubang. Tubuhku terasa ringan, terhempas, dan terkapar di pinggiran jalan yang berumput. Dari jarak 6 meteran, aku dapat melihat motorku berada di bawah moncong Bus, mesinnya masih hidup, meraung-meraung, dan roda belakang meronta-ronta. Aku melihat bus mundur sedikit. Sudah ada puluhan orang yang berkerumun, berkasak-kusuk, sebagian lagi menyebut-nyebut, mengangkat motorku, memegang leher dan memutar ke kiri kuncinya. Motorku tenang dengan luka di bagian belakang yang parah, remuk. Serpihan-serpihannya begitu memedihkan, lampu sein, plat motor, body belakang sudah tak karuan wujudnya.

Sementara aku, banyak dicari orang. Sebagian mengira aku di bawah bus, salah satu sebagian menanya dengan tidak percaya, “Gek wau sampeyan mboten?” (yang tadi itu kamu, bukan?) kata bapak-bapak. Aku menghamipiri motor setelah bilang, “Iya.” Berbicara pada sopir bus, saling menyalahkan, berdebat dan berujung “Saya akan bertanggung jawab,” kata sopir yang sebenarnya hanya sebagai upayanya meredam emosi warga.

Motorku di angkut, dinaikkan dalam bus. Tak jauh dari situ, katanya ada bengkel motor. Aku mengambil tawaran itu. Belum menghubungi siapa pun apalagi orang rumah. Pikirku, masalah sudah bisa kuatasi. Nanti saja kukirim SMS, mengabarkan bahwa aku tiba di rumah agak sorean. Berbalut seidikit kebohongan lantaran ada urusan di jalan buat menghindari kerawanan tekanan batin mamakku yang mengidap hipertensi yang akibatnya jika dapat kabar buruk tidak perlu kuceritakan di sini.

Di dalam bus, aku serasa menjadi fokus perhatian penumpang yang mungkin rombongan haji. Sebagian penumpang menatapku sinis, ingin menghujat walau ditahan, mengataiku biang kerok dan ada juga yang mengiba, berbasa-basi menanya keadaanku yang sebenarnya tidak apa-apa, meminta dijelaskan kronologi kejadiannya karena memang dia penumpang yang ada di bagian belakang. Tidak ada luka sedikit pun. Luka sebenarnya adalah pada benda bermesin, semi besi, karet, dan plastik itu. Oh Semhi (nama motorku) what the hell happen with you? I’m so sorry.

Barangkali inilah yang disebut sudah jatuh tertimpa tangga.  Bus berhenti, di areal ladang tebu yang sepi dari manusia. Motorku diturunkan oleh kondektur. Sopir bus, menuntaskan konaknya buat memarahiku, menyalahkanku yang mengerem mendadak. Baiklah, secara sebab-akibat, this is my fault. Upaya membantah, menyangkal namanya ngerem juga mendadak tidak membuat sang sopir surut. Barangkali si sopir sudah terlalu sering menabrak orang, jam terbang di jalanannya tinggi. Kenalan polisinya, katanya juga banyak. Dan bengkel yang dijanjikannya tak lebih hanya gombal si sopir semata.

Aku kalah berdebat, tidak ada ganti rugi hanya selembar uang merah bergambar Soekarno-Hatta, disodorkan kepadaku, yang sebenarnya tidak mengganti kerugian, sama tidak setimpalnya jasa Soekarno-Hatta dinominali seratus ribu. Tapi masih mendingan, daripada Tuanku Imam Bonjol yang cuma dihargai lima ribu, atau bahkan Pattimura yang seribu. Ah hidup ini memang konyol.

Aku lunglai, bus pergi begitu saja, kulihati nomor polisi di belakangnya K 1986 NF, pikirku suatu saat bisa balas dendam. Panik, kecelakaan yang sebenar-benarnya justru kurasakan pada saat itu. Meminta pertolongan pada siapa? Tuhan? Ah tanggung jawab memang sepi.

Aku mengotak-atik telepon genggam, mencari nomor telpon orang yang kukenal. Iseng, menghubungi seseorang yang disebut pacar. Memberi kabar kalau aku kecelakaan, lokasi di Gemolong. Malah menangis, matikan. Berganti Anna, PU Ekspresi waktu itu, sama juga menangis, banyak bertanya, dan panik, matikan.

Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi orang rumah, menerima segala konsekuensi yang akan terjadi. Menjelaskan detil keadaan yang pada dasarnya tidak apa-apa hanya motor rusak berat dan tidak bisa pulang. Mamak bilang, tunggu di situ, cari kantor polisi setempat. Keluarga dari Blora akan menjemput. Tut tut tut…

Melegakan!

***
Usai kecelakaan itu, aku justru bersukur. Bayangan akan kematian menjadi jauh dan lusuh. Akan siap menghadapi kalau memang terbesit lagi. Dan justru yang paling berbahaya ketika aku sibuk memkirkannya. Hal paling menakutkan dalam hidup ialah ketika aku tidak tahu dan menduga-duga. Menyitir kata Inas, ketakutan itu untuk dihadapi bukan untuk dihindari.

Usai kecelakaan yang aku harap terakhir kali, aku semakin mengenal Tuhan. Dia ada, dan benar kata orang, Tuhan adalah apa yang kita pikirkan. Setelah insiden itu aku sudah pulang kampung lagi sebanyak enam kali. Tidak terjadi apa-apa. Kecelakan itu tidak membekas apapun pada tubuhku, hanya di ingatanku. Kejadian yang bertahun silam, aku menulisnya untuk memenuhi tantangan Ade. Jika kamu bertanya, mengapa sih mas, kamu pakai selamat segala? Aku juga tidak tahu, mengapa aku bisa selamat dan motorku tidak? Hanya Tuhan dan sopir bus yang tahu.

*ditulis sambail mendengarkan The Beatles mendendang Across the Universe.
 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger