Aku sekarat. Akhirnya, setelah menunggu waktu
kematian yang ternyata datang lebih cepat dari perkiraan. Mulutku berbusa
dengan bau apple wine yang kutenggak
lima belas menit lalu. Aku tidak menyangka alkohol tolol dan murahan itu yang akan
membukakan pintu mautku. Tetapi aku belum mati. Aku hanya tidak bergerak.
Terbaring dan nyaris tidak bernafas. Dadaku sangat sesak.
Aku masih limbung dan linglung. Antara aku
akan mati dengan variasi kematian yang mana; pertama atau yang kedua? Sebuah
cerita pendek soal variasi kematian yang habis kubaca dari Agus Noor begitu
mempengaruhiku dalam kesekaratanku. Dia menuliskan hanya habis di bilangan
kedua.
Dari ceritanya sebenarnya aku ingin pilih
variasi kematian yang pertama. Mati dengan begitu tenang dan bisa direncanakan.
Mempersiapkan segalanya sehingga aku bisa mati
dalam keadaan yang menyenangkan. Aku ingin jasadku nanti dalam keadaan
tersenyum. Masih tetap tampan dan tidak kurang satu apapun dari anggota
tubuhku.
Tidak ada sesal yang terbawa. Pun luka yang
terbiarkan menganga. Kehormatan, cinta, dan kasih sayang kita tidak berubah.
Berbalik lesat dalam satu penghinaan yang mengganas. Atau jerit tangis orang
yang malah merajang duka. Aku bisa pilih dimana tempat aku akan mati. Mengubur
jasadku nanti. Aku tinggal berbaring tanpa merasai sakit dicabik-cabik
malaikat. Aku juga bisa memakai setelan baju yang sopan saat akan menghadap
Tuhan. Dan setelah aku mati orang-orang tidak perlu menangisiku.
Aku pernah bilang padamu bukan? Suatu saat
kita akan mengerti. Perih dan pedih ini, hanyalah mimpi masa lalu yang
secepatanya akan kita lupakan. Berlalu seperti biasanya, dan Tuhan dengan
kuasanya hanya akan menyebut itu sebagai sebuah sepi. Benar-benar variasi mati
yang kuidam-idamkan. Aku tidak akan menyesal karena pernah hidup.
Sedangkan variasi kedua adalah pilihan jika
variasi yang pertama tidak bisa aku gagahi. Anggap saja variasi yang kedua ini
takdir dari sang empuNya kematian. Takdir mana kenal pilihan? Mati variasi
kedua ini mati pada umumnya. Aku tidak perlu tahu kapan dan bagaimana aku akan
mati. Biar Tuhan saja yang tahu. Semacam rahasia mungkin. Dan rahasia inilah
yang seolah membuat hidup manusia ada batasnya. Sampai tiba waktunya nanti
malaikat akan mendatangiku. Dengan wujud yang bagaimanapun dan dalam keadaan
yang seperti apapun. Aku harus terima.
Aku bisa saja sekarat dan mati dalam keadaan
menyesal. Aku menyesal kalau selama ini, waktu kita telah habis buat cari
pembelaan sendiri-sendiri. Untuk sejuta alibi yang datang setiap hari.
Argumenmu yang menyebabku jadi beranggapan bahwa hidup memang harus berpikir. Lantaran
hidup itu rumit. Sedangkan mencari, menjadi sebuah teori yang kamu lupakan dari
ingatan-ingatan yang terus dipaksa untuk tangguh. Sampai kita pada kahirnya saling
tidak acuh.
Mati dalam variasi kedua ini bisa datang dari
arah manapun. Bisa saja tubuhku hancur. Darah dan gumpalan daging tercecer di
jalanan. Lalu orang-orang yang tidak pernah kukenal menutupi jasadku yang tidak
utuh lagi, dengan dedaunan dan koran-koran bekas. Sementara lalat berkcibak di
genangan darahku yang sudah bercampur tanah dan debu jalanan.
Aku tidak pernah lagi sempat bertanya padamu.
Apakah setiap hubungan harus dinamai? Tidak cukupkah kita membuatnya bisu?
Merangkai kesepakatan yang tidak perlu ditahu orang? Tidak cukupkah hanya kita
berdua saja yang menikmati?
Kenapa tidak ada surat lagi? Tidak ada kabar?
Tidak ada senyum luka? Tidak ada tatap yang sinis? Tidak ada sentuhan? Seharusnya
tidak begini bukan? Atau memang seharusnya begini? Semestinya tidak seperti ini
bukan? Atau memang semestinya seperti ini?
Tidak. Aku tidak tahu. Tidak akan ada jawaban
karena aku tidak sempat bertanya. Dan orang-orang di jalanan begitu sibuk
berbisik atas ketragisan matiku.
Atau bisa saja aku akan mati karena sakit
yang berkepanjangan. Terbaring tidak berdaya, mati, dan sekarat di rumah sakit
dengan tubuh yang digerogoti penyakit. Koyor, hanya sisa tulang dan kulit.
Rambut yang meranggas dan rontok. Atau kulit yang lisut dan kasap seolah hidup
yang selama ini terjalani begitu sia-sia. Dan aku akan bertanya kepadamu karena
ternyata maut masih memberiku kesempatan.
Tidak bisakah kita mengulangnya lagi
kehidupan kita yang kemarin? Memulai dari awal dan memeprbaiki laku kita? Maka
aku akan bangkit dari sekarat ini. Kita tinggalkan rumah orang sakit ini. Aku
akan lawan yang namanya maut. Aku usir jauh-jauh malaikat maut yang menjelma
bangis itu. Baiklah kalau memang itu maumu. Aku akan turuti. Mari kita maknai
saja hubungan ini. Tetapi dengan yang sederhana
saja. Dengan senyum saja. Cukup dalam tiap lekuk kening, bibir, dan leher kita
tanpa merambah ke yang lain. Bagiamana?
Kenapa kamu masih diam disana? Oh lihatlah
aku yang sedang sekarat begini. Dengan lengan yang tertusuk jarum dan selang
mengalir dari botol plastik. Beginilah caraku makan selama ini. Aku bahkan
sudah lupa seperti apa rasa manis, asam, dan asin. Menyedihkan bukan? Aku tidak
mampu melakukan apapun. Sepanjang hari hanya mengingatmu dengan sisa-sisa yang
tertinggal. Bau tubuhmu, hingar suaramu, dan degup nafasmu. Jawabanmu masihlah
tidak? Sama halnya. Sia-sia. Aku mati dengan harapan yang menggantung.
Lalu orang-orang dekat dengan gampangnya
bersedih. Menangis meraung-raung seoalah mereka kehilangan. Belum lagi, namaku
akan dibicarakan banyak orang. Yang dekat akan bilang semasa hidupku katanya
aku orang baik. Padahal aku telah dipercundangi. Hartaku diperebutkan. Belum
lagi berbagai media menyebutkan. Telah
meniggal dunia dengan tenang... Anjing, bagaimana ia tahu kalau aku mati
dengan tenang? Sungguh aku tidak ingin mati yang begini.
Tetapi, bagaimana kalau aku menciptakan
sendiri variasi kematian yang ketiga. Kendati tidak bisa memilih yang pertama dan
enggan sepenuhnya merasai yang kedua? Mati dengan variasi ketiga ini barangkali
percampuran dari pertama dan kedua. Aku rasai sendiri saat sekarat macam begini.
Rasa sakit yang masih bisa kusetir hingga perlahan menjadi nikmat lantaran mengenangmu.
Ketika selusur urat leherku seolah terjerat tambang yang kuat tiba-tiba ringan
dan terjuntai dengan tenang dan tubuhku melayang akhirnya.
Aku masih sempat berkaca. Tersadar kalau
ternyata malam begitu kerap mengumpan janji. Sampai-sampai malam itu kita berciuman
begitu lama dan hangat. Kita tergetar kiendati lupa menyebut siapa dan apa
kita. Kamu begitu saja terpikat dan aku terjerat.
Maka sudah sepantasnya aku meminta maaf atas
keterasingan-keterasingan yang kita perbuat. Memohon ampun untuk kealpaan
janji-janji dan aku akan siap buat mencumbui malam dengan impian-impian yang
mengabur. Bersama sesak nafas yang sebentar lagi amblas. Aku tidak perlu
menghabiskan pikir. Kenapa penyesalan selau di taruh di akhir.
Bisakah kamu agak mendekat? Ayolah, aku ingin
begitu lelap detik ini. Tidak kurang tidak lebih. Bolehkah? Aku ingin lelap
yang sempurna. Biar kawin denganmu jadi mimpi saja. Terimaksih telah mencitaiku
dengan keadaan. Walau itu pahit tapi setidaknya kamu jujur dan tidak
mempercundangki habis-habisan.
Aku lebih benci pada orang yang bilang cinta
karena ketiadaan. Apanya yang mau dicintai? Sedang tidak ada apa-apa. Tidak ada
ketampanan, kekayaan, kepandaian. Ah sudahlah. Sebenarnya aku ingin bercerita
banyak hal, soal variasi kematian yang ketiga ini. Variasi kematian yang paling
aku suka. Tapi apa lacur, aku sudah mau mati. Aku mati dulu ya. Selamat pagi.
Aku mati setelah mengucapkan selamat ulang tahun pada diriku sendiri.
Wahai maut. Bersediakah kau mengambil sunyiku
sekarang? Silakan.