Cek
Go, sebutanmu. Berasal dari kata eceng gondok. Tumbuhan yang hidup di air yang
konon dikategorikan sebagai parasit. Julukan itu kamu dapat lantaran kamu mirip
sekali dengn karkater eceng gondok yang suka ngikut kemana-mana, asal dapat traktiran. Itu terjadi di komunitas
kecil di Ekspresi, khususnya pada divisi redaksi –yang menjadi pihak merugi-.
Dan kamu pun nampaknya menikmati julukan itu. Cukup menjadi sarat register bahasa
kan? Yang arbriter (semena-semena) dan konvensional (disepakati bersama).
***
Kritikanmu
tempo hari atas tulisan pada blog ini, “Blog isine gur curhatan” rupanya saya
perlu menanggapi. Jika disemantikkan secara makro linguistik, dari baris
kalimat yang kamu utarakan itu, muatannya cukup berpengaruh lho. Soal kebenaran anggapan, apakah blog
saya yang memang isinya cuma curhat? Dan soal istilah “gur curhatan” yang
seolah-olah memaknai curhatan itu tidak ada gunanya. Sampah.
Pertama. Terlepas dari ketidaktahuan saya, mengapa
tulisan-tulisan itu sampai dibilang curhat? Sebenarnya metode apa yang telah
kamu pakai buat menaganalisisnya? Semiotikkah, pendekatan ekspresif, resepsi
pembaca, atau entah. Tetapi kemungkinan karena ini soal saya sebagai
pengarangnya dan kamu sebagai pembacanya. Besar kemungkinan, teori kedua dan
ketiga yang kamu pakai untuk menjustufikasi blog ini.
Saya
coba-coba buka buku lama, soal kaji mengkaji sastra. Akhirnya pendapat yang
dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1990) yang saya pungut untuk memungkasi yang
soal pendekatan ekspresif tadi; studi kaji karya sastra ynag menitikberatkan
pada pengarang sebagai pribadi yang berkaitan dengan proses kreatif. Mengkaji
karya dengan pendekatan apapun, nampaknya memang tidak lepas sepenuhnya dari
struktur karya tersebut. Memang, sebagian besar tulisan-tulisan disana memakai point of view “aku” (sudut pandang
ke-aku-an). Namun bukan berarti, “aku” disana adalah sejati-jatinya pengarang.
Ini hanya soal sudut pandang, sayang.
Lantas
dalam pengertian yang tersirat, bagaimana analisa psikologi pengarang dapat
kamu gunakan untuk menginterprestasi dan menilai tulisan ini? Kendati memang dalam
menciptakan karya sastra, terkadang ada teori psikologi tertentu yang dimuat
pengarang secara sadar atau samar-samar. Jika teori tersebut ternyata cocok
untuk menjelaskan tokoh-tokoh dan situasi dalam cerita, apa dasarmu? Karena
kamu teman dekatku dan mengerti kebenaran serta latar belakang kemiripan
cerita? Kok rasanya internal sekali, ya.
Sifat-sifat manusia dalam karya sastra relatif imajiner, lho. Walau di dalam mengambarkan karakter dan jiwa pengarang harus
menjadikan manusia hidup di alam nyata sebagai model di dalam penciptaannya.
Kedua. Mungkin saja pendekatan resepsi pembaca
yang kamu pakai. Tetapi itupun belum cukup, kataku. Biar saya klasifikasikan
dulu jenis resepsi ini agar tidak terkesan serampangan seorang pembaca dalam
meresepsi. Pembaca yang merespsi secara aktif dan pembaca yang mersepsi secara
pasif. Secara aktif itu semisal kamu,
yang memberi kritik, ulasan, komentar, resensi, atau interkstualitas. Lainnya
resepsi pembaca pasif yang tidak bisa diketahui karena mengacu pada bagaimana
seorang pembaca dapat memahami suatu karya dan menemukan hakikat estetika di
dalamnya (Junus, 1986). Nah, kamu,
sebagai pembaca aktif yang telah menilai pastinya punya dasar atas tanggapanmu kan?
Well. Anggap saja itu memang resepsi dari hasil
bacaanmu. Pertanyaan berikutnya, jika itu curhatan, njuk ngopo? Seperti di awal, kata tugas yang kamu pakai adalah “gur” (hanya) yang menempatkan posisi
tulisan curhat seolah-olah inferior. Begini, kira-kira. Kamu tahu seorang Fidel
Castro kan?
Dalam
buku berjudul Hari-hari Terakhir Che Guevara, Castro yang juga teman dekat Che,
memungkasi sebuah pengantar yang apik. Buku ini, menurut saya terselamatkan
kualitasnya lantaran ada secarik pengantar dari Fidel Castro. Di pengantar itu
Castro sangatlah berterimakasih kepada Che Guevara atas kebiasaan Che,
menuangkan segala kejadian dalam buku kecil. Segala apa yang menceritakan
keadaan di tempat pembuangan dituliskan Che dengan sangat rinci. Castro memang
tidak memakai istilah “curhatan” untuk memaknai kebiasaan Che tersebut.
Catatan
ini bukan dengan tidak sengaja dituliskan oleh Che. Catatan-catatan ini
dijadikannya sebagai sebuah panduan, evaluasi konstan terhadap segala kejadian,
situasi, dan orang-orang yang terlibat. Catatan ini yang juga membuatnya lebih
mampu mengekspresi semangatnya yang membaja, analisis namun diselipi
humor-humor yang manis, dan kadang kala sisi kemanusian dari seseorang pemimpin
detasemen gerilya juga ia tulis. Semuanya ditulis secara serius sehingga membantu
suatu keterkaitan yang tidak terputus dari awal hingga akhir.
Tetapi
tahulah kamu dampaknya, dari tulisan-tulisan kecil seperti itu kita jadi
mengerti siapa Che dan seperti apa kiprahnya. Barangkali soal teladan
tergantung pembaca mau menirunya atau tidak, tetapi soal resepsi aktif, saya
kira tidak ada yang menyangkal kebiasan Che menulis setiap hal yang terjadi
semasa ia berjuang.
Tulisan-tulisan
Che yang seperti itu sering kubayangkan di jaman sekarang sebagai bentuk ekspresi
kebutuhan manusia untuk berbagi pengalaman pada sebuah tulisan. Andai saja ada
situs sosial macam blogspot, twitter atau facebook yang bisa diakses waktu itu, tidak menutup kemungkinan Che juga
akan update status atau nge-blog setiap hari, soal bulan-bulan
terakhir hidupnya di Bolivia yang sungguh heroik itu, mungkin!
Adalagi
R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Saya menilai ini juga bentuk
semacam “curhatan” seorang perempuan agung lewat surat-menyurat kepada nona-nona Belanda. Tentulah “curhatan” disini bukan semata berisi keluhan yang
mengharu-biru melainkan pemikiran-pemikiran Kartini perihal nasib wanita-wainta
Indonesia pada masanya. Jadi apa kamu masih menganggap “gur curhatan”? sebaiknya
mulai cari definisi kata “curhat” yang tepat, sayang.
***
Belakangan
ini aku dengar istilah Cek Go kamu selewengkan menjadi Cek Gu. Sapaan khusus
dalam serial kartun Upin dan Ipin yang ditujukan pada ibu guru. Seorang
pengajar yang bijaksana dan rendah hati. Itu lantaran kamu menjadi PU Ekspresi.
Dan anehnya anak-anak baru yang tidak mengerti terminologinya manggut-manggut
saja. Dalam kasus ini, bukan saja itu nihil maksud. Penggeseran dari istilah
Cek Go menjadi Cek Gu. Tentu kamu ingin memperbaiki citra kamu apalagi posisimu
waktu itu sebagai pimpinan utama.
1 komentar:
hemmmm,
saya tertarik dengan gaya menjawab yang sistematis dan penuh dengan uraian yang menusuk-nusuk, walau sedikit perih tapi harus
setidaknya hal ini akan menjadikan adiktif bagi mereka yang telah menuai klimaks setelah lama berkeringat.
omong opo to yo
Posting Komentar