Memang tidak Berjudul

/ Jumat, 03 Agustus 2012 /
Tidur membuatmu tampak buruk. Bunyi dengkur dengan mulut menganga benar-benar melenyapkan ketampananmu. Orang bilang, kehidupan seseorang bisa dilihat dari cara tidurnya. Belum lagi liur yang kadang kali menderas yang buru-buru kau sesap dan lap saat tidurmu terusik. Seolah-olah kau orang yang sangat melarat. Aku benar-benar kurang menyukaimu saat tidur. Tetapi itu tidak elaknya kau lakukan sepanjang hari saat menyambangi kamarku. Aku memang teman tidurmu, katamu. Teman tidur yang sebenarnya cuma istilah. Nyatanya kita tidak pernah sekalipun tidur berdua. Kalaupun bersama, satu diantara kita, ada yang tidak tidur atau bahkan kita tidak tidur sama sekali sepanjang hari. Aku sebenarnya menikmati waktu saat kau tidak tidur. Aku bisa melihati senyummu yang manis dan lesung pipit yang samar-samar. Kau akan membaca dan menulis. Aku menonton tivi atau memetak-metak selular saja. Tentu di sela-sela itu ada kopi dan rokok yang mempertemukan detak kesibukan kita.
Aku suka saat mengetahuimu sudah bangun tidur. Biasanya aku menwarkan ciuman menyambut bangunmu. Namun pasti kau buru-buru menolak dan bilang bahwa mulutmu sedang bau. Lalu kau memilih menjerang air panas dalam gelas sembari memulai pembicaraan dengan nada yang serius. Mirip aktivis yang sedang berdiskusi. Untuk menikmati adegan itu, kutanggalkan selularku dan kupelankan volume tivi. Aku memang tidak pernah tahu soal apa bicaramu itu. Entah kutipan teori dari buku entah dari perbincanganmu dengan orang-orang di luar sana atau sekelibat fenomena dari tivi yang kau komentari panjang lebar. Hidupmu memang tidak pernah santai sepertinya.  Setiap hal kau analisis sampai-sampai setiap tindakan seolah punya motif yang negatif. Kau sinis, dan justru itu kau terlihat seksi bagiku.
Sepanjang hidupuku ada dua jenis laki-laki yang membuatku tertarik dan enggan menolak saat aku didekati. Jenis pertama itu sepertimu, serius, cerdas, pantang menyerah, dan tidak anggap perempuan itu cuma teman ranjang dan melulu soal perut. Atau tipe kedua walau akhirnya kerap bikin bosan. Penyayang, perhatian, pengertian, dan begitu mempermasalahkan resiko. Tetapi aku menikmatinya. Dan disitulah terkadang laki-laki tampak bodoh dipelukan perempuan sepertiku. Barangkali, memang terlalu merendahkan bila kusebut kau mendakatiku. Memang tidak, keadaan yang membuat kita tanpa sengaja mendekat. Kebetulan saja, aku orang yang tidak begitu mempermasalahkan hubungan laki-laki dan perempuan. Katamu, di dunia yang masih patriarki begini hubungan laki-laki perempuan begitu dipermasalahkan. Aku bisa saja menjelma sebagai ancaman yang memotong kesucian laki-laki. Layaknya Hawa yang menjerumuskan Adam lewat bujuk rayunya. Atau bahkan aku mahluk yang begitu lemah yang pantas dikasihani layaknya cerita Cinderalla dan segenrenya. Tidak, kau ataupun aku tidak permasalahkan itu.
Namun sudah berbulan-bulan kau tidak menyambangiku lagi. Terakhir kau menghubungiku saat hendak melayap ke ibu kota sana. Dari perkataanmu sepertinya kau sedang memperoleh pekerjaan.  Untuk kurun waktu satu sampai dua minggu saja buat mengisi liburan. Pikirku, kenapa harus kesana? Apa pekerjaan cuma ada di ibu kota? Seolah-olah kehidupan hanya ada di ibu kota sana. Padahal kau pernah bilang, orang yang bisa hidup disana itu cuma ada dua macam. Orang yang mengaku-ngaku paling paham republik dan orang yang tega memakan sesamanya. Tetapi itu tidak kau, jika keingnanmu  bisa dipangkas. Pergilah!
Sebenarnya aku tidak begitu merasa kehilanganmu. Ada banyak lelaki di sekitarku. Si Valin yang setia dan punya pekerti yang baik. Juga si Bayu yang akhir-akhir ini mendekatiku atau juga temanmu, Mas Tohari yang sesekali mengajakku keluar saat situasi begitu penat. Aku juga tidak terlalu merindukanmu. Yang kusesalkan sebenarnya kenapa kau begitu saja melupakanku? Padahal kau bilang yang paling menjijikkan dari sebuah hubungan bukanlah perpisahan melainkan jika keduanya saling melupakan. Sebenarnya ini sebuah surat maka saja tidak berjudul. Aku hanya ingin mengalir dan aku tidak ingin sebuah judul membatasi aliran ini. Kendati aku tidak tahu kemanakah harus kukirim surat ini. Sekian saja. Aku tidak mau dianggap sebagai manusia yang kalah. Manusia yang kesepian dan tidak bisa berdamai dengan kenyataan sehingga terus-menerus mengais kenangan. Selamat malam!
  

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger