Tidur
membuatmu tampak buruk. Bunyi dengkur dengan mulut menganga benar-benar melenyapkan
ketampananmu. Orang bilang, kehidupan seseorang bisa dilihat dari cara
tidurnya. Belum lagi liur yang kadang kali menderas yang buru-buru kau sesap dan
lap saat tidurmu terusik. Seolah-olah kau orang yang sangat melarat. Aku
benar-benar kurang menyukaimu saat tidur. Tetapi itu tidak elaknya kau lakukan
sepanjang hari saat menyambangi kamarku. Aku memang teman tidurmu, katamu.
Teman tidur yang sebenarnya cuma istilah. Nyatanya kita tidak pernah sekalipun
tidur berdua. Kalaupun bersama, satu diantara kita, ada yang tidak tidur atau
bahkan kita tidak tidur sama sekali sepanjang hari. Aku sebenarnya menikmati
waktu saat kau tidak tidur. Aku bisa melihati senyummu yang manis dan lesung
pipit yang samar-samar. Kau akan membaca dan menulis. Aku menonton tivi atau
memetak-metak selular saja. Tentu di sela-sela itu ada kopi dan rokok yang
mempertemukan detak kesibukan kita.
Aku
suka saat mengetahuimu sudah bangun tidur. Biasanya aku menwarkan ciuman
menyambut bangunmu. Namun pasti kau buru-buru menolak dan bilang bahwa mulutmu
sedang bau. Lalu kau memilih menjerang air panas dalam gelas sembari memulai
pembicaraan dengan nada yang serius. Mirip aktivis yang sedang berdiskusi. Untuk
menikmati adegan itu, kutanggalkan selularku dan kupelankan volume tivi. Aku
memang tidak pernah tahu soal apa bicaramu itu. Entah kutipan teori dari buku entah
dari perbincanganmu dengan orang-orang di luar sana atau sekelibat fenomena
dari tivi yang kau komentari panjang lebar. Hidupmu memang tidak pernah santai
sepertinya. Setiap hal kau analisis
sampai-sampai setiap tindakan seolah punya motif yang negatif. Kau sinis, dan justru
itu kau terlihat seksi bagiku.
Sepanjang
hidupuku ada dua jenis laki-laki yang membuatku tertarik dan enggan menolak
saat aku didekati. Jenis pertama itu sepertimu, serius, cerdas, pantang menyerah,
dan tidak anggap perempuan itu cuma teman ranjang dan melulu soal perut. Atau tipe
kedua walau akhirnya kerap bikin bosan. Penyayang, perhatian, pengertian, dan
begitu mempermasalahkan resiko. Tetapi aku menikmatinya. Dan disitulah terkadang
laki-laki tampak bodoh dipelukan perempuan sepertiku. Barangkali, memang terlalu
merendahkan bila kusebut kau mendakatiku. Memang tidak, keadaan yang membuat
kita tanpa sengaja mendekat. Kebetulan saja, aku orang yang tidak begitu
mempermasalahkan hubungan laki-laki dan perempuan. Katamu, di dunia yang masih
patriarki begini hubungan laki-laki perempuan begitu dipermasalahkan. Aku bisa
saja menjelma sebagai ancaman yang memotong kesucian laki-laki. Layaknya Hawa
yang menjerumuskan Adam lewat bujuk rayunya. Atau bahkan aku mahluk yang begitu
lemah yang pantas dikasihani layaknya cerita Cinderalla dan segenrenya. Tidak,
kau ataupun aku tidak permasalahkan itu.
Namun
sudah berbulan-bulan kau tidak menyambangiku lagi. Terakhir kau menghubungiku
saat hendak melayap ke ibu kota sana. Dari perkataanmu sepertinya kau sedang
memperoleh pekerjaan. Untuk kurun waktu
satu sampai dua minggu saja buat mengisi liburan. Pikirku, kenapa harus kesana?
Apa pekerjaan cuma ada di ibu kota? Seolah-olah kehidupan hanya ada di ibu kota
sana. Padahal kau pernah bilang, orang yang bisa hidup disana itu cuma ada dua
macam. Orang yang mengaku-ngaku paling paham republik dan orang yang tega
memakan sesamanya. Tetapi itu tidak kau, jika keingnanmu bisa dipangkas. Pergilah!
Sebenarnya
aku tidak begitu merasa kehilanganmu. Ada banyak lelaki di sekitarku. Si Valin
yang setia dan punya pekerti yang baik. Juga si Bayu yang akhir-akhir ini
mendekatiku atau juga temanmu, Mas Tohari yang sesekali mengajakku keluar saat
situasi begitu penat. Aku juga tidak terlalu merindukanmu. Yang kusesalkan
sebenarnya kenapa kau begitu saja melupakanku? Padahal kau bilang yang paling
menjijikkan dari sebuah hubungan bukanlah perpisahan melainkan jika keduanya
saling melupakan. Sebenarnya ini sebuah surat maka saja tidak berjudul. Aku
hanya ingin mengalir dan aku tidak ingin sebuah judul membatasi aliran ini.
Kendati aku tidak tahu kemanakah harus kukirim surat ini. Sekian saja. Aku
tidak mau dianggap sebagai manusia yang kalah. Manusia yang kesepian dan tidak
bisa berdamai dengan kenyataan sehingga terus-menerus mengais kenangan. Selamat
malam!
0 komentar:
Posting Komentar