Sangkalan atas Nisrina Muthahari

/ Jumat, 03 Agustus 2012 /

Cek Go, sebutanmu. Berasal dari kata eceng gondok. Tumbuhan yang hidup di air yang konon dikategorikan sebagai parasit. Julukan itu kamu dapat lantaran kamu mirip sekali dengn karkater eceng gondok yang suka ngikut kemana-mana, asal dapat traktiran. Itu terjadi di komunitas kecil di Ekspresi, khususnya pada divisi redaksi –yang menjadi pihak merugi-. Dan kamu pun nampaknya menikmati julukan itu. Cukup  menjadi sarat register bahasa kan? Yang arbriter (semena-semena) dan konvensional (disepakati bersama).
***
Kritikanmu tempo hari atas tulisan pada blog ini, “Blog isine gur curhatan” rupanya saya perlu menanggapi. Jika disemantikkan secara makro linguistik, dari baris kalimat yang kamu utarakan itu, muatannya cukup berpengaruh lho. Soal kebenaran anggapan, apakah blog saya yang memang isinya cuma curhat? Dan soal istilah “gur curhatan” yang seolah-olah memaknai curhatan itu tidak ada gunanya. Sampah.
Pertama. Terlepas dari ketidaktahuan saya, mengapa tulisan-tulisan itu sampai dibilang curhat? Sebenarnya metode apa yang telah kamu pakai buat menaganalisisnya? Semiotikkah, pendekatan ekspresif, resepsi pembaca, atau entah. Tetapi kemungkinan karena ini soal saya sebagai pengarangnya dan kamu sebagai pembacanya. Besar kemungkinan, teori kedua dan ketiga yang kamu pakai untuk menjustufikasi blog ini.
Saya coba-coba buka buku lama, soal kaji mengkaji sastra. Akhirnya pendapat yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1990) yang saya pungut untuk memungkasi yang soal pendekatan ekspresif tadi; studi kaji karya sastra ynag menitikberatkan pada pengarang sebagai pribadi yang berkaitan dengan proses kreatif. Mengkaji karya dengan pendekatan apapun, nampaknya memang tidak lepas sepenuhnya dari struktur karya tersebut. Memang, sebagian besar tulisan-tulisan disana memakai point of view “aku” (sudut pandang ke-aku-an). Namun bukan berarti, “aku” disana adalah sejati-jatinya pengarang. Ini hanya soal sudut pandang, sayang. 
Lantas dalam pengertian yang tersirat, bagaimana analisa psikologi pengarang dapat kamu gunakan untuk menginterprestasi dan menilai tulisan ini? Kendati memang dalam menciptakan karya sastra, terkadang ada teori psikologi tertentu yang dimuat pengarang secara sadar atau samar-samar. Jika teori tersebut ternyata cocok untuk menjelaskan tokoh-tokoh dan situasi dalam cerita, apa dasarmu? Karena kamu teman dekatku dan mengerti kebenaran serta latar belakang kemiripan cerita? Kok rasanya internal sekali, ya. Sifat-sifat manusia dalam karya sastra relatif imajiner, lho. Walau di dalam mengambarkan karakter dan jiwa pengarang harus menjadikan manusia hidup di alam nyata sebagai model di dalam penciptaannya.
Kedua. Mungkin saja pendekatan resepsi pembaca yang kamu pakai. Tetapi itupun belum cukup, kataku. Biar saya klasifikasikan dulu jenis resepsi ini agar tidak terkesan serampangan seorang pembaca dalam meresepsi. Pembaca yang merespsi secara aktif dan pembaca yang mersepsi secara pasif.  Secara aktif itu semisal kamu, yang memberi kritik, ulasan, komentar, resensi, atau interkstualitas. Lainnya resepsi pembaca pasif yang tidak bisa diketahui karena mengacu pada bagaimana seorang pembaca dapat memahami suatu karya dan menemukan hakikat estetika di dalamnya (Junus, 1986). Nah, kamu, sebagai pembaca aktif yang telah menilai pastinya punya dasar atas tanggapanmu kan?
Well. Anggap saja itu memang resepsi dari hasil bacaanmu. Pertanyaan berikutnya, jika itu curhatan, njuk ngopo? Seperti di awal, kata tugas yang kamu pakai adalah “gur” (hanya) yang menempatkan posisi tulisan curhat seolah-olah inferior. Begini, kira-kira. Kamu tahu seorang Fidel Castro kan?
Dalam buku berjudul Hari-hari Terakhir Che Guevara, Castro yang juga teman dekat Che, memungkasi sebuah pengantar yang apik. Buku ini, menurut saya terselamatkan kualitasnya lantaran ada secarik pengantar dari Fidel Castro. Di pengantar itu Castro sangatlah berterimakasih kepada Che Guevara atas kebiasaan Che, menuangkan segala kejadian dalam buku kecil. Segala apa yang menceritakan keadaan di tempat pembuangan dituliskan Che dengan sangat rinci. Castro memang tidak memakai istilah “curhatan” untuk memaknai kebiasaan Che tersebut.
Catatan ini bukan dengan tidak sengaja dituliskan oleh Che. Catatan-catatan ini dijadikannya sebagai sebuah panduan, evaluasi konstan terhadap segala kejadian, situasi, dan orang-orang yang terlibat. Catatan ini yang juga membuatnya lebih mampu mengekspresi semangatnya yang membaja, analisis namun diselipi humor-humor yang manis, dan kadang kala sisi kemanusian dari seseorang pemimpin detasemen gerilya juga ia tulis. Semuanya ditulis secara serius sehingga membantu suatu keterkaitan yang tidak terputus dari awal hingga akhir. 
Tetapi tahulah kamu dampaknya, dari tulisan-tulisan kecil seperti itu kita jadi mengerti siapa Che dan seperti apa kiprahnya. Barangkali soal teladan tergantung pembaca mau menirunya atau tidak, tetapi soal resepsi aktif, saya kira tidak ada yang menyangkal kebiasan Che menulis setiap hal yang terjadi semasa ia berjuang.
Tulisan-tulisan Che yang seperti itu sering kubayangkan di jaman sekarang sebagai bentuk ekspresi kebutuhan manusia untuk berbagi pengalaman pada sebuah tulisan. Andai saja ada situs sosial macam blogspot, twitter atau facebook yang bisa diakses waktu itu, tidak menutup kemungkinan Che juga akan update status atau nge-blog setiap hari, soal bulan-bulan terakhir hidupnya di Bolivia yang sungguh heroik itu, mungkin!
Adalagi R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Saya menilai ini juga bentuk semacam “curhatan” seorang perempuan agung lewat surat-menyurat kepada nona-nona Belanda. Tentulah “curhatan” disini bukan semata berisi keluhan yang mengharu-biru melainkan pemikiran-pemikiran Kartini perihal nasib wanita-wainta Indonesia pada masanya. Jadi apa kamu masih menganggap “gur curhatan”? sebaiknya mulai cari definisi kata “curhat” yang tepat, sayang.
***
Belakangan ini aku dengar istilah Cek Go kamu selewengkan menjadi Cek Gu. Sapaan khusus dalam serial kartun Upin dan Ipin yang ditujukan pada ibu guru. Seorang pengajar yang bijaksana dan rendah hati. Itu lantaran kamu menjadi PU Ekspresi. Dan anehnya anak-anak baru yang tidak mengerti terminologinya manggut-manggut saja. Dalam kasus ini, bukan saja itu nihil maksud. Penggeseran dari istilah Cek Go menjadi Cek Gu. Tentu kamu ingin memperbaiki citra kamu apalagi posisimu waktu itu sebagai pimpinan utama.

 

1 komentar:

Anonim on: 27 Oktober 2012 pukul 00.48 mengatakan...

hemmmm,
saya tertarik dengan gaya menjawab yang sistematis dan penuh dengan uraian yang menusuk-nusuk, walau sedikit perih tapi harus
setidaknya hal ini akan menjadikan adiktif bagi mereka yang telah menuai klimaks setelah lama berkeringat.

omong opo to yo

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger