Variasi Kematian #3

/ Jumat, 20 Juli 2012 /

Aku sekarat. Akhirnya, setelah menunggu waktu kematian yang ternyata datang lebih cepat dari perkiraan. Mulutku berbusa dengan bau apple wine yang kutenggak lima belas menit lalu. Aku tidak menyangka alkohol tolol dan murahan itu yang akan membukakan pintu mautku. Tetapi aku belum mati. Aku hanya tidak bergerak. Terbaring dan nyaris tidak bernafas. Dadaku sangat sesak.
Aku masih limbung dan linglung. Antara aku akan mati dengan variasi kematian yang mana; pertama atau yang kedua? Sebuah cerita pendek soal variasi kematian yang habis kubaca dari Agus Noor begitu mempengaruhiku dalam kesekaratanku. Dia menuliskan hanya habis di bilangan kedua.
Dari ceritanya sebenarnya aku ingin pilih variasi kematian yang pertama. Mati dengan begitu tenang dan bisa direncanakan. Mempersiapkan segalanya sehingga aku bisa mati  dalam keadaan yang menyenangkan. Aku ingin jasadku nanti dalam keadaan tersenyum. Masih tetap tampan dan tidak kurang satu apapun dari anggota tubuhku.
Tidak ada sesal yang terbawa. Pun luka yang terbiarkan menganga. Kehormatan, cinta, dan kasih sayang kita tidak berubah. Berbalik lesat dalam satu penghinaan yang mengganas. Atau jerit tangis orang yang malah merajang duka. Aku bisa pilih dimana tempat aku akan mati. Mengubur jasadku nanti. Aku tinggal berbaring tanpa merasai sakit dicabik-cabik malaikat. Aku juga bisa memakai setelan baju yang sopan saat akan menghadap Tuhan. Dan setelah aku mati orang-orang tidak perlu menangisiku.
Aku pernah bilang padamu bukan? Suatu saat kita akan mengerti. Perih dan pedih ini, hanyalah mimpi masa lalu yang secepatanya akan kita lupakan. Berlalu seperti biasanya, dan Tuhan dengan kuasanya hanya akan menyebut itu sebagai sebuah sepi. Benar-benar variasi mati yang kuidam-idamkan. Aku tidak akan menyesal karena pernah hidup.
Sedangkan variasi kedua adalah pilihan jika variasi yang pertama tidak bisa aku gagahi. Anggap saja variasi yang kedua ini takdir dari sang empuNya kematian. Takdir mana kenal pilihan? Mati variasi kedua ini mati pada umumnya. Aku tidak perlu tahu kapan dan bagaimana aku akan mati. Biar Tuhan saja yang tahu. Semacam rahasia mungkin. Dan rahasia inilah yang seolah membuat hidup manusia ada batasnya. Sampai tiba waktunya nanti malaikat akan mendatangiku. Dengan wujud yang bagaimanapun dan dalam keadaan yang seperti apapun. Aku harus terima.
Aku bisa saja sekarat dan mati dalam keadaan menyesal. Aku menyesal kalau selama ini, waktu kita telah habis buat cari pembelaan sendiri-sendiri. Untuk sejuta alibi yang datang setiap hari. Argumenmu yang menyebabku jadi beranggapan bahwa hidup memang harus berpikir. Lantaran hidup itu rumit. Sedangkan mencari, menjadi sebuah teori yang kamu lupakan dari ingatan-ingatan yang terus dipaksa untuk tangguh. Sampai kita pada kahirnya saling tidak acuh.
Mati dalam variasi kedua ini bisa datang dari arah manapun. Bisa saja tubuhku hancur. Darah dan gumpalan daging tercecer di jalanan. Lalu orang-orang yang tidak pernah kukenal menutupi jasadku yang tidak utuh lagi, dengan dedaunan dan koran-koran bekas. Sementara lalat berkcibak di genangan darahku yang sudah bercampur tanah dan debu jalanan.
Aku tidak pernah lagi sempat bertanya padamu. Apakah setiap hubungan harus dinamai? Tidak cukupkah kita membuatnya bisu? Merangkai kesepakatan yang tidak perlu ditahu orang? Tidak cukupkah hanya kita berdua saja yang menikmati?
Kenapa tidak ada surat lagi? Tidak ada kabar? Tidak ada senyum luka? Tidak ada tatap yang sinis? Tidak ada sentuhan? Seharusnya tidak begini bukan? Atau memang seharusnya begini? Semestinya tidak seperti ini bukan? Atau memang semestinya seperti ini?
Tidak. Aku tidak tahu. Tidak akan ada jawaban karena aku tidak sempat bertanya. Dan orang-orang di jalanan begitu sibuk berbisik atas ketragisan matiku.
Atau bisa saja aku akan mati karena sakit yang berkepanjangan. Terbaring tidak berdaya, mati, dan sekarat di rumah sakit dengan tubuh yang digerogoti penyakit. Koyor, hanya sisa tulang dan kulit. Rambut yang meranggas dan rontok. Atau kulit yang lisut dan kasap seolah hidup yang selama ini terjalani begitu sia-sia. Dan aku akan bertanya kepadamu karena ternyata maut masih memberiku kesempatan.
Tidak bisakah kita mengulangnya lagi kehidupan kita yang kemarin? Memulai dari awal dan memeprbaiki laku kita? Maka aku akan bangkit dari sekarat ini. Kita tinggalkan rumah orang sakit ini. Aku akan lawan yang namanya maut. Aku usir jauh-jauh malaikat maut yang menjelma bangis itu. Baiklah kalau memang itu maumu. Aku akan turuti. Mari kita maknai saja hubungan ini. Tetapi  dengan yang sederhana saja. Dengan senyum saja. Cukup dalam tiap lekuk kening, bibir, dan leher kita tanpa merambah ke yang lain. Bagiamana?
Kenapa kamu masih diam disana? Oh lihatlah aku yang sedang sekarat begini. Dengan lengan yang tertusuk jarum dan selang mengalir dari botol plastik. Beginilah caraku makan selama ini. Aku bahkan sudah lupa seperti apa rasa manis, asam, dan asin. Menyedihkan bukan? Aku tidak mampu melakukan apapun. Sepanjang hari hanya mengingatmu dengan sisa-sisa yang tertinggal. Bau tubuhmu, hingar suaramu, dan degup nafasmu. Jawabanmu masihlah tidak? Sama halnya. Sia-sia. Aku mati dengan harapan yang menggantung.
Lalu orang-orang dekat dengan gampangnya bersedih. Menangis meraung-raung seoalah mereka kehilangan. Belum lagi, namaku akan dibicarakan banyak orang. Yang dekat akan bilang semasa hidupku katanya aku orang baik. Padahal aku telah dipercundangi. Hartaku diperebutkan. Belum lagi berbagai media menyebutkan. Telah meniggal dunia dengan tenang... Anjing, bagaimana ia tahu kalau aku mati dengan tenang? Sungguh aku tidak ingin mati yang begini.
Tetapi, bagaimana kalau aku menciptakan sendiri variasi kematian yang ketiga. Kendati tidak bisa memilih yang pertama dan enggan sepenuhnya merasai yang kedua? Mati dengan variasi ketiga ini barangkali percampuran dari pertama dan kedua. Aku rasai sendiri saat sekarat macam begini. Rasa sakit yang masih bisa kusetir hingga perlahan menjadi nikmat lantaran mengenangmu. Ketika selusur urat leherku seolah terjerat tambang yang kuat tiba-tiba ringan dan terjuntai dengan tenang dan tubuhku melayang akhirnya.
Aku masih sempat berkaca. Tersadar kalau ternyata malam begitu kerap mengumpan janji. Sampai-sampai malam itu kita berciuman begitu lama dan hangat. Kita tergetar kiendati lupa menyebut siapa dan apa kita. Kamu begitu saja terpikat dan aku terjerat.
Maka sudah sepantasnya aku meminta maaf atas keterasingan-keterasingan yang kita perbuat. Memohon ampun untuk kealpaan janji-janji dan aku akan siap buat mencumbui malam dengan impian-impian yang mengabur. Bersama sesak nafas yang sebentar lagi amblas. Aku tidak perlu menghabiskan pikir. Kenapa penyesalan selau di taruh di akhir.
Bisakah kamu agak mendekat? Ayolah, aku ingin begitu lelap detik ini. Tidak kurang tidak lebih. Bolehkah? Aku ingin lelap yang sempurna. Biar kawin denganmu jadi mimpi saja. Terimaksih telah mencitaiku dengan keadaan. Walau itu pahit tapi setidaknya kamu jujur dan tidak mempercundangki habis-habisan.
Aku lebih benci pada orang yang bilang cinta karena ketiadaan. Apanya yang mau dicintai? Sedang tidak ada apa-apa. Tidak ada ketampanan, kekayaan, kepandaian. Ah sudahlah. Sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal, soal variasi kematian yang ketiga ini. Variasi kematian yang paling aku suka. Tapi apa lacur, aku sudah mau mati. Aku mati dulu ya. Selamat pagi. Aku mati setelah mengucapkan selamat ulang tahun pada diriku sendiri.

Wahai maut. Bersediakah kau mengambil sunyiku sekarang? Silakan.

Sepasang Mata yang Lentik

/ Sabtu, 14 Juli 2012 /
Sepasang mata yang lentik itu seolah masih tinggal di sudut kamarku. Terkadang aku mendapatinya saat pagi masih begitu buta, saat mengaduk kopi, mencari korek api atau terkadang sepasang mata yang lentik itu mengintip di balik kepulan asap rokok yang meyembul dari mulutku. Sepasang mata itu juga ada di saat aku memutar lagu-lagu sendu, membaca buku-buku tertentu, menulis, dan saat menggaruk senar-senar gitarku.
Sepasang mata itu kudapati beberapa bulan lalu. Dari tumpukan sampah yang membusuk dan di tepian jalan yang lengang; sepasang mata yang sengaja dibuang pemiliknya. Aku suka pada sepasang mata itu bukan lantaran keindahannya. Aku seperti menemukan gambaran hidup yang senyata-nyatanya hidup saat melihat sepasang mata itu. Kesenduan, keberanian, kasih sayang, keegoisan ada disana. Sepasang mata yang cukup membuat bibirku ketam dan gagu saat mencumbunya. Tapi sepasang mata itulah yang lanjur membuatku jatuh cinta.
Aku tidak tahu mengapa bisa begitu buru-buru jatuh cinta pada sepasang mata itu. Mungkin benar katanya, aku telah mengidap sakit jiwa. Sakit jiwa yang penderitanya mudah sekali melebuhkan cinta. 
"Sepertinya kamu harus segera menikah deh?"
"Kenapa?"
"Kamu kayaknya sudah tidak bisa hidup sendiri," katanya.
"Hemm..."
Aku kecanduan dengan sepasang mata itu bukan lantaran aku tidak bisa hidup sendirian. Menikmati kopi sendirian, merokok sendirian, mendengarkan lagu-lagu sendirian atau bahkan tidur sendirian. Ini semata-mata bukan soal kecamuk ranjang, berkucindan, berdialog dengan bahasa-bahasa yang aneh, menirukan karakter-karakter tokoh terkenal, dan bercinta. Semata kugandrungi sepasang mata itu lantaran aku seolah menemukan sesuatu yang pernah terenggut oleh waktu. Sepasang mata yang saat kutatap, begitu hangat. Rasa rindu masa kanak-kanak nan menentramkan kembali kurasai. 

Hai sepasang mata, apa kabarmu?


Tiga Hari yang Enggan Lupa

/ Senin, 09 Juli 2012 /
Kamu tahu film, The Wedding Date? DIbintangi oleh aktor ganteng Dermot Mulroney dan aktris menggemaskan Debra Messing? Hahaha kurang lazim nampaknya jika aku bilang merasai persis peran Dermot Mulroney disana. Tapi tiada apalah, setidaknya aku ingin bilang padamu seperti itu posisiku tiga hari itu. Jika nanti tulisanku kurang begitu mengabarkan. Barangkali lebih guna kamu simaklah saja film itu. Kendati alur dan ceritanya memang lain dan tidak sama.  
Baik kumulai di hari pertama. Hari dimana aku mulai melibatkan diri kembali pada kehidupanmu; keluargamu. Sebenarnya berat, untuk mengiyakan ajakanmu sebelumnya. Kamu tahu, aku orang yang sulit berdamai dengan masa lalu. Empirisku kerap benar merasai soal masa lalu. Masa lalu bagiku barang usang yang lantak. Sebaik-baiknya orang di masa lalu tidak lebih dari basa-basi di muka saja. Bukankah di awal perpisahan kamu juga seperti itu? Usai putus dengan sisa-sisa perasaan yang terkais masih memberi kabar. Mengobrol luwes, bercerita soal awal berjumpa. Mengajak ngopi, mengorek-ngorek lembar peristiwa dan kenangan, menyenggol-nyenggol kebiasaan yang kerap dilakukan bersama dan sebagainya dan sebagainya. Tapi galib sudah, usai itu yang barang tidak ada sebulan hilang kabar, melenyap dan menggondol berjuta-juta pengharap. Sama seperti yang lainnya. Lusuh dan rombeng.
Dua bulan lebih kita berpisah. Rata-rata saja seminggu  di bulan pertama kamu masih sering tanya kabar. Lalu selebihnya kamu menghilang dari peredaran dan kita saling diam. Lalu berikutnya, di bulan ketiga yang sedang melangkah kamu kembali memberi sinyal. Entahlah, apa yang terjadi padamu. Barangkali kamu begitu terluka, atau barangkali kamu masih memelihara rasa. Aku masih ingat betul suaramu di sebarang sana waktu mengiyakan keputusan itu via telepon. "Tapi dengan satu sarat ya, kita harus tetap menjaga hubungan baik. Kendati bukan yang spesial lagi." Itu malam yang sendu. Sampai-sampai kukunci kamar dan menangis semalaman usai menutup teleponmu. Sejak itu kamu satu-satunya masa lalu yang kuharap akan baik ke depannya.
Itu artinya sudah lama pula aku tidak bertemu keluargamu. Bisa saja mereka menganggapku sudah mati atau sudah lulus sebab tak sekalipun menampakkan batang hidungku, main ke rumahmu. Tidak pernah lagi ikut mancing sama kerabat-kerabatmu atau sekadar nyangkruk dang ngeteh di pinggiran gang rumah pamanmu. Atau memang barangkali hanya wasangkaku saja. Maafkan. 
Begitu ibumu menyapaku air mukaku berubah. Panik. Mengusek-usek rambutku yang sebelumnya sudah kurapikan. Bahkan aku merasa seperti maling ayam yang ketangkap basah dan menunggu digebukin massa. Tapi aneh, raut muka ibumu tetap sama. Menyapa dengan perlakuan yang sama laiknya kita pacaran dulu. Menanya kabar kok sampai lama tidak kelihatan. Diksi dan aksen tutur yang digunakan ibumu juga tidak kasar atawa berlumur benci. Pada akhirnya baru aku tahu ternyata kamu belum bilang apa-apa pada ibumu dan keluargamu soal hubungan kita yang sekarang. 
Baik, aku duduk dijamu ibumu. Kamu belum sampai, masih di dalam taxi menuju rumah. Dari SMS mu menyuruhku untuk berlaku biasa dan jawab saja jika kemarin-kemarin sibuk kerja. Kalau perlu sampai ke luar kota. Fuck, pikirku. Soal bohong pada orang tua sendiri memang kerap. Itupun buat menutupi identitas diri dan buat jaga kesehatan mereka. Tetapi ini orang tuamu, orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kerahasiaan identitasku. Ah sudahlah, semoga Tuhan mencatatnya sebagai bohong yang berkategori baik.Ibumu dan aku bicara banyak hal, termasuk sekenario yang musti kukembangkan sendiri. Aku memllih sekenario yang ke luar kota. Tidak ada tanda-tanda ibumu curiga dan masih percaya kalau hubungan kita tetap bak-baik saja; sebagai pacar. Ibumu lalu mengundangku untuk hadir di pesta pernikahan kakak perempuanmu. Bukan sebagai tamu undangan tetapi tukang rewang. Itu artinya aku musti terlibat selama prosesi pernikahan berlangsung. Dua hari. Oh ya terimkasih juga ajakan nonton bareng final Euro-nya malam itu. Aku menang Bu, aku menaaang...!
 Hari yang kedua. Aku penuhi undangan ibumu. Aku datang dengan kegusaran yang kepalang. Aku berbaur di antara puluhan sanak saudaramu. Yang ini yang itu, tidak  semuanya kukenal. Waktu itu masih upacara seserahan. Penyerahan barang-barang (termasuk mahar) dari pihak lelaki ke pihak perempuan. Kamu tunjuk aku sebagai salah satu pembawa barang bersama keluargamu yang lain. Herannya tidak ada yang memandang penuh tanya siapa aku disana, atau barangkali belum? Bagaimana bisa orang asing terlibat begitu jauh pada ritual sakral keluargamu. Aku tidak tahu, aku menurut saja. Aku bawa barang itu dan melakukan segala tindak-tanduk yang telah diadatkan. Termasuk berbaris rapi dan berjalan menuju ruangan yang penuh sesak dengan orang-orang yang tidak kukenal. Katamu, aku sebagai wakil dari pihak keluarga laki-laki.Ini murni kepura-puraan. Bagaimana bisa ritual sakral begini...? "Diem, namanya juga kepaksa," tandasmu. Pikirku kalau memang tidak mencukupi sarat kenapa musti memilih adat yang begini. Oh dasar adat. Seprangkat norma yang ketat dan mengikat. Baiklah ritual selesai, pihak lelaki sudah menyatakan diri buat melamar pihak perempuan dan pihak perempuan juga menerima lamaran si laki-laki. Lalu apalagi? "Selanjutnya, sesi pengenalan anggota keluarga masing-masing."
Mampus, kata-kata dari  master of ceremony itu bak petir mengganjur kepalaku. Perasaanku kebat. Salah satu pamanmu maju dan muai memperkenalkan satu persatu keluargamu yang hadir. Mulai dari barisan paling ujung ke hilir. Dan aku yang begitu kalang berada di barisan tengah. Nama-nama yang disebutkan berdiri agar keluarga dari pihak laki-laki yang hanya beranggotakan bapak, ibu, dan calon pengantinnya itu sendiri lebih mengenal. Oke, semuanya akan baik-baik saja. Dan memang. Malam itu tidak semua orang yang hadir disana mengerti siapa aku. Sebab aku tidak pernah berdiri dan tidak ada alasan buat brdiri. Barangkali aku hanya menjadi pusat perhatian karena satu-satunya yang duduk.
Hari ketiga. Hari yang paling sibuk. Puncak dari acara pernikahan kakak perempuanmu. Aku datang lebih awal. Aku datang dengan segenap kesiapan untuk asah-asah piring dan gelas. Aku bahkan tidak berjumpa denganmu waktu itu. Aku melihatmu sedang dirias di kamar pengantin. Oh ya, sanggul rambut yang kamu kenakan waktu itu amat padu dengan raut mukamu yang njawani.  Yang nikah siapa yang sibuk dirias siapa. Batinku sambil menyodorkan  traktasi ke kenap tamu-tamu. 
Menjelang sore ibumu menghamipriku. Ternyata ibumu juga dirias, cantik sekali. Hahahahaha. Ibumu memintaku makan. Aku sudah makan tadi. Bareng kru-kru yang lain. Kru listrik, sound sistem, dan kru dekorasi.  Tidak hanya itu, ibumu memintaku untuk jadi pager bagus. Oh shit.. apa lagi ini? Setelah dijelaskan, aku mengerti apa itu pager bagus. Orang yang bertugas mengawal manten menuju pelaminan. Harus berdandan dong? Tentu. Seprangkat sorjan, jarit, blangkon dan pernak-perniknya disodorkan padaku. Sejam lamanya aku berdandan. Bersama anggota keluargamu sebayaku dengan kostum serupa. Mereka juga para pager bagus? Iya, setelah kira-kira delapan orang siap dengan pakaian ala keraton, pesta segera dilangsungkan. Sukurlah ternyata tugas menjadi pager bagus tidak terlalu sulit. Hahaha. Pesta pernikahan dinyatakan usai. Aku dan beberapa keluargamu yang menjadi pager bagus tadi telah beralihfungsi menjadi penjaga buku tamu sebelumnya oh ya kamu juga.
Master of cereomny bikin ulah lagi. "Yang terakhir sesi foto bersama pengantin." Entah kenapa MC itu seperti orang yang paling berkehendak. Apa karena ia satu-satunya yang memegang mic? Ah tidak penting, lupakan. Ia memanggil seluruh anggota keluarga untuk berfoto brsama pengantin. Sebenarnya bukan salah si MC. Melainkan kamu yang buru-buru menggandengku masuk ke ruang pelaminan yang sudah berjejal keluargamu mengantre untuk berfoto. Lagi-lagi setelah MC memetakan giliran keluarga mana yang akan berfoto dengan manten. Dan lagi-lagi aku kebat dengan keluarga yang mana aku harus berfoto. Sedang aku sudah lanjur disana dengan kostum yang seragam. Barangkali akan terulang lagi, aku menjadi satu-satunya orang yang tidak akan berfoto dengan manten.  Tapi kamu menjadi orang paling tahu. Kamu menggandengku maju dan bilang pada MC untuk foto sejoli bareng manten. Kamu bilang pada keluargamu kalau aku calonmu. Dan kita perlu berfoto soal itu. Tidak ada waktu buatku protes. Bahkan kamu tidak meberiku waktu untuk merasakan malu. Buru-buru fotografer mengambil gambar setelah menata formasi yang apik bareng manten. Disinilah yang kumaksud aku merasa menjadi seperti Nick Mercer, yang diperankan Dermot Mulroney dalam The Wedding Date. Entah berapa mata dari keluargamu yang meliahatiku aneh, melihati kita berfoto bersama di depan mereka. Aku dengan sorjan merahku dan kamu dengan kebaya merahmu. Oh ya satu hal yang belum kumengerti, mengapa mereka bertepuk tangan usai kita foto? Hahahaha. 
Langsai sudah, termasuk cibiran dari keluargamu, "cepat nyusul-cepat nyusul" Aku pamit dan kamu meangatarku sampai ujung gang keluar rumahmu. Selain purnama yang mulai tua yang mencacak indah di atas sana ada juga tutur katamu yang merentak pilu. Seakan menghardik ulu hati untuk menjerit."Jadi apa kita pacaran lagi?" tanyamu.
 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger