Gara-gara Imajinasi

/ Kamis, 17 Mei 2012 /
Pernah kamu berpikir soal keindahan yang aku hadapi kini; duduk ia di depanku, menulis ia sesuatu, mungkin berita mungkin pula esai. Sedang aku dibelakanginya bersama tumpukan buku yang berserakan di sampingnya. Buku-buku, yang tidak pernah selesai aku baca.
Aku bayangkan perempuan itu adalah satu dari manusia cerdas di dunia. Setidaknya di dunianya. Katanya, sesorang dianggap intelektual kalau ia menulis dan membaca. Apalagi tulisannya sampai menembus media. Maka gunjing sudah dibincangkan pada khalayak; di warung kopi, di angkringan sampai di kamar kontrakan dan juga ruang-ruang maya.
Dunianya memang mengakui standar itu mungkin. Aku kurang sepakat sebenarnya, intelektual tak muluk macam itu. Tapi kamu tidak perlu mengutukku. Kamu masih menghargai sebuah perbedaan kan? Kalau tidak, fasis sekali kamu.
Aku lanjutkan kisahnya. Di ruang kumuh dengan lanskap kondisi yang berantakan itu tadi, ia satu-satunya yang indah. Keindahan yang sedang kuhadapi ini kemudian melahirkan fantasi-fantasi yang menggelikan. Kubayangkan tiba-tiba duduk kami berhadapan, bersenda tawa, dan berbagi cerita. Senyum simpul, berhasil aku dapati dari raut mukanya yang jelita. Seulas masa lalu seolah tampak dari senyumnya yang mengembang menjadi tawa.
Oh Tuhan, rupanya aku sedang terapung diantara realitas dan imajinasi. Tapi biarlah, aku suka berimajinasi kok. Imajinasi menyodoriku kekuasaan yang mutlak. Aku bebas melakukan apapun. Toh aku juga benci pada realitas sebab terkadang ia tak seindah yang dibayangkan. Aku mulai lagi saja.
Sampai mana tadi? Iya, ternyata ia masih mengetik dengan tangkas. Membelakangiku serupa tadi. Sesekali menghela nafas panjang dan itu mengagumkan. Ia hela nafas dalam-dalam, seolah mengatasi kepayahan dalam dirinya sendiri. Berpikir, huruf apa yang nantinya akan ia tekan sehingga jadi kata, frasa, klausa, paragraf, sampai utuh wacana.
Saat aku sedang berjibakau dengan fakta dan fiksi itulah tiba-tiba ia menengok, mungkin merasa kulihati sejak dari tadi. Atau barangkali ini yang dinamakan panopticon ya. Seperangkat emosional yang dimiliki manusia yang sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan. Aku tidak terlalu peduli. Nyata benar ia mengajakku bicara. Soal apa itu tidak terlalu penting, yang pasti sama persis dalam imajniasiku tadi. Bedanya, aku rebahan dan menyandar dinding.
Rupanya memang benar, ia tak begitu pandai mengantongi masa lalunya hingga tersembul betul pada tawanya. Iya, ia seperti orang yang sedang melarikan diri dari apa yang disebut histori. Kata Nietszche yang begini itu buruk. Masa lalu memang bukan untuk dilupakan tetapi masalalu tidak untuk dibawa kemana-kemana. Cukup kita menyimpannya dan menikmatinya pada situasi-situasi yang tepat.
                                                                               ***
Dulu sewaktu usiaku masih tujuh tahun, aku pernah dekat dengan seorang lelaki berumur paruh abad, lebih setengah dekade. Terlalu tua untuk dianggap sebagai teman. Aku mengenalnya sebaik aku mengenal saudaraku sendiri tetapi ia bukan saudaraku. Ia hanya tinggal di rumahku. Bukan serumah, melainkan bagian depan terluar rumahku. Lebih tepatnya mungkin kita seatap. Namanya Sarip, badannya kurus. Asal usulnya tidak jelas. Dari kabar yang beredar di lingkungan keluarga, bapakku menampungnya karena ia orang sebatang kara yang miskin, tidak punya apa-apa bahkan sanak saudara sekalipun. Awalnya, ingin ngangsu kaweruh kalau kata bapakku. Dan ia sudah disana bahkan jauh sebelum aku ada. Ia suka merokok dan minum kopi.
Hal yang paling aku ingat adalah kebiasaannya menyanyi saat hari mulai gelap, saat senja sedang pada anjungannya. Aku tidak pernah tahu lagu apa yang ia nyanyikan. Bahkan sebait pun aku tidak ingat. Tetapi aku hafal betul soal kebiasaan menyanyinya itu. Ia bukan seniman setahuku apalagi komposer. 
Pada suatu sore, aku pernah bertanya soal nyanyian yang hampir setiap hari ia nyanyikan. Ia menjawab hal di luar jangkauanku. Panjang dan lebar, ia bilang itu lagu kenangan. Aku didakwa tidak akan tahu sebab itu lagu di masa lalunya. Pada intinya ia mengutuk sebuah peradaban yang tiba-tiba menggilas masa lalunya. Berganti dengan peradaban yang tidak memabawa serta lagu-lagunya tadi yang terbingkai sebagai sebuah kenangan. Di radio, di telivisi tak pernah ia temukan lagi. Yaitu peradabanku waktu itu. Dan satu-satunya cara membuatnya senang adalah menyanyikannya tadi. 
                                                                              *** 
“Hey, kau melamun?” tanyanya. Belum juga aku menjawab, bibir merahnya mendarat tepat di mulutku. Aku terperangah. Bibir yang asing namun hangat. “Tidak, aku mendengarkanmu,” jawabku mengatasi kepayahan atas sebuah serangan mendadak tadi. Aku salah tingkah dibuatnya, dan ia semakin bertingkah karenanya.
Aku tidak tahu pasti, apa yang ada di pikirannya. Ia tinggalkan pekerjaannya demi mengobrol denganku. Aku berani percaya diri bahwa ia anggap aku sebagai pendengar yang baik. Pendengar yang mampu menyihir si pencerita untuk bercerita lebih. Bahkan lebih dari bercerita mungkin. 
Kamu tahu MOMO? Novel sekaligus nama tokoh utama karangan Michael Ende. Hanya dengan bercerita pada Momo, semua masalah bisa terpecahkan, bakan konon dua orang yang saling bertikai pun bisa langsung baikan saat menceritakan masalah mereka pada Momo. Bukan, aku bukan Momo laiknya dalam dongeng MOMO itu, dan aku tidak mau berimajniasi dulu soal itu. Aku bahkan tidak merasa menjadi pendengar tadi. Aku sibuk berimajinasi, berfantasi sendiri soal masa lalu yang mungkin sama dengan yang ia ceritakan.
Untuk pertamakalinya aku tidak membenci realitas, atau mungkin belum. Sebuah ciuman yang lebih dari birahi sialan itu, ada energi lain yang tersalurkan, energi yang tak sempat aku balas. Aku hanya merasakan, aku kaget, dan aku tidak habis pikir. Kamu tahu? Tapi aku senang. Senang sekali. 
Bodohnya aku bertanya, untuk apa ciuman tadi? Kamu tahu apa jawabannya? Jelaslah ia tak menjawab. Malu mungkin semalu, aku usai menanya demikian. Sudahlah aku anggap itu sebuah bayaran. Bayaran atas kesediaan untuk menjadi pendengar yang baik. Tidak perlu digamblangkan. Segala sesuatu tidak musti jelas bukan? Membuat sesuatu menjadi jelas itu tugas filsuf. Kalau Puthut EA bilang, itu kesalahan terbesar filsuf karena telah membuat jelas kehidupan. Sebab kehidupan itu omong kosong. Dan aku tidak mau menambah daftar panjang kesalahan itu. 
Aku jelas, bukan tipe lelaki yang baik untuk diajak melakukan obrolan ranjang. Terbukti ia pulang, mengemasi barang, dan menutup pintu. Tetapi sebelum pulang ia meninggalkan sebuah parfum kesayangannya. Sengaja atau tidak, ini adalah tanda. Tanda yang mengakhiri sebuah perpisahan bahwa esok ia akan datang lagi untuk parfum dan untuk sesuatu yang lainnya. Ini semacam janji yang tersirat, janji yang tidak harus ditepati. Kita berpisah memang, tetapi mata kita sama berharap akan bertemu lagi dengan mengulang adegan yang serupa.
Aku mengantarnya sampai pintu. Di luar ternyata panas. Angin menggoyangkan dedauanan Srikaya, menggesek-nggesek atap kamar yang terbuat dari seng yang seolah bilang, “Tahan, tahan dia, goblok” tidak. Aku tidak akan menahan. Aku akan menunggu ia untuk datang lagi, dan pada akhirnya giliranku untuk bercerita. Aku simpan parfumnya sampai sekarang, sampai ia akan ambil. Aku hanya akan mengingatnya, mengingatnya sampai sebuah peradaban tak lagi memihak. Aku tidak akan menyanyikan seperti kenalanku tadi. Aku akan menuliskan dan dengan menulis inilah aku senang.


Hey aku merindukanmu, yang dulu…

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 imajinasi, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger