Soal Air Mata

/ Senin, 28 Mei 2012 /
Air yang paling kubenci di dunia adalah air mata. Terlebih jika perempuan dewasa yang menderasnya.
Semua berawal pada suatu siang di kala umurku masih kencur. Aku mendapati seorang malaikat berair mata. Malaikat itu tentu bukan malaikat yang dikonsepkan layak umum. Terbikin dari cahaya dan negatif atas nafsu apapun. Malaikat ini adalah ibuku, perempuan cantik yang tangannya sering kapalan karena kerasnya bekerja. Waktu itu aku tunggui ibu yang sedang bercumbu dengan mesin jahit. Siapapun coba bayangkan betapa anggunnya kaum hawa saat sedang menjahit. Ibuku bukan penjahit profesional, tetapi ibu punya sebuah mesin jahit lawas merek Butterfly sebagai harta warisan. Katanya keterampilan dasar yang musti dimiliki ibu adalah mampu menjahit.
Ibu akhirnya sempat menjahitkan baju pramukaku usai menyabet lencana baru di Persami pekan sebelumnya. Aku tunggui di bawahnya sambil main Tamiya. Mainan mobil-mobilan yang sangat tekenal di era 90-an. Ibuku memang tidak banyak bicara. Ibuku juga bukan pendiam apalagi seorang introvert. Tapi ibu sedang tidak tampak seperti biasanya. Ibu terlalu pendiam siang itu. Aku berharap sekali ditanyai perihal lencana baruku. Agar aku bisa berbangga hati karena telah berprestasi. Setidaknya prestasi yang tidak pernah diraih oleh kakak, saudara tunggalku yang kerap membuatku cemburu saat berebut perhatian ibu. Sembari merangkai komponen-komponen Tamiya, aku sempatkan pandangi ibu yang sedang tidak seperti biasanya. Berkali-kali ibu mengusap mata dan melipat bibirnya dalam-dalam. Sesenggukan dan itu pelan sekali. Sangat pelan seolah hanya ibu yang tahu.
Masih terlalu mentah untukku bertanya ibu kenapa? Pula terlalu muda untuk ikut campur urusan orang dewasa. Ibu menangis pada akhirnya. Benar-benar menangis sampai bersuara. Bunyi lengkingan yang tertahan dari dalam dada. Ibu menangis layaknya temanku menangis saat di ejek teman sekalas lainnya. Ibu menangis yang sampai sekarang tidak pernah aku tahu karena apa. Dan itu baru pertama kalinya aku melihat ibuku menangis. Ibu memandangiku dengan mata yang sembab. Memberiku tanda supaya mendekat kapadanya. Ibu merangkulku erat-erat. Diciuminya seluruh bagian kepalaku membabi buta layaknya seorang ibu tentara yang menciumi putranya setiba di rumah usai perang.
Aku masih diam dan tidak tahu harus bicara apa. Sambil memegangi Tamiya di tangan kiriku aku berdiri dan menerima ciuman bertubi-tubi dari ibu. Mataku berkedip cepat, ibu masih menangis bersuara tetapi tidak berkata-kata. Aku yang terbawa suasana akhirnya menangis pula. Bahkan menangisku lebih kencang dari pada ibu.  Menangisku tidak bertendensi apapun. Mungkin karena ibu menangis aku juga ikut menangis. Masalahnya apa,  aku tidak mengerti dan benar-benar tidak pernah mengerti pasti. Kendati ada menangis karena terlalu bahagia dan menangis karena saking sedihnya. Barangkali ibu sedang sedih karena ulah bapak yang akhir-akhir ini kerap marah atau barangkali pula ibu terlalu bahagia dan menaruh bangga atas prestasiku. Tetapi aku berani pastikan air mata waktu itu adalah air mata kesedihan seorang ibu yang memangkul nasib keluarga di bahunya.
Pagi buta tadi di saat usiaku yang sudah bukan kencur lagi, aku dapati seorang perempuan yang menangis. Matanya sampai kuyu. Memerah sekan mengeluarkan darah. Perempuan ini bukan perempuan sembarangan. Aku bahkan sempat mensejajarkannya pada sosok ibuku. Aku tidak pernah tahu seperti apa ibuku saat muda. Dan kerap membayangkannya. Sampai ketemu dan dekat dengan perempuan itu beberapa bulan lalu, akhirnya aku bersepakat atas apa yang aku bayangkan ibuku saat muda selama ini tercermin pada dia.
Aku dapati perempuan itu menangis. Padahal sudah berkali-kali kutandaskan padanya jangan sekalipun menagis di depanku. Ya di depanku apapun alasannya. Aku paling benci pada air mata perempuan. Aku benci karena aku tidak kuasa melihat air mata. Aku benci karena aku pernah melihat ibuku menangis. Mudah benar air mata perempuan itu mencungkili rasa traumaku. Meski dia tampak menyembunyikannya bau air mata terlalu menyengat untuk ditutupi. Pipi yang lengket dan sobekan tisu berserakan di lantai pun tahu bahwa usai ada air mata yang mengalir. Kelopak mata yang menyembung dan bulu mata yang masih basah.
Aku tanyai perempuan itu mengapa sampai ada air mata? Aku tidak mau ketinggalan cerita layaknya air matanya ibu dulu. Kisahnya, di sebuah dini hari yang buta. Di pinggir jalanan penuh keparat dengan setelan saluran gas motor yang merusak gendang telinga, tikus-tikus got yang ribut mencari mangsa, pemabuk-pemabuk yang geloyoran hendak pulang dengan bau minuman murahan di mulutnya, serta kekalutanku yang makin menjadi akibat itu semua, perempuan itu berkisah. Bercerita soal air matanya. Untuk apa dan siapa. Dan aku tahu akhirnya, bukan kau ibuku. Sosok yang pernah terpahat di ruang imajinasiku pecah berkeping-keping begitu saja. Untuk kisah sepele dan murahan macam itu. Air mata untuk seorang pria yang durjana. Air mata untuk cerita asmara yang lusuh dan rombeng. Tidak sayang, air matamu terlalu berharga. Gunakan saja seperlunya. Sudah cukup, mari pulang. Dengan diam kuselipkan secercah rasa yang pernah ada ke dalam sakunya…

dan aku masih sayang kamu apa pun alasannya, titik.


  
  

3 komentar:

{ Nisrina Muthahari } on: 29 Mei 2012 pukul 20.55 mengatakan...

So cute deh Mas Azwar ceritanya..hahahha

{ Azwar Anas } on: 30 Mei 2012 pukul 02.36 mengatakan...

so fuck ciin...
tulisanmu sek terakhir, tonjo. love you love you. njileh bukune aku. yak yak yak..

{ Pandu Rijal Pasa } on: 21 Februari 2013 pukul 20.54 mengatakan...

hampit ikut meneteskan air mata, hampir loh :p
ini jenis tulisannya apa ya mas?

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger