Air yang paling kubenci di dunia
adalah air mata. Terlebih jika perempuan dewasa yang menderasnya.
Semua berawal pada suatu siang di kala umurku masih kencur. Aku mendapati
seorang malaikat berair mata. Malaikat itu tentu bukan malaikat yang
dikonsepkan layak umum. Terbikin dari cahaya dan negatif atas nafsu apapun. Malaikat
ini adalah ibuku, perempuan cantik yang tangannya sering kapalan karena kerasnya
bekerja. Waktu itu aku tunggui ibu yang sedang bercumbu dengan mesin jahit. Siapapun
coba bayangkan betapa anggunnya kaum hawa saat sedang menjahit. Ibuku bukan
penjahit profesional, tetapi ibu punya sebuah mesin jahit lawas merek Butterfly
sebagai harta warisan. Katanya keterampilan dasar yang musti dimiliki ibu
adalah mampu menjahit.
Ibu akhirnya sempat menjahitkan baju pramukaku usai menyabet lencana
baru di Persami pekan sebelumnya. Aku tunggui di bawahnya sambil main Tamiya. Mainan
mobil-mobilan yang sangat tekenal di era 90-an. Ibuku memang tidak banyak
bicara. Ibuku juga bukan pendiam apalagi seorang introvert. Tapi ibu sedang tidak tampak seperti biasanya. Ibu terlalu
pendiam siang itu. Aku berharap sekali ditanyai perihal lencana baruku. Agar aku
bisa berbangga hati karena telah berprestasi. Setidaknya prestasi yang tidak
pernah diraih oleh kakak, saudara tunggalku yang kerap membuatku cemburu saat berebut
perhatian ibu. Sembari merangkai komponen-komponen Tamiya, aku sempatkan
pandangi ibu yang sedang tidak seperti biasanya. Berkali-kali ibu mengusap mata
dan melipat bibirnya dalam-dalam. Sesenggukan dan itu pelan sekali. Sangat pelan
seolah hanya ibu yang tahu.
Masih terlalu mentah untukku bertanya ibu kenapa? Pula terlalu muda
untuk ikut campur urusan orang dewasa. Ibu menangis pada akhirnya. Benar-benar
menangis sampai bersuara. Bunyi lengkingan yang tertahan dari dalam dada. Ibu menangis
layaknya temanku menangis saat di ejek teman sekalas lainnya. Ibu menangis yang
sampai sekarang tidak pernah aku tahu karena apa. Dan itu baru pertama kalinya
aku melihat ibuku menangis. Ibu memandangiku dengan mata yang sembab. Memberiku tanda
supaya mendekat kapadanya. Ibu merangkulku erat-erat. Diciuminya seluruh bagian
kepalaku membabi buta layaknya seorang ibu tentara yang menciumi putranya setiba
di rumah usai perang.
Aku masih diam dan tidak tahu harus bicara apa. Sambil memegangi Tamiya
di tangan kiriku aku berdiri dan menerima ciuman bertubi-tubi dari ibu. Mataku berkedip
cepat, ibu masih menangis bersuara tetapi tidak berkata-kata. Aku yang terbawa
suasana akhirnya menangis pula. Bahkan menangisku lebih kencang dari pada ibu. Menangisku tidak bertendensi apapun. Mungkin karena
ibu menangis aku juga ikut menangis. Masalahnya apa, aku tidak mengerti dan benar-benar tidak pernah
mengerti pasti. Kendati ada menangis karena terlalu bahagia dan menangis karena
saking sedihnya. Barangkali ibu sedang sedih karena ulah bapak yang akhir-akhir
ini kerap marah atau barangkali pula ibu terlalu bahagia dan menaruh bangga atas
prestasiku. Tetapi aku berani pastikan air mata waktu itu adalah air mata
kesedihan seorang ibu yang memangkul nasib keluarga di bahunya.
Pagi buta tadi di saat usiaku yang sudah bukan kencur lagi, aku dapati
seorang perempuan yang menangis. Matanya sampai kuyu. Memerah sekan
mengeluarkan darah. Perempuan ini bukan perempuan sembarangan. Aku bahkan
sempat mensejajarkannya pada sosok ibuku. Aku tidak pernah tahu seperti apa
ibuku saat muda. Dan kerap membayangkannya. Sampai ketemu dan dekat dengan
perempuan itu beberapa bulan lalu, akhirnya aku bersepakat atas apa yang aku bayangkan
ibuku saat muda selama ini tercermin pada dia.
Aku dapati perempuan itu menangis. Padahal sudah berkali-kali
kutandaskan padanya jangan sekalipun menagis di depanku. Ya di depanku apapun
alasannya. Aku paling benci pada air mata perempuan. Aku benci karena aku tidak
kuasa melihat air mata. Aku benci karena aku pernah melihat ibuku menangis. Mudah
benar air mata perempuan itu mencungkili rasa traumaku. Meski dia tampak
menyembunyikannya bau air mata terlalu menyengat untuk ditutupi. Pipi yang
lengket dan sobekan tisu berserakan di lantai pun tahu bahwa usai ada air mata
yang mengalir. Kelopak mata yang menyembung dan bulu mata yang masih basah.
Aku tanyai perempuan itu mengapa sampai ada air mata? Aku tidak mau
ketinggalan cerita layaknya air matanya ibu dulu. Kisahnya, di sebuah dini hari
yang buta. Di pinggir jalanan penuh keparat dengan setelan saluran gas motor yang
merusak gendang telinga, tikus-tikus got yang ribut mencari mangsa,
pemabuk-pemabuk yang geloyoran hendak pulang dengan bau minuman murahan di
mulutnya, serta kekalutanku yang makin menjadi akibat itu semua, perempuan itu berkisah.
Bercerita soal air matanya. Untuk apa dan siapa. Dan aku tahu akhirnya, bukan
kau ibuku. Sosok yang pernah terpahat di ruang imajinasiku pecah
berkeping-keping begitu saja. Untuk kisah sepele dan murahan macam itu. Air mata
untuk seorang pria yang durjana. Air mata untuk cerita asmara yang lusuh dan
rombeng. Tidak sayang, air matamu terlalu berharga. Gunakan saja seperlunya. Sudah
cukup, mari pulang. Dengan diam kuselipkan secercah rasa yang pernah ada ke dalam
sakunya…
…dan aku masih sayang kamu apa pun
alasannya, titik.
3 komentar:
So cute deh Mas Azwar ceritanya..hahahha
so fuck ciin...
tulisanmu sek terakhir, tonjo. love you love you. njileh bukune aku. yak yak yak..
hampit ikut meneteskan air mata, hampir loh :p
ini jenis tulisannya apa ya mas?
Posting Komentar